Siaran Pers Imparsial
No. 021/Siaran-Pers/IMP/XII/2024
Merespon usulan penempatan Polri di bawah Panglima TNI atau Kemendagri
“Mendesak Penguatan Pengawasan Polri”
Pasca pelaksanaan Pilkada serentak yang berlansung pada tanggal 27 November 2024 lalu, muncul kritikan sekaligus usulan reposisi institusi Polri untuk kembali berada di bawah TNI atau Kemendagri. Kritikan tersebut berangkat dari persoalan dugaan keterlibatan Polri dalam dukung-mendukung kontestan tertentu dalam Pilkada 2024. Imparsial sendiri sebelumnya, baik dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Legislatif maupun Pilkada 2024 telah mengingatkan problem netralitas aparatur negara, termasuk TNI, Polri dan ASN.
Imparsial memandang, usulan untuk menempatkan Polri kembali di bawah TNI jelas bertentangan dengan semangat Reformasi dan Konstitusi. Amanat Reformasi 1998 yang kemudian tercermin dalam TAP MPR No. VI dan VII tahun 2000 telah secara jelas menuntut pemisahan institusi Polri dan TNI. Konstitusi kemudian juga telah secara tegas membagi tugas dan kewenangan kedua lembaga tersebut, di mana TNI dimandatkan untuk urusan pertahanan negara, sementara Polri untuk menjaga keamanan dalam negeri. Jadi, usulan mengembalikan Polri di bawah TNI selain tidak memiliki landasan konstitusional, juga hanya bersifat reaksioner dan politis semata.
Sementra itu, usulan untuk menempatkan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) juga perlu ditinjau secara objektif dan hati-hati. Jika pokok persoalannya adalah kerentanan politisasi Polri karena institusi Bhayangkara tersebut berada langsung di bawah Presiden, maka akan lebih berisiko jika Polri ditempatkan di bawah kementerian yang jelas-jelas merupakan jabatan politik. Menempatkan Polri dari yang saat ini langsung di bawah Presiden menjadi di bawah Kemendagri justru akan membuat Polri menjadi sangat rentan dipolitisasi.
Imparsial menilai, usulan reposisi institusi Polri perlu dikaji secara serius dan mendalam mengingat fungsi, tugas dan wewenang Polri yang begitu luas dalam menjaga keamanan dalam negeri termasuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pada titik ini reposisi institusi Polri tidak boleh dilakukan secara reaksioner dan mengikuti kehendak nafsu politis sesaat semata. Reposisi Polri yang dilakukan secara reaksioner dan politis hanya akan menyemai kemunduran reformasi Polri dan semakin menyuburkan politisasi di tubuh Polri. Sebagai akibatnya, justru masyarakat yang akan menuai pelbagai dampak buruk akibat salah kaprah reformasi Polri ini.
Penguatan Pengawasan Polri Lebih Mendesak
Imparsial menilai, berbagai pelanggaran maupun penyimpangan yang melibatkan anggota kepolisian selama ini utamanya disebabkan oleh lemahnya pengawasan terhadap kinerja institusi kepolisian. Saat ini, pengawasan terhadap kinerja kepolisian memang telah dilakukan baik secara internal maupun eksternal, namun kedua-duanya masih sangat lemah dan tidak efektif. Pengawasan internal Polri yang dilakukan oleh Itwasum Polri (Inspektorat Pengawasan Umum) dan Divisi Propam terbatas hanya pada wilayah administratif dan etika profesi yang justru sangat sulit menjangkau elit petinggi Polri, salah satunya karena pangkat yang diperiksa bisa jadi sama atau bahkan lebih tinggi dari yang memeriksa. Perlu ada evaluasi serius dan mendalam terkait dengan sistem pengawasan internal Polri ke depannya.
Terkait pengawasan eksternal, setidaknya terdapat beberapa institusi yang melakukan pengawasan terhadap kinerja kepolisian diantaranya adalah Kompolnas RI dan DPR RI. Pengawasan yang dilakukan oleh Kompolnas RI sejauh ini masih lemah dan terbatas pada fungsi rekomendatif kepada Presiden terkait kinerja Polri. Kompolnas tidak dilengkapi dengan kewenangan untuk melakukan investigasi secara independen untuk pelanggaran tertentu yang dilakukan oleh anggota Polri. Sementara itu, pengawasan yang dilakukan oleh DPR RI sejauh ini bahkan jauh dari kata efektif. Dari sekian banyak kasus atau persoalan yang menyangkut kinerja kepolisian, tidak satupun yang berujung pada langkah konkrit perbaikan institusi Polri yang dilakukan oleh DPR RI.
Satu-satunya pengawasan terhadap kinerja Polri yang belakangan ini dinilai cukup efektif hanyalah pengawasan langsung oleh publik. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kasus yang baru direspon setelah publik memberikan perhatian yang besar terhadap kasus tersebut. Hal ini kemudian dikenal dengan istilah “no viral, no justice”. Namun demikian, pengawasan publik tersebut tentunya sangat terbatas karena tidak semua kasus atau peristiwa dapat diviralkan, khususnya kasus-kasus yang tidak terjangkau oleh liputan media. Sekaligus juga tidak semua kasus yang meski telah viral mendapat respon memadai dari Polri karena sejatinya pengawasan publik tersebut tidak bersifat baku.
Berdasarkan hal tersebut di atas, evaluasi terhadap kinerja Polri di tahun politik 2024 ini harus dilakukan secara objektif. Usulan untuk menempatkan Polri di bawah kementerian perlu mempertimbangkan banyak hal, terutama yang bisa menjamin independensi Polri dari upaya politisasi dan memperkuat profesionalisme Polri. Imparsial menilai, hal yang justru mendesak saat ini dilakukan adalah mendorong agar pengawasan terhadap Polri diperkuat, baik pengawasan secara internal maupun eksternal. Pengawasan eksternal perlu dilakukan secara berlapis mulai dari pengawasan oleh publik dengan melibatkan media/ jurnalis, DPR RI, Ombudsman RI, Komnas HAM RI dan Kompolnas RI dengan struktur yang independen dan kewenangan yang memadai.
Jakarta, 2 Desember 2024
Ardi Manto Adiputra
Direktur
Narahubung
- Ardi Manto Adiputra, Direktur (0812-6194-4069)
- Hussein Ahmad, Wakil Direktur (0812-5966-8926)
- Annisa Yudha AS, Koordinator Peneliti (0857-1178-4064)