Refleksi 20 Tahun Reformasi POLITIK YANG ABAI TERHADAP PENEGAKAN HAM 

(Martir Perubahanyang Terlupakan)

IMPARSIAL (The Indonesian Human Rights Monitor)

“Kalau tidak karena peristiwa yang menimpa Suyat pada awal tahun 1998, pasti tidak akan ada perubahan yang menempatkan mereka pada posisi seperti yang mereka nikmati saat ini. Tetapi, sayangnya mereka seperti lupa itu semua.”

(Suyatno, kakak kandung Suyat, salah satu korban Penculikan 1997/1998 dalam “Mengenang Para Martir Perubahan” oleh Mugiyanto (Ketua IKOHI 2002 -2014))

Kita semua yang menikmati keadaan politik saat ini yang bebas dan terbuka (baca: demokratis) sejatinya punya “hutang sejarah” kepada para korban yang menjadi martir perubahan dalam pergolakan politik untuk meruntuhkan rezim otoriter Orde Baru pada tahun 1998. Ungkapan reflektif yang disampaikan oleh Suyatno di atas bukannya tidak memiliki dasar, mengingat Suyat beserta aktivis pro-demokrasi yang hilang pada 1997/1998 hingga kini masih belum ditemukan. Sementara itu, para pemimpin sepanjang era Reformasi seperti tidak memiliki kemauan politik untuk mengungkap kasus penghilangan secara paksa dan menemukan kembali korban yang masih hilang.

Peristiwa yang dialami oleh Suyat dan masa penantian panjang keluarganya menunggu pengungkapan peristiwa itu merupakan salah satu gambaran kecil dari potret besar buruknya penegakan HAM di Era Reformasi yang pada bulan Mei ini genap berusia 20 tahun. Kasus Suyat mewakili keseluruhan cerita getir para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang dibuat berada dalam ketidakpastian oleh elite politik untuk memperoleh hak atas kebenaran dan keadilan. Padahal kekuasaan yang dinikmati mereka tidak bisa dilepaskan dari peran Suyat dan para pejuang demokrasi lain yang lantang melawan rezim Orde Baru demi kehidupan politik yang demokratis.

Meski diakui adanya faktor lain yang mendorong terjadinya perubahan politik ke arah demokrasi pada tahun 1998, namun sejarah tak bisa menyembunyikan peran para pejuang demokrasi itu. Para korban tindakan represif Orde Baru, termasuk mereka yang dihilangkan secara paksa pada tahun 1998, mendorong munculnya semangat perlawanan untuk menjatuhkan rezim otoriter Orde Baru.

Di tengah kuat-kuatnya rezim Orde Baru dan ancaman tindakan represif saat itu, sungguh sulit dibayangkan para aktivis demokrasi melakukan aksi-aksi demokratis menentang rezim. Pada saat sebagian besar masyarakat bungkam di bawah ancaman rezim Orde Baru yang militeristis, para aktivis pro-demokrasi tak kenal rasa takut bergerak melawan rezim. Stigma komunis dan tuduhan mengganggu stabilitas keamanan menjadi santapan setiap hari yang disematkan kepada mereka, dan bahkan ancaman tindakan represif dari rezim tak membuatnya gentar. Keyakinan dan cita- cita untuk melakukan perubahan sepertinya menjadi semangat yang tidak bisa dikalahkan oleh moncong senjata. Meski gerakan yang dilakukannya pada akhirnya membawa mereka dihilangkan.

Karena itu, di tengah momentum perjalanan Era Reformasi yang akan menginjak usia dua dekade pada tanggal 21 Mei mendatang, penting bagi kita untuk mengingat kembali jasa para korban yang menjadi martir bagi perubahan dan juga meluruskan kembali arah jalannya Reformasi yang tampaknya semakin menjauh dari semangat dan cita-cita perjuangan demokrasi pada tahun 1998.

IMPARSIAL memandang proses reformasi politik yang dijalankan sejak 1998 diakui relatif telah mendorong demokrasi kembali diterapkan di Indonesia. Mekanisme, prosedur, dan kelembagaan yang menjadi prasyarat dasar dari sistem politik ini telah dibangun, seperti antara lain terlihat dari pelaksanaan Pemilu secara periodik, adanya jaminan terhadap kebebasan politik, pembentukan lembaga-lembaga pengawas, dan lain-lain. Namun demikian, perkembangan ini dalam realitasnya tidak serta merta mendorong perbaikan kondisi hak asasi manusia ke arah yang lebih baik, meningkatnya tingkat kesejahteraan, dan terpenuhinya hak atas keadilan. Sejumlah agenda Reformasi untuk mencapai tujuan ideal dari demokrasi itu kini justru mengalami stagnasi.

