Dalam rentang empat hari terjadi dua serangan terorisme, yakni aksi bom bunuh diri di gereja
Katedral Makassar pada tanggal 28 Maret 2021 dan aksi penembakan di Mabes Polri pada
tanggal 31 Maret 2020. Dua peristiwa tersebut menunjukan bahwa terorisme hingga kini
masih menjadi ancaman serius dan nyata yang dihadapi oleh Indonesia.
Kami memandang bahwa aksi terorisme merupakan tindakan yang sama sekali tidak
dibenarkan dengan dalih dan tujuan apapun. Aksi terorisme secara nyata menjadi ancaman
terhadap keamanan dan juga kemanusiaan kita. Dalam perkembangannya, aksi terorisme
pada masa kini semakin lebih kompleks. Aksi itu tidak hanya dilakukan oleh kelompok
tetapi juga dapat dilakukan seorang diri (lone wolf).
Perkembangan teknologi dan dinamika arus infomasi-komunikasi yang begitu cepat telah
memberikan ketersediaan sumber daya dan metode baru bagi para pelaku teror untuk
mencapai tujuannya. Pelaku aksi teror tidak lagi bergerak dalam sebuah situasi isolasi. Ruang
dan peluang yang dimiliki oleh pelaku teroris untuk menjalankan aksinya semakin luas. Hal
ini menjadikan fenomena terorisme menjadi relatif sulit diprediksikan untuk menentukan
kapan dan di mana kelompok teroris akan melakukan aksinya.
Upaya penindakan terhadap pelaku aksi terorisme termasuk mengungkap jaringan
kelompoknya yang selama ini dilakukan melalui instrumen penegakan hukum memang
menjadi bagian dari langkah penting yang perlu tetap dilakukan. Secara teori, pengungkapan
jaringan dan penangkapan sejumlah terduga teroris yang selama ini dilakukan oleh kepolisian
tidak dipungkiri akan memantik reaksi perlawanan dari kelompok teroris. Namun demikian,
Negara dalam hal ini adalah kepolisian tidak boleh mundur apalagi kalah dari kelompok
teroris. Adalah kewajiban Negara untuk menjamin rasa aman masyarakat termasuk dari
ancaman terorisme.
Lebih dari itu, kami menilai bahwa dalam konteks penanggulangan ancaman terorisme
dibutuhkan adanya kebijakan yang komprehensif dan sistematis untuk menangani akar
penyebabnya dengan tetap selaras dengan kehidupan negara demokratik, negara hukum dan
HAM. Kebijakan negara untuk menanggulangi ancaman terorisme tidak hanya mencakup
langkah-langkah kontra-terorisme yang berbasis pada pendekatan keamanan dengan
melakukan penindakan, tetapi yang juga penting dimaksimalkan adalah merumuskan
langkah-langkah pencegahan (Anti-terorisme) yang diarahkan untuk mengatasi faktor-faktor
pendorong terorisme dan ekstremisme kekerasan.
Kebijakan pencegahan (Anti-terorisme) merupakan segenap kebijakan yang dimaksud untuk
mencegah dan menghilangkan peluang tumbuhnya terorisme. Sebagai kebijakan preventif, anti-terorisme memerlukan komprehnsif dimensi-dimensi sosial ekonomi kultural, politik,
dan hubungan luar negeri.
Kami menilai sepanjang penebaran kebencian atas dasar SARA masih terus bertebaran di
media sosial dan cara pandang yang eksklusif dalam bermasyarakat dan beragama masih kuat
yang diikuti dengan sikap intoleran maka hal itu mendorong situasi sosial yang kondusif bagi
tumbuhnya terorisme dan ekstremisme kekerasan.
Pada titik ini, penguatan penanganan terorisme bukan dengan memperkuat kewenangan
instrumen koersif seperti rencana pelibatan TNI untuk mengatasi aksi terorisme atau
memberikan kewenangan baru yang berlebihan pada aparat kepolisian, tetapi yang harus
dipikirkan dan didorong adalah bagaimana membangun mekanisme pencegahan yang efektif
(Anti-Terorisme) untuk menanganinya mulai dari agenda deradikalisasi hingga
kontraradikalisasi.
Langkah-langkah pencegahan yang sifatnya komprehensif juga perlu melibatkan semua
pemangku kepentingan baik di pemerintahan maupun masyarakat mengingat kompleksitas
akar dan masalah terorisme. Dalam konteks ini, kerja-kerja tersebut perlu mengoptimalkan
peran BNPT, tokoh agama, masyarakat, peran komunitas, dunia pendidikan, keluarga dan
lainnya. Kebijakan dan strategi yang parsial sulit menghasilkan capaian yang optimal
mengingat kompleksitas akar dan sumber persoalan yang ada.
Jakarta, 1 April 2021
- Gufron Mabruri (Direktur Imparsial) / 081213340612
- Al Araf (Peneliti Senior Imparsial) /08121334061