Polisi Brutal di Bengkulu Tanda Gagalnya Reformasi Polisi

Siaran pers
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan

“Polisi Brutal di Bengkulu Tanda Gagalnya Reformasi Polisi”

Tindakan brutal aparat kepolisian semakin hari semakin meningkat, kali ini dialami oleh seorang “Anak” di Bengkulu. Dari video yang beredar di media sosial korban dijatuhkan ke aspal dan lehernya ditekan dengan lutut sang polisi. Dalam video tersebut terlihat korban mengalami kesusahan bernafas. Kejadian tersebut mengingatkan kita pada kasus George Floyd yang memantik gelombang besar demonstrasi di AS.

Kami menilai bahwa berlanjutnya brutalitas polisi menandakan reformasi Polri jalan di tempat atau bahkan mundur ke belakang. Reformasi 1998 telah memandatkan penghapusan kultur kekerasan di tubuh kepolisian agar menjadi humanis dan demokratis.

Kami menilai bahwa komitmen menghapuskan kultur kekerasan tersebut masih sekadar jargon belaka dan sama sekali tidak tercermin dalam sebagian prilaku anggota Polri di lapangan. Kasus brutalitas di Bengkulu sebenarnya bukanlah satu-satunya peristiwa.

Pada peristiwa kanjuruhan beberapa bulan yang lalu aparat polri juga terpantau melakukan aksi kekerasan yang eksesif. Dalam peristiwa itu setidaknya 135 orang meregang nyawa akibat brutalitas aparat kepolisian.

Kami memandang terus berulangnya brutalitas ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, absennya penghukuman terhadap aparat kepolisian yang melakukan kejahatan (Impunitas).

Kedua, gagalnya demiliterisasi kepolisian yang mengakibatkan kultur kekerasan masih selalu dikedepankan dalam menghadapi masyarakat. Ini termasuk upaya perbaikan perilaku aparat lalulintas agar tidak memakai cara-cara bak reserse dalam menindak kriminal.

Ketiga, rendahnya kualitas pendidikan sekolah-sekolah polisi yang masih menitikberatkan pada kemampuan fisik dan bukan edukasi masyarakat sehingga menyebabkan rendahnya mutu kinerja pemolisian anggota Polri, padahal perkembangan masyarakat dewasa ini menuntut anggota polisi untuk menguasai keahlian pemolisian yang professional dan menghindari praktik penggunaan kekerasan yang berlebihan.

Keempat, ketiadaan pengawasan pelaksanaan berbagai instrumen prosedur tetap penanganan di tingkat operasional internal Polri, antara lain tidak adanya evaluasi tentang peraturan Kapolri yang mengatur perihal pencegahan kekerasan dalam tugas-tugas pemolisian.

Atas hal tersebut diatas kami mendesak:

  1. KAPOLRI harus memastikan KAPOLDA Bengkulu melakukan penegakan hukum terhadap anggota kepolisian tersebut sebagaimana UU Perlindungan Anak;
  2. KAPOLRI harus memastikan KAPOLDA Bengkulu melakukan tanggungjawab untuk memberikan pemulihan yang efektif terhadap Anak korban;
  3. KAPOLRI harus memastikan kedepan peristiwa brutalitas polisi terhadap masyarakat sipil tidak terulang kembali;
  4. KAPOLRI harus serius dalam melaksanakan reformasi baik secara kultural, struktural dan instrumental, khususnya dalam hal lalu lintas yang harusnya bersifat administratif saja;
  5. PRESIDEN dan DPR RI melakukan percepatan agenda Reformasi Kepolisian dengan membentuk tim independen yang bertanggungjawab langsung kepada PRESIDEN dan DPR RI;

Hormat kami,
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.

KontraS, Imparsial, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, ELSAM, HRWG, PBHI Nasional, ICJR, YLBHI, LBH Jakarta, LBH Malang, WALHI Eknas, Setara Institute, Forum Defacto, AJI Jakarta, Public Virtue Institute, Centra Initiative

Narahubung:

  1. Hussein Ahmad
  2. Gina Sabrina
  3. Andi Muhammad Rezaldy
  4. Fadhil Alfathan
id_IDBahasa Indonesia