Dinamika politik pada Era Reformasi yang cenderung elitis, sarat dengan negosiasi antarelite, serta transaksional merupakan persoalan utama terjadinya stagnasi proses Reformasi, dan bahkan kemunduran dalam beberapa aspeknya. Kecenderungan itu tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik yang bercirikan oligarki. Dalam realitasnya, politik yang oligarkis menempatkan politik hanya menjadi arena terbatas bagi kelompok elite dan partai politik dalam pembangunan agenda politik dengan meminggirkan aspirasi rakyat. Dalam konteks politik ini, agenda hak asasi manusia sebagai standar moral bersama untuk menciptakan kehidupan manusia bermartabat terhambat karena pada situasi ini politik dikuasai oleh pergulatan kepentingan oligarki.

Kecenderungan politik oligarkis memang bukan sesuatu yang baru karena gejala dan implikasinya telah dirasakan sejak masa Orde Baru. Yang terjadi di masa Reformasi ini adalah reorganizing power semata dengan corak politik yang tetap oligarkis. Studi mutakhir tentang demokrasi memperlihatkan bahwa kontrol terhadap dominasi politik dilakukan melalui birokrasi oligarki untuk menjadikan partai sekadar mesin pendulang suara pemilih dan konstituennya. Birokrasi oligarki ini membentuk kartel yang berkewajiban untuk menentang para pesaingnya sekaligus untuk membatasi kompetisi, menghalangi akses, dan mendistribusikan keuntungan kekuasaan politik di antara para anggota kartel. Mereka inilah yang kemudian menciptakan bahaya bagi demokrasi, karena menjadikannya sebagai proyek individual beberapa pemimpin partai politik dan asosiasi-asosiasi korporatisnya yang menghasilkan keuntungan bagi mereka dan melindungi uangnya dari pihak luar.  Di sini, politik oligarki terwujud dalam bentuk politik yang transaksional.

Politik transaksional menempatkan segala sesuatu di dalam politik menjadi sesuatu yang ditransaksikan di antara elite politik. Pada titik ini, yang bekerja adalah logika untuk menarik keuntungan dan barter kepentingan di antara elite. Tawar menawar kursi di kabinet maupun negosiasi dan kompromi dalam perebutan pimpinan parlemen merupakan sebuah keniscayaan. Politik terjerumus dalam perdagangan politik dan pasar gelap kekuasaan. Politik seperti itu bukanlah politik yang seharusnya dan bukan pula politik yang dikehendaki. Sebab, politik dalam arti yang sesungguhnya menghendaki adanya transaksi keadilan,  bukan transaksi jabatan, sedangkan  politik yang dikehendaki sangat menginginkan keseimbangan dan kontrol dalam kekuasaaan, bukannya kekuasaan yang tanpa kontrol. Kecenderungan ini membuat politik tidak lagi sebagai ajang untuk mendorong tujuan ideal dari politik, yakni kebaikan dan kehidupan bersama.

Sementara itu, partai politik (Parpol) yang seharusnya menjadi instrumen representasi politik formal bagi rakyat dalam politik justru menjadi instrumen yang mengekspresikan kepentingan kaum oligarki lama yang telah melakukan reposisi di dalam sistem politik baru ini. Bersama parlemen, partai politik menjadi alat mereka untuk menguasai sumberdaya yang bukan hanya untuk menjaga kelangsungan mereka, melainkan juga mempertahankan kekuasaannya yang oligarki.

Dinamika politik yang oligarkis itulah yang melahirkan sejumlah persoalan dalam kehidupan politik selama 20 tahun Era Reformasi, termasuk meminggirkan agenda-agenda keadilan dan kerakyatan. Oligarki politik menempatkan penegakan hukum tunduk pada kepentingan politik para elite yang bertransaksi. Slogan “hukum di atas segala-galanya” hanya menjadi jargon serta rangkaian kata-kata yang indah, karena praktik yang sebenarnya terjadi adalah hukum dibuat tunduk pada realitas politik yang penuh transaksional dan sama sekali tidak memihak pada rasa keadilan masyarakat.

