“Laporan Masyarakat Sipil tentang Kondisi Kebebasan Beragama Berkeyakinan di
Indonesia Periode 2017-2021 dalam Universal Periodic Review (UPR) Indonesia 2022”

Siaran Pers
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Beragama Berkeyakinan (KBB)

Pada Rabu 30 Maret 2022, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Beragama Berkeyakinan
(KBB) telah mengirimkan laporan gabungan untuk Universal Periodic Review (UPR)
Indonesia Siklus Keempat, Sesi ke-41 di tahun 2022 tentang kondisi kebebasan beragama
berkeyakinan di Indonesia, kepada Dewan HAM PBB. Pada periode UPR sebelumnya (2017),
Indonesia mendapatkan 20 rekomendasi terkait jaminan perlindungan hak atas KBB. Namun,
tidak semua rekomendasi yang diterima oleh pemerintah Indonesia pada saat itu
diimplementasikan dengan baik oleh pemerintah Indonesia.


Dalam laporan yang telah disusun dengan merujuk pada hasil pemantauan kondisi KBB di
Indonesia, serta mengingat kembali rekomendasi pada periode sebelumnya, Kami membagi
laporan menjadi tiga (3) isu dan permasalahan utama terkait kondisi kebebasan beragama
berkeyakinan di Indonesia, khususnya pada periode 2017-2021, yakni Permasalahan regulasi
tentang KBB, Implementasi perlindungan KBB, dan Perspektif gender dalam KBB.

Permasalahan Regulasi tentang Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia


Masih terdapat regulasi nasional yang bertentangan dengan norma kebebasan beragama atau
berkeyakinan yang dijamin dalam hukum hak asasi manusia. Di antaranya adalah pasal tentang
penodaan agama (blasphemy) yang diatur dalam pasal 156a KUHP; di ranah digital terdapat
Pasal 28 ayat 2 UU ITE jo. Pasal 45A ayat 2 UU ITE; dan Peraturan Bersama Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat (selanjutnya
disebut PBM 2006). Regulasi tersebut seringkali digunakan untuk mengkriminalisasi
masyarakat atau kelompok yang tidak sejalan dengan pemahaman mainstream, bahkan menjadi
sarana pembatasan atas KBB, khususnya terkait pendirian rumah ibadat.


Regulasi yang baik tentang ujaran kebencian dan tentang penanganan konflik sosial seringkali
digunakan secara keliru dan diskriminatif oleh aparat penegak hukum. Secara prinsip, regulasi
terkait penanganan ujaran kebencian dalam pasal 156 KUHP dan pasal 28 ayat 2 UU ITE
tentang ujaran kebencian sudah sesuai dengan prinsip HAM (pasal 19 dan 20 ICCPR), namun
dalam praktiknya masih digunakan secara keliru untuk mempersekusi individu maupun
kelompok keagamaan yang dianggap memiliki pandangan keagamaan yang berbeda dengan
mayoritas. Aturan baik lainnya yakni terkait penanganan konflik sosial, sebagaimana diatur
dalam UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, (lebih dikenal dengan UU
PKS), yang tidak digunakan dan belum menjadi rujukan dalam penanganan konflik sosial
berbasis agama sebagaimana mestinya. Bahkan pemerintah juga telah memiliki Rencana Aksi

Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN
P3AKS) Tahun 2020-2024 sebagai pedoman bagi berbagai pemangku kepentingan untuk
melindungi perempuan dan anak dalam konflik sosial berbasis agama atau kepercayaan, namun
implementasinya, perempuan belum dilibatkan dalam penyelesaian kasus KBB karena
perspektif gender yang masih lemah.

Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri RI No. 3
Tahun 2008, KEP-033/A/JA/6/2008, dan No. 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah
Kepada Penganut dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga
Masyarakat yang merupakan regulasi yang diskriminatif, khususnya terhadap kelompok
Ahmadiyah masih saja dipertahankan dan seringkali menjadi sumber perlakuan diskriminatif
dan memicu tindak kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah. SKB 3 Menteri tersebut juga
seringkali dijadikan dasar legitimasi oleh kelompok-kelompok keagamaan tertentu yang
mengatasnamakan mayoritas untuk melakukan diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok
JAI.

