6 Oktober 2021, 14:50:31 WIB
JawaPos.com – Panglima TNI Marsekal Hadi Tjanjanto akan memasuki masa pensiun dari dinas ketentaraan pada 8 November 2021 mendatang. Sehingga Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan perlu segera menentukan calon Panglima TNI yang baru.
Direktur Imparsial, Gufron Mabruri meminta proses pergantian Panglima TNI yang akan berlangsung semestinya dapat digunakan oleh Presiden sebagai momentum untuk mendorong kembali agenda reformasi TNI yang saat ini stagnan.
Dalam konteks ini, lanjutnya, kandidat Panglima TNI yang dipilih oleh Presiden diharapkan tidak hanya mampu mendorong arah pembangunan TNI yang semakin kuat dan profesional, tetapi juga memiliki komitmen untuk menjalankan agenda reformasi TNI yang belum dijalankan.
“Proses reformasi TNI yang telah dimulai sejak 1998 hingga kini memang telah menghasilkan sejumlah capaian positif, seperti pencabutan dwi fungsi ABRI, larangan bagi TNI untuk berpolitik dan berbisnis, dan lain sebagainya,” kata Gufron dalam keterangannya, Rabu (6/10).
Namun demikian, proses tersebut masih jauh dari selesai dan masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah yang penting, seperti reformasi sistem peradilan militer, penghapusan komando teritorial, dan lain-lain. Selain itu, kendati proses pergantian Panglima TNI merupakan hak prerogatif Presiden, tetapi sebaiknya tetap perlu mencermati serta mempertimbangkan berbagai pandangan dan saran yang berkembang di publik.
Karena, pemilihan Panglima TNI tidak hanya berimplikasi kepada dinamika internal TNI, namun juga kepentingan masyarakat pada umumnya. Oleh karenanya, penting bagi Presiden untuk mendengarkan, mencermati, dan mempertimbangkan pandangan serta aspirasi masyarakat.
“Terhadap hal ini, kami memandang Presiden harus menghindari pola pergantian Panglima TNI beruansa politik kedekatan. Presiden harus menggunakan pendekatan normatif dan substantif ketimbang pendekatan politis semata,” tegas Gufron.
Berdasarkan pedekatan normatif, lanjut Gufron, maka pola pergantian Panglima TNI mengedepankan rotasi antar matra. Dimana Panglima TNI dijabat secara bergiliran. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (4) UU TNI yang menyatakan bahwa jabatan Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.
Karena, penerapan pola rotasi akan menumbuhkan rasa kesetaraan antar matra dan berdampak positif pada penguatan soliditas TNI. Selain itu, pola rotasi penting dilakukan guna meredam kecemburuan yang sangat mungkin terjadi di antara prajurit akibat adanya kesan salah satu matra yang menjadi anak emas dalam tubuh TNI.
“Pola rotasi jabatan Panglima TNI yang telah dimulai sejak awal reformasi ini tent perlu untuk dipertahanankan, apalagi hal tersebut juga telah diamanatkan dalam UU TNI,” tegas Gufron.
Imparsial pun mengharapkan, calon Panglima TNI harus memiliki komitmen terhadap demokrasi, supremasi sipil dan perlindungan serta pemajuan HAM. Karena, pada konteks ini Presiden harus betul-betul mencermati rekam jejak setiap calon Panglima TNI yang ada untuk memastikan tidak memiliki catatan buruk, khususnya terkait pelanggaran HAM.
“Adanya pemberitaan yang mengaitkan nama salah satu kandidat Panglima TNI dalam kasus pembunuhan tokoh Papua Theys Hiyo Eluay1 harus ditanggapi secara serius. Sudah seharusnya pada konteks ini Presiden melakukan penggalian informasi seralam-dalamya terhadap seluruh kandidat dengan melibatkan lembaga-lembaga kredibel guna memperkuat pertimbangan Presiden dalam mengambil keputusan yang tepat,” pungkas Gufron.