Imparsial

Sarang Impunitas: Pemerintah dan DPR Segera Reformasi Peradilan Militer

Siaran Pers Imparsial
No: 003/Siaran-Pers/IMP/VI/2023


Menyikapi Pemberian Kenaikan Pangkat dan Promosi Jabatan terhadap Pelaku Pembunuhan
sebagai Kapendam XII/Tanjungpura

“Sarang Impunitas: Pemerintah dan DPR Segera Reformasi Peradilan Militer”

Kasus Kolonel Ade Rizal Muharram yang kembali berdinas aktif di TNI setelah divonis empat
(4) tahun penjara karena terbukti melakukan pembunuhan menjadi perhatian publik.
Berdasarkan informasi yang berkembang di berbagai media, setelah selesai menjalani
hukuman pada 2020, yang bersangkutan mendapat kenaikan pangkat dan promosi jabatan.
Sejak 7 Januari 2023, Kolonel Ade Rizal Muharram diangkat menjadi Kepala Penerangan
Kodam (Kapendam) XII/Tanjungpura. Hal ini dibenarkan oleh Kadispenad Brigjen TNI
Hamim Tohari yang menyatakan bahwa yang bersangkutan mengajukan banding dan pada Juni
2017 Pengadilan Militer Utama (Dilmiltama) mengabulkan banding dan mengubah putusan
Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti) III-12 Surabaya dengan mencabut hukuman tambahan
pemecatan.

Imparsial memandang bahwa kasus Ade Rizal Muharram yang kembali berdinas aktif meski
terbukti bersalah dalam kasus pembunuhan terhadap ajudannya Kopka Andi Pria Dwi Harsono,
menunjukkan lemahnya akuntabilitas TNI terkait penanganan tindak pidana yang melibatkan
anggota TNI. Putusan Dilmilti III-12 Surabaya yang menjatuhkan vonis lebih ringan dari
tuntutan Oditur Militer, yakni lima (5) tahun penjara, serta di tingkat banding Dilmiltama yang
mencabut hukuman pemecatan bukan hanya tidak memenuhi rasa keadilan korban, keluarga
korban dan khalayak umum, tetapi juga mencoreng institusi TNI itu sendiri. Pelaku seharusnya
dihukum berat hingga pemecatan dari dinas kemiliteran, mengingat tindakan tersebut tergolong
sebagai tindak pidana, dilakukan oleh anggota TNI yang berpangkat perwira, melibatkan anak
buah, serta dilakukan di Ruang Unit Intelijen Kodim 0812/Lamongan

Dengan adanya fakta bahwa Ade Rizal kembali berdinas aktif di TNI, semakin memperkuat
pandangan yang berkembang di masyarakat bahwa sistem peradilan militer menjadi sarang
impunitas bagi anggota TNI yang melakukan kejahatan. Karena pada praktiknya, peradilan
militer seringkali tidak benar-benar dijalankan secara adil, transparan dan akuntabel, terutama
dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan anggota TNI. Misalnya,
pada kasus penghilangan paksa aktivis tahun 1997-1998 yang melibatkan Tim Mawar, salah
satunya adalah Mayjen TNI Untung Budiharto yang diangkat menjadi Pangdam Jaya pada
tahun 2022. Putusan Mahkamah Militer Tinggi II pada tahun 1999 menyatakan Untung
dihukum 20 bulan penjara dan dipecat dari ABRI. Akan tetapi, putusan banding di tahun 2000
menyatakan Untung dihukum 2 tahun 8 bulan penjara tanpa pemecatan. Sebelum diangkat
menjadi Pangdam Jaya, Untung pernah mengemban amanat sebagai Staf Khusus Panglima TNI
sejak Oktober 2021.

1 CNN Indonesia. (Januari 2022). ‘Orang Tua Korban Penculikan 98 Kecewa Untung Budiharto Pangdam Jaya’.
CNN Indonesia. Diakses dari laman https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220107163340-12-
743940/orang-tua-korban-penculikan-98-kecewa-untung-budiharto-pangdam-jaya.

Imparsial menilai, kasus Ade Rizal tidak akan terjadi jika pemerintah dan DPR melakukan
reformasi terhadap sistem peradilan militer sebagaimana diamanatkan dalam agenda reformasi
politik (Reformasi TNI) tahun 1998. Penting dicatat, reformasi peradilan militer sesungguhnya
adalah mandat TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan Pasal 65 Ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004
tentang TNI yang menyebutkan bahwa prajurit TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer
dalam hal pelanggaran hukum pidana militer, dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum
dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Meski demikian, hingga saat ini reformasi sistem
peradilan tersebut belum dijalankan, sehingga anggota TNI yang melakukan tindak pidana
umum masih diadili di peradilan militer. Dengan sistem peradilan militer yang tidak transparan,
sulit untuk mewujudkan proses serta hasil peradilan yang adil dan akuntabel.

Lebih dari itu, alih-alih diberhentikan dari dinas kemiliteran, pemberian kenaikan pangkat dan
promosi jabatan kepada Kolonel Ade Rizal Muharram menunjukkan tidak dipertimbangkannya
rekam jejak anggota TNI, khususnya terkait catatan hukum dan HAM dalam manajemen
organisasi dan kepangkatan. Hal ini menambah catatan buruk dan mencoreng institusi TNI itu
sendiri di mata publik

Berdasarkan pandangan di atas, Imparsial mendesak:

  1. Mabes TNI segera mengevaluasi pemberian kenaikan pangkat dan promosi jabatan
    kepada Kolonel Ade Rizal Muharram sebagai Kapendam XII/Tanjungpura, mengingat
    yang bersangkutan telah divonis bersalah di pengadilan dalam kasus penganiayaan
    hingga kematian kepada Kopka Andi Pria Dwi Harsono;
  2. Pemerintah dan DPR segera melakukan reformasi sistem peradilan militer yang
    diamanatkan oleh TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan UU TNI 34/2004, di mana
    prajurit TNI tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum
    pidana umum;
  3. Panglima TNI harus mempertimbangkan rekam jejak catatan hukum dan HAM dalam
    pemberian kenaikan pangkat dan promosi jabatan, termasuk akan sangat baik apabila
    juga mendengarkan masukan dari lembaga negara, seperti Komnas HAM, Komnas
    Perempuan, KPK, LPSK, dan kalangan masyarakat sipil.

file:///C:/Users/ASUS/Downloads/Siaran%20Pers%20Imparsial%20-%20Menyikapi%20Kasus%20Kolonel%20Ade%20Rizal%20Muharram%20(12.06.23).pdf

Jakarta, 12 Juni 2023


Gufron Mabruri
Direktur Imparsial

id_IDBahasa Indonesia