Evaluasi Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan

IMPARSIAL menilai bahwa dinamika pelaksanaan agenda reformasi bidang hukum, HAM, dan keamanan juga banyak dipengaruhi oleh kecenderungan politik yang oligarkis dan transaksional itu. Dampaknya yang diakibatkan bukan lagi hanya stagnasi, tapi yang lebih buruknya lagi adalah beberapa sektor bidang-bidang itu mengalami kemunduran dan terjadi defisit yang cukup besar.

Pragmatisme politik yang menjadi ciri dari politik oligarkis menempatkan agenda Reformasi bidang-bidang itu tidak dipandang sebagai suatu hal penting, dan bahkan kadangkala ditransaksikan. Karena itu, upaya implementasi agenda Reformasi yang telah dimandatkan untuk mendorong perbaikan secara menyeluruh bidang hukum, HAM, dan keamanan terhambat karena elite politik yang lebih mengedepankan kepentingan perebutan dan penguasaan politik kekuasaan.

Praktik politik oligarkis mengakibatkan terabaikannya usaha untuk menegakkan hak-hak sipil dan politik, sementara pada aspek hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya telah mengakibatkan gagalnya pelaksanaan kewajiban negara dalam upaya pemenuhan hak-hak mendasar tersebut. Oligarki politik juga menempatkan penegakan hukum tunduk kepada kepentingan pragmatis elite politik. Kondisi tersebut tampak dalam sejumlah sektor dan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Dalam bidang hukum dan HAM, dalam perjalanan 20 tahun Reformasi memperlihatkan sejumlah paradoks, bukan hanya di tingkat legislasinya saja, tapi juga dalam implementasi atau penegakannya. Pada tingkat legislasi, misalnya, proses reformasi sejak 1998 diakui telah menghasilkan sejumlah capaian positif berupa semakin kuatnya jaminan hak asasi warga negara dalam peraturan perundang-undangan, seperti di UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Jaminan normatif atas hak asasi tersebut merupakan kemajuan positif proses Reformasi 1998.

Namun demikian, paradoks yang muncul dalam konteks legislasi tampak dari munculnya sejumlah undang-undang dan kebijakan yang secara vertikal bertentangan dengan UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi, tetapi juga secara horizontal antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya. Problem disharmoni peraturan perundang-undangan memang menjadi masalah utama dalam politik legislasi Era Reformasi, yang hasilnya yaitu adanya undang-undang yang menjamin hak asasi tetapi ada pula undang-undang lain yang, sebaliknya, justru mengancam dan membatasi kebebasan dan HAM. Misalnya adalah UU MD3, UU tentang Ormas, UU ITE, UU tentang Penanganan Konflik Sosial, serta sejumlah kebijakan pemeritah dalam konteks keberagamaan, seperti SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah, dan makin meluasnya aturan hukum yang mencantumkan ancaman hukuman mati.

Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Ormas, yang kemudian disahkan oleh DPR, menjadi salah satu contoh nyata dari produk legislasi yang mengancam kebebasan, yakni kebebasan untuk berserikat. Padahal hak atas kebebasan berserikat bukan hanya sesuatu yang esensial bagi individu dan masyarakat, tetapi juga menjadi komponen politik penting dari berjalan baiknya demokrasi di sebuah negara. Dan bahkan, kebebasan ini disebutkan sebagai jantung dari demokrasi. Kebebasan ini terkait erat dengan kebebasan dan hak asasi lainnya, seperti kebebasan berpendapat dan berekspresi, berkumpul, berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Lebih jauh, aspek kebebasan itu juga berfungsi sebagai sarana untuk menjalankan dan memperjuangkan hak-hak asasinya, baik itu hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Dalam konteks implementasi atau penegakan HAM, terlihat juga sejumlah persoalan selama 20 tahun perjalanan Era Reformasi. Lemahnya political will dari pemerintah untuk menegakkan norma hukum HAM menjadi faktor utamanya. Padahal adanya political will bisa menjadi kunci bagi pemerintah untuk mengatasi permasalahan disharmoni peraturan perundang-undangan.

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu yang hingga kini masih terkatung-katung dan belum menemukan titik terang jalan penyelesaian menjadi penanda lain dari episode kelabu kondisi penegakan HAM di Indonesia. Padahal upaya penyelesaian kasus-kasus itu memiliki makna penting tidak hanya bagi pemenuhan hak atas kebenaran dan keadilan masa lalu dari para korban dan atau keluarga korban, melainkan juga bagi perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Selama kasus-kasus itu tidak diselesaikan, agenda itu menjadi hutang sejarah yang membayangi.