Di tingkat lokal atau daerah, masih banyak regulasi yang bertentangan dengan prinsip HAM,
terutama peraturan daerah yang memiliki nuansa keagamaan tertentu yang seringkali menyasar
kelompok minoritas keagamaan atau kepercayaan; melarang perbuatan yang dianggap tercela;
atau mengatur tata cara berpakaian. Pada tahun 2018, Komnas Perempuan mencatat setidaknya
terdapat 421 regulasi di tingkat daerah (dalam bentuk Perda dan surat edaran) yang bersifat
diskriminatif. Setidaknya 151 di antara regulasi tersebut bernuansa agama tertentu, seperti
bernuansa syariat Islam, Kristiani atau Hindu, yang tidak mempertimbangkan tradisi dan ajaran
agama atau norma lokal, seperti Peraturan Gubernur Jawa Timur (Pergub) No. 55 tahun 2012
tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur,
Peraturan Gubernur Jawa Barat (Pergub) No. 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan
Jemaat Ahmadiyah Indonesia Di Jawa Barat; surat edaran Nomor: 300/ 1321- kesbangpol
tentang himbauan pelarangan perayaan Asyura (Peringatan Hari Duka Syahadah Sayidina
Husain bin Ali bin Abi Thalib AS) di kota Bogor, dll.

Regulasi yang menyuburkan kebencian terhadap kelompok minoritas terus bermunculan
khususnya terhadap kelompok Ahmadiyah, bahkan sampai tingkat daerah yang menyebar, baik
pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten/kota. Seringkali, stakeholders di daerah
berdalih bahwa aturan tersebut sebagai tindak lanjut atau aturan turunan dari SKB Tiga Menteri
tentang Ahmadiyah. Akan tetapi, substansi pengaturan dalam regulasi tingkat daerah justru
melampaui substansi yang diatur dalam SKB Tiga Menteri, misalnya pelarangan terhadap
Jemaat Ahmadiyah untuk beribadah di tempat ibadat atau membangun tempat peribadatan
mereka sendiri. Komite Hukum JAI mencatat, hingga Maret 2022 terdapat 47 regulasi daerah
telah terbit untuk melarang aktivitas kelompok mereka.
Niat baik dari Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan
Kementerian Dalam Negeri, yang mengeluarkan regulasi baik tentang tata cara berpakaian
(seragam sekolah) yang menghormati keragaman dan kebebasan beragama berkeyakinan,
justru dibatalkan. Regulasi tersebut dinilai sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap
perlindungan hak-hak minoritas di Indonesia, terutama di dunia Pendidikan. Akan tetapi,

terdapat pihak-pihak yang tidak setuju dengan pengaturan ini, karena menilai hal tersebut
merupakan kewenangan otonom pemerintah daerah maupun sekolah. Tidak lama regulasi
tersebut berlaku, muncul keputusan dari MA membatalkan SKB 3 Menteri terkait seragam
sekolah tersebut karena dinilai bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.
Adanya ketidakpatuhan pemerintah daerah terhadap putusan hukum yang bersifat final dan
mengikat masih terus terjadi. Contohnya pada penyelesaian kasus GKI Yasmin. Meski
Pemerintah Kota Bogor telah membuat keputusan untuk penyelesaian hak beribadah jemaat
GKI Yasmin di Kota Bogor, namun penyelesaian yang dilakukan tidak bersifat tuntas dan
meninggalkan sejumlah persoalan yang dapat muncul sewaktu-waktu di masa yang akan
datang. Keputusan untuk merelokasi pembangunan gereja ke tempat lain yang dilakukan oleh
pemerintah Kota Bogor tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Agung yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Keputusan tersebut dikhawatirkan menjadi tren ke depan dalam
menghadapi konflik tempat ibadah di Indonesia di masa yang akan datang.
Regulasi yang baik terkait kelompok penghayat, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.
97/PUU-XIV/2016 (Putusan MK 97/2016), implementasinya masih bermasalah dan masih
melanggengkan praktek diskriminatif. Misalnya, dalam hal pengurusan keperluan administratif
atau mendapatkan bantuan sosial dan pelayanan publik

Implementasi Perlindungan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia

Implementasi pemenuhan atas kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia masih
sering mengalami permasalahan. Hak atas KBB di Indonesia kerap mengalami pelanggaran,
setidaknya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2017-2021) mengalami fluktuasi, di mana
praktik intoleransi keagamaan telah berkembang dan menjadi masalah yang cukup serius di
masyarakat. Praktik intoleransi yang terjadi memiliki bentuk dan tujuan yang beragam, seperti
untuk menyakiti, mengintimidasi atau menyingkirkan orang lain, terutama anggota kelompok
minoritas dari upaya penikmatan atas hak-haknya atas dasar perbedaan agama, keyakinan, atau
identitas yang melekat pada dirinya

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Setara Institut, sepanjang 2017-2021 terdapat 866
peristiwa pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan dengan total 1.472 tindakan.
Sepanjang periode tersebut, sedikitnya terjadi 213 kasus pembatasan ruang/tempat peribadatan,
dan terdapat 243 tindakan kriminalisasi ekspresi agama termasuk di dalamnya kasus-kasus
ujaran kebencian dan pelaporan atas tuduhan penodaan agama.

