Pada tanggal 6 Januari 2021, Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE). RAN PE terdiri dari serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana sebagai acuan bagi kementerian, lembaga, dan Pemerintah Daerah dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme, yang dalam implementasinya dapat bekerja sama dan melibatkan peran serta masyarakat.
Sebagai sebuah kebijakan, terbitnya Perpres RAN PE merupakan sesuatu yang positif sebagai bagian dari komitmen dan kewajiban negara untuk menjamin dan melindungi hak atas rasa aman masyarakat dari ancaman terorisme. Dalam Resolusi 2178 (2014), Dewan Keamanan PBB dengan jelas telah menyatakan hubungan antara ekstremisme kekerasan dengan terorisme. Resolusi tersebut juga menggarisbawahi pentingnya upaya pencegahan serta penanggulangan ekstremisme kekerasan dan terorisme yang sejalan dengan prinsip dan standar HAM serta norma internasional. Lebih jauh, upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme kekerasan dan terorisme juga membutuhkan upaya yang komprehensif dan kolektif.
Ekstremisme kekerasan dan terorisme adalah sebuah ancaman yang nyata terjadi di Indonesia. Dengan begitu, kebijakan negara untuk menanggulangi ancaman tersebut adalah sebuah keharusan dan dalam penanggulangannya dibutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif, yang tidak hanya mencakup langkah-langkah kontra-terorisme berbasis pendekatan keamanan tapi juga langkah-langkah pencegahan sistematis yang secara langsung dapat mengatasi faktor-faktor pendorong (push factors) ekstremisme kekerasan yang memunculkan kelompok-kelompok ekstremis baru.
Lebih dari itu, adanya keterlibatan aktif berbagai pemangku kepentingan juga menjadi penting dalam mencegah dan menanggulangi ekstremisme kekerasan dan terorisme. Kebijakan dan strategi yang parsial sulit menghasilkan capaian yang optimal mengingat kompleksitas akar dan sumber persoalan yang ada. Dengan demikian, upaya mendorong kebijakan komprehensif dan adanya keterlibatan atau peran serta berbagai pemangku kepentingan serta sinergi dan kerja sama di antara mereka dalam rangka mewujudkan hak atas rasa aman di masyarakat perlu dikedepankan.
Upaya penanggulangan ekstremisme kekerasan dan terorisme yang komprehensif harus juga mempertimbangkan penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, yang sesungguhnya merupakan esensi dari konsep keamanan itu sendiri (human security). Dengan demikian, upaya untuk menjaga keamanan tidak boleh menegasikan esensi dari keamanan itu sendiri yakni penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dalam menyusun kebijakan antiekstremisme dan antiterorisme, negara harus memenuhi kewajibannya dengan benar, yakni menempatkan perlindungan terhadap “liberty of person” dalam suatu titik perimbangan yang permanen dengan perlindungan terhadap “security of person”. Praktik penanggulangan ekstremisme kekerasan dan terorisme yang eksesif dan menegasikan hak asasi manusia justru seringkali menjadi pendorong aksi terorisme itu sendiri.
Di dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE), kebijakan dan strategi yang dicanangkan bisa dikatakan cukup komprehensif dan kolaboratif. Namun demikian, substansi di dalam RAN PE masih memiliki beberapa catatan. Pertama, Pemerintah perlu berhati-hati dalam implementasi RAN PE, mengingat hingga saat ini belum adanya kesamaan definisi serta indikator Ekstremisme Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme, baik di kalangan Pemerintah maupun masyarakat. Belum adanya kesamaan definisi serta indikator yang jelas tersebut berpotensi kepada subjektivitas dalam mengidentifikasi fenomena ekstremisme kekerasan dalam masyarakat yang berujung pada stigmatisasi dan diskriminasi terhadap individu atau kelompok tertentu serta segregasi dalam masyarakat.
Selama ini, dalam masyarakat sendiri belum terbentuk pemahaman yang jelas dan utuh terkait apa yang dimaksud dengan ekstremisme kekerasan, ciri-ciri serta bahayanya bagi masyarakat. Pada tataran praktis, upaya identifikasi ekstremisme berbasis kekerasan juga bukan hal yang mudah dan bahkan memunculkan stigmatisasi radikal atau ekstrem terhadap orang yang didasarkan pada cara berpakaian atau memiliki pemikiran tertentu.
Kedua, mengingat luasnya persoalan ekstremisme kekerasan, Pemerintah seharusnya dapat lebih jelas memformulasikan level persoalan yang mencoba untuk diatasi dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip dan standar HAM. Hal ini menjadi penting, mengingat formulasi level persoalan yang tidak presisi dapat mengarah kepada diskriminasi dan tindakan-tindakan yang berlebihan Sebagai contoh, dari sejumlah langkah yang dicanangkan, salah satu yang perlu mendapat catatan terutama pada implementasinya agar dilakukan secara hati-hati yakni terkait pendekatan “pemolisian masyarakat dalam pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan”. Sebagai langkah pencegahan, adanya keterlibatan masyarakat menjadi penting dan memang dibutuhkan, namun langkah tersebut jangan sampai disalahpahami oleh masyarakat sehingga implementasinya justru mendorong proses stigmatisasi, diskriminasi, sikap saling mencurigai antarkelompok sehingga berpotensi memicu konflik dan ketegangan antarkelompok di masyarakat.
Ketiga, kami memandang bahwa permasalahan-permasalahan yang dipetakan di dalam RAN PE bersifat sangat luas, namun belum disertai oleh sistem monitoring dan evaluasi yang memadai. Hal ini sangat disayangkan, mengingat hal tersebut begitu penting dalam mengukur tingkat keberhasilan implementasi RAN PE. Dalam konteks monitoring dan evaluasi tersebut, penting bagi Pemerintah untuk juga melibatkan pemangku kepentingan lainnya, termasuk berbagai elemen masyarakat sipil, dalam rangka menjamin transparansi dan akuntabilitas RAN PE.
Berdasarkan hal-hal di atas, Imparsial berharap agar kebijakan, strategi dan praktik pencegahan dan penanggulangan ancaman ekstremisme kekerasan dalam kerangka RAN PE dijalankan oleh pemerintah dengan tetap mengadopsi prinsip-prinsip dan standar penghormatan terhadap hak asasi manusia. Lebih dari itu, meski RAN PE ditujukan kepada kementerian, lembaga, dan Pemerintah Daerah, Pemerintah juga perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan lainnya secara aktif, baik dalam implementasi, monitoring, maupun evaluasi.
Jakarta, 20 Januari 2021
Gufron Mabruri (Direktur, 081213340612);
Ardimanto Putra (Wakil Direktur, 081261944069);
Evitarosi Budiawan (Koordinator Program, 081219192143)