Hingga saat ini, belum ada satu pun kasus HAM masa lalu yang berhasil diselesaikan termasuk pada masa pemerintahan Jokowi. Meski Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan sejumlah kasus HAM masa lalu namun berkasnya selalu dikembalikan oleh Kejaksaan Agung dengan berbagai dalih. Selain itu, sikap Jaksa Agung juga tidak menunjukkan itikad baik dan keinginan politik yang kuat untuk menuntaskan agenda penyelesaian kasus-kasus tersebut. Sementara untuk kasus penghilangan paksa yang sudah mendapatkan rekomendasi pembentukan pengadilan HAM dari DPR pada 2009 juga tidak kunjung dibentuk oleh Presiden Joko Widodo.

Kegagalan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu membuka ruang bagi terduga pelaku yang bertannggung jawab atas kasus-kasus itu bisa masuk ke dalam ruang politik dan bahkan sejumlah di antaranya kini menduduki jabatan publik yang strategis. Kehadiran mereka tentunya menjadi hambatan untuk menyelesaikan kasus-kasus itu, karena adalah tidak mungkin orang yang diduga bermasalah itu akan menyelesaikan kasus yang sejatinya melibatkan dirinya.

Dalam isu kebebasan beragama atau berkeyakinan, kendati konstitusi kita menjamin hak setiap warga negara untuk beragama atau berkeyakinan, namun ancaman dan pelanggaran hak atas kebebasan ini marak di sejumlah daerah. Negara tampak cenderung absen untuk memberikan perlindungan yang optimal bagi penikmatan atas kebebasan ini.

Pelanggaran atas kebebasan ini terlihat dalam sejumlah pola, mulai dari maraknya aksi intoleransi yang dibiarkan oleh aparat negara, pemidanaan dalam dalih penodaan agama yang cukup tinggi, perusakan dan pelarangan tempat ibadah di sejumlah daerah, serta diskriminasi atas dasar identitas keagamaan yang banyak dialami oleh kelompok minoritas seperti diskriminasi pelayanan administrasi kependudukan dan sosial kepada jemaat Ahmadiyah.

Salah satu persoalan utama dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia adalah produk legislasi dan kebijakan yang disharmonis antara satu dengan yang lainnya. Keberadaan peraturan dan kebijakan ini, dalam kenyataannya, acap kali digunakan untuk membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di masyarakat, tidak hanya oleh kelompok keagamaan yang radikal dan intoleran tetapi juga oleh pemerintah.

Dalam pemajuan dan perlindungan atas hak untuk hidup, Indonesia menjadi sorotan tajam selama Era Reformasi. IMPARSIAL mencatat, terdapat 84 eksekusi mati di Indonesia sejak tahun 1960an, dengan 45 di antaranya justru dilakukan pada Era Reformasi. Lebih dari itu, sejak awal Reformasi hingga Mei 2018, terdapat 303 vonis mati baru di berbagai tingkat pengadilan, dengan 175 vonis mati di antaranya dijatuhkan pada masa Presiden Jokowi. Terus berlangsungnya praktik hukuman mati menjadi salah satu indikator dari lemahnya komitmen politik pemerintahan dalam upaya memajukan dan melindungi hak untuk hidup.

Dalam konteks jaminan dan perlindungan atas kebebasan berekspresi masih memperlihatkan tingkat pelanggaran yang tinggi. Ini terlihat dari maraknya kasus-kasus pembatasan, pelarangan, pembubaran kegiatan-kegiatan diskusi dan pemutaran film tentang kasus 1965 di sejumlah daerah.

Dalam konteks perlindungan terhadap pembela Hak Asasi Manusia (HAM), pembela HAM yang merupakan bagian integral dalam advokasi mendorong penghormatan, pemajuan, dan perlindungan HAM hingga kini masih dianggap sebagai gangguan dan ancaman. Pembela HAM kerap menghadapi berbagai bentuk pembatasan, kekerasan, dan kriminalisasi dalam perkerjaannya. Padahal, para pembela HAM berperan penting tidak hanya dalam mewujudkan tujuan HAM secara global, tetapi juga tujuan nasional itu sendiri. Di tingkat nasional, pembela HAM memainkan peran mendorong terwujudnya cita-cita pendirian negara Indonesia seperti diamanatkan oleh Konstitusi. Pembela HAM mengawal berlangsungnya demokrasi berjalan dengan baik dan terimplementasinya norma hukum HAM, khususnya dalam mengadvokasi para korban kasus-kasus pelanggaran HAM.