Persoalan atas penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas KBB di Indonesia masih
sangat memprihatinkan dan hingga saat ini belum menjadi perhatian serius bagi Negara. Dalam
hal penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat terhadap pihak yang melakukan pelanggaran
KBB dinilai tidak maksimal, adanya pembiaran, praktik yang cenderung tidak adil, dan masih
adanya impunitas yang tidak menimbulkan efek jera.

Terkait implementasi kebijakan di lapangan, masih menunjukkan adanya praktik diskriminasi
pelayanan publik terhadap kelompok tertentu yang terus terjadi, dan dalam titik tertentu justru

melanggar sejumlah hak kebebasan fundamental. Sedikitnya terdapat 236 kebijakan dan
perilaku diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan yang dilakukan oleh
masyarakat setidaknya terdapat 238 tindakan intoleransi.

Adapun beberapa praktik pelanggaran hak atas KBB yang terjadi dalam periode waktu 2017-
2021 yang coba kami klasifikasikan, antara lain; Diskriminasi perizinan pendirian rumah
ibadah yang masih banyak terjadi di beberapa daerah; Persoalan pengakuan administratif yang
terbatas pada kelompok penghayat kepercayaan dan agama lokal; Praktik kekerasan dan
perundungan terhadap kelompok minoritas agama atau kepercayaan; Adanya diskriminasi
layanan pendidikan; dan Diskriminasi pelayanan publik administrasi kependudukan.

Selain itu, Kami mencatat masih terjadi berbagai tindakan kekerasan berbasis agama yang
menimpa individu atau kelompok tertentu, hingga mengakibatkan kerugian secara materiil dan
imateriil. Selama 5 tahun terakhir, setidaknya terdapat 2 kasus kekerasan terhadap Kelompok
JAI, yakni persekusi terhadap kelompok JAI di Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat) di tahun
2018 dan persekusi terhadap kelompok JAI di Sintang (Kalimantan Barat) di tahun 2021. Di
level individu, diskriminasi dan tindakan kekerasan juga menimpa Meiliana, warga perempuan
keturunan Tionghoa yang beragama Buddha di Tanjung Balai Selatan, Kota Medan, Sumatera
Utara, yang ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan kasus penistaan agama, yang mana
dalam proses hukumnya sangat terlihat adanya perlakuan diskriminatif dan aparat penegak
hukum dinilai tidak mampu untuk mengantisipasi dan mencegah adanya tindakan persekusi
dan intimidasi.

Perspektif Gender dalam Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan

Pada banyak kasus pelanggaran hak atas KBB, Perempuan dan Anak-anak menjadi kelompok
yang paling rentan sebagai korban dalam kasus-kasus intoleransi, diskriminasi dan kekerasan
yang berbasis agama. Dalam perspektif gender, adanya bentuk-bentuk kekerasan berbasis
gender dalam konteks pelanggaran hak atas KBB, dialami oleh perempuan dalam bentuk yang
berbeda. Akibatnya, korban perempuan dan anak-anak akan kehilangan rasa aman, trauma dan
ketakutan terhadap ancaman serangan yang berulang. Di tahun 2020 sebagai awal tahun
pandemi Covid-19, dari total 180 peristiwa pelanggaran KBB yang terjadi di Indonesia,
setidaknya 12 diantaranya menimpa perempuan sebagai korban. Dalam konteks ini, kegagalan
negara dalam mengidentifikasi kekhususan situasi, kerentanan, dan dampak spesifik yang
dialami oleh perempuan dan anak-anak pada peristiwa pelanggaran KBB memicu perlakuan
diskriminatif terhadap perempuan.

