Pelatihan PVE untuk Tokoh Masyarakat Ngargoyoso

Tokoh agama dan masyarakat Ngargoyoso

Meningkatkan kapasitas dan memperkuat peran tokoh agama dan masyarakat pada tingkat akar rumput merupakan salah satu pondasi penting dalam upaya penguatan resiliensi masyarakat dari pengaruh penyebaran ekstremisme kekerasan. Pelibatan tokoh-tokoh tersebut sangat penting dan strategis, mengingat mereka tinggal dan hidup bersama dengan masyarakat, sehingga mereka lebih memahami konteks, masalah, dan potensi lingkungan sosialnya. Dengan modal sosial yang dimilikinya, tokoh-tokoh di akar rumput tersebut dapat menginisiasi dan menjalankan berbagai kegiatan yang berbasis konteks dan kebutuhan masyarakatnya.

Beranjak dari kesadaran itu, pada 29 Oktober 2022, IMPARSIAL bekerja sama dengan Kecamatan Ngargoyoso, Paguyuban Kerukunan Antar Umat Beragama (PKUB), pemerintah Kecamatan Ngargoyoso, dan sejumlah komunitas lokal, menyelenggarakan pelatihan analisa sosial untuk pencegahan ekstremisme kekerasan. Tujuan pelatihan ini tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan tokoh-tokoh komunitas terhadap akar persoalan dan dampak ekstremisme kekerasan, tapi juga mendorong mereka untuk aktif mempromosikan toleransi, kerukunan dan perdamaian sebagai salah satu elemen fundamental dari resiliensi masyarakat. Kegiatan ini bertempat di Pendopo Kelurahan Girimulyo, Ngargoyoso dan dihadiri oleh 35 tokoh agama/masyarakat lintas agama dari Desa Nglegok, Girimulyo, Dukuh, Segorogunung dan Jatirejo.

Sebelum pelatihan dijalankan, kegiatan dimulai dengan acara pembukaan yang dihadiri oleh kepala desa, Ketua PKUB Kecamatan, hingga Camat Ngargoyoso. Dalam sambutannya, Bapak Ponco selaku Kepala Desa Girimulyo mengapresiasi dan menyampaikan jajaran pemerintahan desa mendukung kegiatan pelatihan. Sementara itu, Ketua PKUB, bapak Kirno, menyampaikan berbagai budaya lokal dan model kerukunan yang ada di Ngargoyoso. Sesi sambutan terakhir dari Camat Ngargoyoso, bapak Agus sekaligus membuka acara kegiatan pelatihan. Dalam sambutannya, bapak Camat menyampaikan dukungan dan pesan agar tokoh-tokoh masyarakat serius mengikuti kegiatan, mencatat dan kemudian mengimplementasikan ilmu yang didapat. 

Sesi kemudian dilanjutkan dengan pelatihan yang dipandu oleh seorang fasilitator berpengalaman. Proses jalannya pelatihan mengedepankan pendekatan partisipatif dan materinya juga lebih banyak menggali pengalaman dan pemikiran para peserta pelatihan. Dengan pendekatan tersebut, materi diskusi selama pelatihan dapat beranjak dari pengalaman keseharian hidup masyarakat sekitar, sehingga dapat mudah diterima dan dipahami oleh para peserta pelatihan. Tugas fasilitator kemudian mensistemasikan pengalaman dan pemikiran peserta pelatihan berdasarkan acuan modul untuk menjadi pengetahuan bersama peserta pelatihan.

Ada tiga modul utama yang disajikan selama pelatihan. Pertama, memahami kehidupan sosial-keagamaan masyarakat, kedua, kesetaraan gender dan ekstremisme kekerasan, dan ketiga, ketahanan masyarakat dan perdamaian. Pada modul pertama, peserta pelatihan diajak oleh fasilitator untuk menggali dan mendiskusikan secara mendalam kondisi demografi sosial, ekonomi, politik dan keagamaan masyarakat hingga sejarah desa. Banyak cerita menarik yang disampaikan oleh peserta, mulai dari aspek sejarah yang selalu ada kaitan antara peristiwa masa lalu yang mengilhami nama desa. Dalam konteks ekonomi, terdapat data penting tentang perubahan pola mata pencaharian masyarakat, berawal dari petani jeruk, cengkeh, dan sekarang sayur. Perubahan ini berusaha dieksplorasi oleh fasilitator dimana pertanyaan utamanya adalah apakah dengan perubahan ini terjadi perubahan ekonomi, sosial, hingga interaksi masyarakat.

Selain data sosial demografi di atas, para tokoh juga menceritakan berbagai ketegangan, konflik serta kerukunan di masyarakat. Dalam konteks kerukunan, banyak cerita yang dikemukakan oleh para peserta mulai dari masih kuatnya tradisi gotong royong, hingga hari raya keagamaan yang dirayakan semua pemeluk agama, seperti idul fitri, natal.

Pada modul kedua, peserta diajak oleh fasilitator untuk menggali dan mendiskusikan dinamika ketimpangan hubungan gender di dalam masyarakat dan dampaknya terhadap dinamika konflik, termasuk juga hambatan dan tantangan yang dihadapi dalam upaya penguatan toleransi dan perdamain di desa. Sedangkan modul ketiga, fasilitator mengajak peserta untuk mengidentifikasi modal-modal sosial di komunitas yang dapat dikembangkan untuk penguatan perdamaian di desa.

Sesi akhir pelatihan diisi dengan penyusunan agenda Rencana Tindak Lanjut (RTL) oleh para peserta pelatihan, kemudian dilanjutkan dengan penutupan kegiatan. Sebelum pelatihan ditutup, disampaikan beberapa testimoni, salah satunya oleh bapak Mugiono. Ia menyampaikan apresiasi, dan berharap forum pertemuan seperti ini bisa terus berlanjut. Keseriusan ini diungkapkannya dengan memberikan pengakuan, awalnya ia akan izin, karena akan takziah, namun karena acara ini begitu penting, akhirnya ia mengurungkan niat itu.

id_IDBahasa Indonesia