Penyelesaian kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir juga tidak menunjukkan perkembangan berarti. Kasus pembunuhan Munir menginjak 14 tahun sejak dibunuh dengan cara diracun pada 7 September 2004 di atas pesawat Garuda Indonesia. Proses pengusutannya masih menyisakan pertanyaan, dengan aktor intelektual di balik pembunuhannya masih berkeliaran bebas.

Pengungkapan kasus pembunuhan Munir adalah salah satu agenda penting penegakan HAM. Tidak kunjung tuntasnya pengusutan kasus itu menguatkan lemahnya komitmen pemerintah dalam penegakan HAM.

Sementara itu, hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir yang dibentuk pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunjukkan adanya dugaan kuat bahwa  pembunuhan aktivis HAM Munir diduga melibatkan oknum Badan Intelijen Negara (BIN). Meski demikian, hasil penyelidikan itu yang sejatinya bisa menjadi pintu awal untuk membuka dan mengungkap kasus itu, alih-alih ditindaklanjuti tapi hingga kini juga tidak kunjung dibuka dan diungkapkan kepada publik. Hasil penyelidikan TPF itu sangat penting karena mengindikasikan adanya sejumlah kejanggalan dan sekaligus juga dugaan kuat bahwa pembunuhan itu diduga melibatkan pelaku lapangan dan dalang pembunuhan dalam institusi lembaga intelijen negara.

Selain itu, kasus kekerasan terhadap pembela HAM masih terus terjadi di masa Reformasi diantaranya adalah pembunuhan terhadap Salim Kancil, aktivis lingkungan yang menolak penambangan pasir illegal di Lumajang, penembakan terhadap Mathur Husairi aktivis anti-korupsi di Madura Jawa Timur, dan penganiayaan terhadap Latifah Anum Siregar, aktivis perjuangan penegakan HAM di Papua.

Dalam konteks reformasi sektor keamanan (Security Sector Reform), proses agenda Reformasi di bidang ini terutama reformasi TNI juga memperlihatkan kondisi stagnan. Realitas itu terlihat dari belum dijalankannya sejumlah agenda reformasi TNI yang dimandatkan pada awal Reformasi 1998.

IMPARSIAL mencatat setidaknya ada tujuh catatan agenda reformasi TNI yang menjadi pekerjaan rumah. Yang pertama adalah restrukturisasi Komando Teritorial (Koter). Restrukturisasi Koter adalah salah satu agenda reformasi TNI yang diusung oleh gerakan mahasiswa dan aktivis demokrasi lainnya pada awal Reformasi 1998. Agenda ini disuarakan dalam satu paket dengan agenda penghapusan peran sosial-politik ABRI—sekarang TNI—yang dikenal sebagai dwifungsi ABRI. Dalam perjalanannya, meski peran politik ABRI/TNI telah dihapus, namun struktur Koter hingga kini tak kunjung juga direstrukturisasi dan masih dipertahankan. Bahkan, eksistensi Koter semakin mekar sejalan dengan pemekaran atau pembentukan provinsi dan kabupaten-kabupaten baru di Indonesia. Pemekaran terbaru terlihat dari pembentukan Komando Daerah Militer (Kodam) baru di Papua Barat yang tentunya akan diikuti oleh pembentukan struktur teritorial di bawahnya, seperti Komando Resort Militer (Korem) dan Komando Distrik Militer (Kodim).

Restrukturisasi Koter juga bertujuan agar gelar kekuatan TNI (Postur TNI) dapat mendukung peran TNI sebagai alat pertahanan negara. Sebagai konsekuensi dari restrukturisasi Koter dan mempertimbangkan lingkungan strategis serta dinamika ancaman terkini adalah perlu segera dipikirkan dan dibentuk model Postur TNI yang menekankan pembangunan kesatuan gelar kekuatan trimitra secara terpadu dan lebih terintegrasi.

Berikutnya adalah reformasi sistem peradilan militer. Agenda reformasi TNI lain yang hingga kini belum dijalankan adalah reformasi sistem peradilan militer melalui melalui perubahan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Bahkan, agenda ini merupakan salah satu jantung dari reformasi TNI. Selama reformasi peradilan militer belum dilakukan, maka selama itu pula bisa dikatakan bahwa reformasi TNI belum selesai. Reformasi peradilan militer sesungguhnya adalah mandat dari UU No 34/2004 tentang TNI. Pasal 65 Ayat (2) UU TNI menyebutkan bahwa “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.