Berangkat dari berbagai permasalahan di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk
Kebebasan Beragama Berkeyakinan memberikan beberapa poin rekomendasi yang ditujukan
kepada Badan HAM PBB untuk mendorong Pemerintah Indonesia agar:

  1. Menghapus atau merevisi aturan hukum (pasal-pasal) tentang penodaan agama
    (blasphemy) khususnya UU No. 1/ PNPS/ 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
    Dan Atau Penodaan Agama, Pasal 156a KUHP, Pasal 28 ayat 2 jo. Pasal 45A ayat 2
    UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
  1. Mencabut Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam
    Negeri RI No. 3 Tahun 2008, KEP-033/A/JA/6/2008, dan No. 199 Tahun 2008 tentang
    Peringatan dan Perintah Kepada Penganut dan/atau Anggota Pengurus Jemaat
    Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat atau yang lebih dikenal dengan
    “SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah”.
  1. Mengevaluasi dan mencabut semua regulasi pada tingkat daerah di Indonesia yang
    bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, terutama peraturan daerah yang
    memiliki nuansa keagamaan tertentu yang bertentangan dengan norma kebebasan
    beragama dan berkeyakinan.
  1. Mencabut 47 regulasi pada tingkat daerah yang melarang aktivitas kelompok
    Ahmadiyah karena bertentangan UU dan melampaui kewenangan pengaturan yang ada
    dalam SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah.
  1. Merevisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
    (UU Sisdiknas) untuk mengatur tentang pengaturan seragam sekolah yang
    menghormati hak-hak peserta didik minoritas agama.
  1. Mendesak pemerintah kota Bogor untuk mematuhi keputusan hukum yang telah
    bersifat inkracht (final dan mengikat) dari Mahkamah Agung (MA) untuk menerbitkan
    Izin Mendirikan Bangunan (IMB) bagi GKI Yasmin pada tempat yang telah ditetapkan
    dalam putusan MA tersebut
  1. Melakukan training kepada aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, kejaksaan
    dan badan peradilan untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam melakukan
    penindakan hukum yang berperspektif hak asasi manusia.
  2. Melakukan training kepada aparatur sipil negara (ASN) untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam melakukan pelayanan publik yang berperspektif hak asasi manusia, khususnya pelayanan terhadap kelompok minoritas agama atau kepercayaan yangsesuai dengan prinsip kebebasan beragama atau berkeyakinan.
  1. Mainstreaming HAM, khususnya kebebasan beragama atau berkeyakinan kepada para
    politisi partai, baik yang menjabat sebagai kepala daerah maupun legislatif/parlemen.
  1. Dalam konteks penanganan kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas, aparat
    penegak hukum harus bertindak dengan mengedepankan keadilan dan menjamin
    perlindungan terhadap korban, menerapkan prinsip dan standar yang tertuang dalam
    Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri sebagai acuan
    dalam pelaksanaan tugas kepolisian dalam merespon diskriminasi dan persekusi.
  1. Negara harus mencari solusi tegas dan permanen dalam rangka menjamin perlindungan
    kebebasan beragama atau berkeyakinan, termasuk akses perizinan pendirian tempat
    peribadatan, akses fasilitas umum dan bantuan pemerintah bagi komunitas Jemaat
    Ahmadiyah Indonesia
  1. Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri harus melakukan pengawasan
    dan menindak tegas pemerintah daerah yang mengeluarkan peraturan diskriminatif dan
    membatasi hak-hak kelompok minoritas.
  1. Melibatkan partisipasi perempuan secara substansial dalam pengambilan keputusan
    dalam penyelesaian konflik dan kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan
    berkeyakinan.
  1. Memastikan tidak terjadinya viktimisasi berganda terhadap perempuan dan anak dalam
    penyelesaian konflik berbasis agama dengan membentuk kebijakan terkait penanganan
    konflik berbasis agama atau keyakinan.
  1. Menjamin pemulihan korban baik fisik maupun psikologis, serta pemulihan hak korban
    konflik berbasis agama atau keyakinan, khususnya terhadap perempuan dan anak.

Jakarta, 14 April 2022

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Beragama Berkeyakinan
[Ahlulbait Indonesia, BASOLIA, LBH Masyarakat, Fahmina Institute, Fatayat Nahdlatul
‘Ulama Bandung, Gusdurian, HRWG, IMPARSIAL, YLBHI, INKLUSIF, LK3 Banjarmasin,
JAKATARUB, KontraS, Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Indonesia, Mosintuwu Institute, Peace Generation Indonesia, Percik Institute, PBHI,
Puanhayati, SETARA Institute, AMAN Indonesia, PUSAD Paramadina, PUSHAM UII, PGI,
IJABI, Institut DIAN/Interfidei, The LBH Jakarta, SEJUK, Komite Hukum JAI, Yayasan
Prasasti Perdamaian, dan Yayasan Satu Keadilan]

id_IDBahasa Indonesia