Berbagai MoU antara TNI dengan beberapa kementerian dan instansi yang belakangan ini marak dibentuk juga adalah langkah keliru dan bertentangan dengan UU TNI No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Hingga saat ini setidaknya terdapat 40 MoU (Memorandum of Understanding) antara TNI dengan kementerian dan instansi lain yang dibentuk dalam kerangka pelaksanaan tugas perbantuan TNI (operasi militer selain perang). Berbagai MoU itu bertentangan dengan Pasal 7 ayat (3) UU TNI yang menyebutkan bahwa untuk menjalankan operasi militer selain perang, TNI hanya bisa melakukannya tugasnya jika ada keputusan politik negara dalam hal ini keputusan Presiden.

Dinamika legislasi dan merebaknya berbagai MoU itu mengarah pada menguatnya kembali militerisme. Hal ini sedikit demi sedikit dan tahap demi tahap berpotensi menempatkan tata kelola keamanan seperti pada masa Orde Baru, yang membuka ruang bagi hadirnya peran militer secara luas dalam keamanan dalam negeri dan ranah sipil. Dinamika ini tidak sejalan dan tidak senafas dengan arah reformasi sektor keamanan dan kehidupan negara demokratis.

Dalam kerangka meningkatkan kerjasama aktor pertahanan keamanan, khususnya kerjasama antara TNI-Polri dalam menghadapi wilayah abu-abu (grey area) maupun dalam menghadapi situasi mendesak (contigency), seharusnya pemerintah membentuk aturan tentang tugas perbantuan TNI (RUU Perbantuan TNI) dan merevisi UU Darurat No. 23/1959 dan bukannya mengajukan RUU Kamnas dalam Prolegnas dan memaksakan pembahasannya di parlemen.

Pembangunan transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaaan Alutsista. Pengembangan Alutsista sebagai bagian dari upaya modernisasi dan penguatan pertahanan Indonesia memang sangat penting dan diperlukan. Meski demikian, upaya modernisasi ini tentunya harus dijalankan secara transparan dan akuntabel. Dalam praktiknya selama ini, pengadaan Alutsista bukan hanya menyimpang dari kebijakan pembangunan postur pertahanan, tetapi juga sarat dengan dugaan terjadinya mark-up dalam pengadaan Alutsista.

Dalam sejumlah pengadaan, misalnya, beberapa Alutsista yang dibeli oleh pemerintah Indonesia berada di bawah standar dan kadang kala tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Selain itu, pengadaan melalui pembelian Alutsista bekas juga menjadi persoalan. Padahal, jelas terdapat kecenderungan bahwa pengadaan Alutsista bekas selalu memiliki potensi bermasalah yang lebih besar. Tidak hanya membebani anggaran untuk perawatan, tetapi juga beresiko terjadi kecelakaan yang mengancam keselamatan dan keamanan prajurit.

Selain itu, pengadaan Alutsista kerap diwarnai keterlibatan pihak ketiga (broker). Dalam beberapa kasus, keterlibatan mereka kadang kala berimplikasi terhadap dugaan mark-up dalam pengadaan Alutsista. Oleh karena itu, sudah seharusnya pengadaan Alutsista di masa depan hendaknya tidak melibatkan pihak ketiga, tetapi langsung dilakukan dalam mekanisme government to government.

Transparency International merilis survei bertajuk Government Defence Anti-Corruption Index 2015 yang menunjukkan risiko korupsi di sektor militer/pertahanan. Pada survei itu dinyatakan bahwa risiko korupsi sektor militer/pertahanan di Indonesia masih tergolong tinggi (Indonesia mendapatkan nilai D). Transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan Alutsista memang menjadi persoalan yang serius. Ketiadaan peran dan kewenangan lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang turut memonitor dan mengawasi persoalan pengadaan Alutsista membuat proses pengadaannya rawan terjadinya penyimpangan. Alhasil, transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan Alutsista menjadi bermasalah. Padahal, anggaran belanja Alutsista Indonesia menggunakan dana yang besar.

Dalam upaya mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan Alutsista, pemerintah harus mendorong peran lembaga-lembaga pengawas independen seperti KPK untuk melakukan pengawasan dan menginvestigasi penggunaan anggaran pertahanan, atau lebih khususnya dalam pengadaan Alutsista. Salah satu upaya untuk mendo¬rong peran KPK itu, langkah awal yang harus didorong oleh pemerintah dan parlemen adalah mereformasi peradilan militer melalui revisi UU No. 31/1997. Meski tanpa menunggu revisi undang-undang tersebut KPK bisa terlibat dalam pengawasan dan penyelidikan dugaan penyimpangan pengadaan Alutsista dengan dasar asas lex specialis derogat lex generalis.

Kekerasan TNI terhadap masyarakat dan pembela HAM. Hingga saat ini, kekerasan yang dilakukan anggota TNI terhadap masyarakat dan pembela HAM masih terjadi di berbagai daerah. Berbagai kasus kekerasan itu menunjukkan bahwa reformasi TNI sesungguhnya belum tuntas, khususnya dalam upaya untuk memutus budaya militerististis yang diwarisi dari rezim otoriter Orde Baru. Motif dari tindakan kekerasan yang dilakukan oknum anggota itu beragam, mulai dari motif persoalan pribadi, bentuk solidaritas terhadap korps yang keliru, sengketa lahan dengan masyarakat, terlibat dalam penggusuran, serta kekerasan terhadap jurnalis dan pembela HAM.

Salah satu kasusnya yang sempat mendapat perhatian luas dari masyarakat adalah tindakan brutal yang dilakukan oknum anggota TNI AU dan Paskhas terhadap masyarakat di Sari Rejo Medan Polonia, Kota Medan pada 15 Agustus 2016. Dalam kasus ini, oknum TNI AU melakukan kekerasan terhadap warga, perusakan rumah dan kendaraan, serta jurnalis yang melakukan liputan juga tidak luput menjadi korban.

Terakhir, adalah peningkatan kesejahteraan prajurit TNI. Sebagai alat pertahanan negara, TNI bertugas pokok menjaga wilayah pertahanan Indonesia. Tentunya ini bukan pekerjaan mudah. Untuk melaksanakan tugas pokoknya itu, TNI membutuhkan kelengkapan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) yang memadai dan kapasitas sumber daya manusia yang profesional.

Dengan beban tugas yang berat dan suci itu, wajar apabila profesionalisme TNI ditunjang dengan peningkatan kesejahteraan prajurit. Selama ini penguatan sumber daya manusia terkait dengan kesejahteraan prajurit TNI masih minim. Terbatasnya rumah dinas anggota TNI adalah satu contoh dari permasalahan  kesejahteraan prajurit.

Dalam beberapa kasus, masalah kesejahteraan anggota TNI telah membuat mereka mencari sumber pendapatan lain di luar gaji mereka. Meski penguatan Alutsista merupakan suatu kebutuhan, memberikan jaminan kesejahteraan bagi prajurit merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi  negara, sebagaimana  ditegaskan dalam Pasal 49 juncto Pasal 50 UU No. 34/2004. Agenda reformasi TNI lain yang hingga kini belum dijalankan adalah reformasi sistem peradilan militer melalui melalui perubahan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Bahkan, agenda ini merupakan salah satu jantung dari reformasi TNI. Selama reformasi peradilan militer belum dilakukan, maka selama itu pula bisa dikatakan bahwa reformasi TNI belum selesai. Dengan UU ini, TNI memiliki rezim hukum sendiri dimana anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan militer. Dalam praktiknya, peradilan militer menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana. Kalaupun ada hukuman terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana, sanksinya kadang kala tidak maksimal.

Reformasi kepolisian juga belum dapat merubah kultur militerisme di dalam institusi Kepolisian. Di masa Reformasi ini, institusi Kepolisian menjadi aktor yang juga terlibat dalam berbagai aksi kekerasan terhadap masyarakat. Kultur Kepolisian yang seharusnya lebih mengayomi dan melindungi masyarakat masih belum menunjukkan wajah yang sempurna di masa Reformasi ini.

Selain itu juga terdapat rancangan regulasi dan kebijakan keamanan yang mengancam demokrasi. Dinamika legislasi keamanan menunjukkan perkembangan negatif dengan munculnya sejumlah regulasi yang memberi ruang pelibatan militer dalam keamanan dalam negeri dan ranah sipil secara luas sehingga mengancam kehidupan demokrasi dan HAM. Ini dapat dilihat dengan munculnya RUU Rahasia Negara dan RUU Keamanan Nasional (Kamnas) yang masuk dalam agenda program legislasi nasional (Prolegnas) 2015-2019.

RUU Rahasia Negara dan RUU Kamnas adalah dua rancangan legislasi yang mendapat penolakan secara luas dari kalangan masyarakat sipil karena dinilai mengancam kehidupan demokrasi dan pemajuan HAM. Padahal secara urgensi kedua RUU itu tidak dibutuhkan.

Secara urgensi, RUU Rahasia Negara tidak dibutuhkan karena pengaturan tentang rahasia negara secara eksplisit telah diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Nomor 14 Tahun 2008 khususnya Pasal 17 mengenai informasi yang dikecualikan. Secara substantif, ruang lingkup yang diatur dalam RUU Rahasia negara sangat luas dan bersifat karet  sehingga berpotensi menghancurkan sendi-sendi kehidupan demokrasi khususnya kebebasan pers, menghambat pemberantasan korupsi dan menghambat penegakan HAM. Sedangkan RUU Kamnas, secara urgensi juga tidak dibutuhkan karena tata kelola sektor pertahanan, keamanan, dan sistem pertahanan keamanan telah diatur dalam Konstitusi, Ketetapan MPR, dan berbagai undang-undang bidang pertahanan dan keamanan semisal UU Pertahanan, UU TNI, UU Polri, UU Intelijen, dan undang-undang lainnya.

Selain itu, pada masa Reformasi ini konflik agraria marak terjadi di berbagai tempat. Hal itu sebagai akibat dari ketimpangan dan ketidakadilan agraria yang masih terus terjadi sampai hari ini. Akses masyarakat terhadadp kepemilikan tanah masih terbatas. Itu semua dikarenakan program reforma agraria yang dimandatkan TAP MPR No. 9 Tahun 2001 tentang Reforma Agraria belum dilakukan secara penuh di masa Reformasi ini.

Di sisi lain, jaminan hak atas upah yang layak yang seharusnya didapatkan para buruh belum terpenuhi secara sempurna. Ketegangan dalam penentuan batas upah minimum dan pengabaian atas hak-hak buruh marak terjadi di berbagai daerah. Hingga kini negara belum memainkan peran positif yang maksimal dalam memenuhi hak-hak buruh di Indonesia.

Reformasi hukum juga masih berjalan lambat. Dari sisi budaya hukum, praktik korupsi masih terjadi di semual level kelembagaan penegakan hukum di Indonesia. Budaya kekerasan juga masih melekat sebagai jalan pintas untuk memperoleh pengakuan dari tersangka. Dari sisi legal substance, aturan hukum yang lahir di masa Reformasi juga masih banyak yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi.

Konflik Papua yang terus berlarut-larut dan tidak kunjung juga bisa diselesaikan dengan baik oleh pemerintah telah melahirkan banyak persoalan bagi masyarakat di Papua. Dan bahkan, semakin berlarutnya konflik ini, semakin bertambah kompleks pula persoalan di Papua. Dalam realitasnya, dampak negatif konflik Papua bukan hanya kekerasan dan pelanggaran HAM sebagai akibat dari kebijakan keamanan (militeristis) yang masih diberlakukan di Papua, akan tetapi juga persoalan hak asasi manusia lain seperti kesejahteraan, pendidikan, marjinalisasi, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, konflik Papua telah memunculkan banyak persoalan ketidakadilan dan kemanusiaan yang dialami oleh masyarakat Papua. Dengan kondisi yang dialami oleh masyarakat Papua, upaya penyelesaian konflik Papua melalui jalan damai sudah mencapai tingkat mendesak untuk segera dilakukan.

Sebagai kesimpulan, demokrasi Indonesia terjebak dalam praktik oligarkis dimana politik hanya menjadi ajang kontestasi elite politik sehingga penyelesaian kasus pelanggaran HAM tidak kunjung tuntas, praktik korupsi marak terjadi hampir di semua level institusi negara, pembatasan  kebebasan dilakukan atas nama keamanan, dan lainnya. Politik yang berjalan di Era Reformasi lebih memperlihatkan bagaimana kekuasaan hanya dilihat sebagai upaya untuk menjaga dan melanggengkan kepentingan politik rezim ketimbang kepentingan politik negara dan kepentingan masyarakat.

Akibatnya, penyelesaian kasus pelanggaran HAM terjebak dalam transaksi politik, praktik korupsi marak terjadi, perlindungan kebebasan beragama diabaikan, kebebasan berekpresi dibatasi, kebebasan berorganisasi dikekang, dan hak-hak masyarakat lainnya yang telah dijamin di dalam konstitusi terabaikan. Reformasi yang berjalan sejatinya telah melupakan peran pejuang Reformasi yang gugur pada tahun 1998.

Jakarta, 9 Mei 2018

IMPARSIAL

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDBahasa Indonesia