Hukuman Mati dalam Tafsir Al-Qur’an: Mempertimbangkan Aspek Kemanusiaan Menuju Restorative Justice

Irma Riyani, Phd
UIN Sunan Gunung Djati, Bandung

A. Pendahuluan: Islam Agama Kemanusiaan

Sejak Islam hadir di Jazirah Arab pada abad ke-7 Masehi misi utamanya adalah kemanusiaan. Islam mengembalikan derajat manusia pada sisi kemanusiaannya sebagai manusia yang bermartabat (full humanity). Masyarakat yang dibangun oleh Islam adalah masyarakat egaliter tanpa memandang jenis kelamin, etnis, kebangsaan, ataupun jabatan karena semua manusia setara di hadapan Allah. Allah hanya mensyaratkan taqwa sebagai pembeda antara manusia untuk sampai pada derajat yang paling mulia (Q.S. Al-Hujurat: 13).

Islam dalam bingkai agama rahmatan lil ‘alamin memiliki prinsip-prinsip dasarnya adalah kemanusiaan, kedamaian, kesetaraan dan keadilan bagi seluruh ummat manusia dan alam. Inspirasinya dari Al-Qur’an, Sunnah, qaul shahabat dan ulama serta teks-teks lainnya dalam Islam. Namun, interpretasi yang beragam atas teks-teks Islam terkadang mengantarkan pada pemahaman yang kontradiktif dengan prinsip-prinsip dasar tersebut. Dalam penerapan penghukuman, ketimpangan sering terjadi dalam putusan dan pelaksanaannya terutama ketika terkait persoalan perempuan. Banyak kasus di beberapa negara Muslim yang memberlakukan hukuman berdasarkan penerapan syariat Islam menempatkan perempuan sebagai objek hukum di mana pelaksanaannya banyak terjadi diskriminatif seperti yang terjadi pada Zarfan Bibi di Pakistan dalam kasus perkosaan, ia yang menjadi korban tetapi malah tertuduh karena persoalan saksi.

Ajaran Islam terbagi menjadi tiga aspek: tawhid, etika-moral dan hukum. Ketiga aspek ini merupakan satu kesatuan yang saling terkait dalam penerapannya dan tidak difahami secara terpisah-pisah. Pesan Al-Qur’an terpusat pada aspek tawhid yang mendasari hubungan-hubungan di dunia: dengan Tuhan, dengan individu, dan dengan alam. Tujuan Islam adalah untuk menciptakan tatanan sosial-moral yang sehat dan produktif. Al-Qur’an telah meletakkan prinsip-prinsip dasar moral etis seperti keadilan, kesetaraan, persaudaraan, tolong menolong dan kemaslahatan umat. Dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar Islam inilah semangat restorative justice memiliki celah untuk dipertimbangkan dengan memahami lebih dalam dari ayat-ayat penghukuman pada aspek moral social dengan mempertimbangkan perubahan dan peradaban masyarakat Muslim sebagai bagian dari warga dunia. Oleh sebab itu, dalam memahami ayat-ayat tentang penghukuman di dalam Al-Qur’an perlu juga melihat konteks hadirnya ayat tersebut di tengah masyarakat untuk menelusuri situasi yang melatari hadirnya sebuah hukum. Berikut ini akan dipaparkan tawaran metodologi dalam memahami ayat-ayat terkait hukuman, secara spesifik hukuman mati.

B. Metodologi dalam Membaca dan Menafsirkan Al-Qur’an

Dengan semakin meningkatnya identitas keislaman di Indonesia, semangat melaksanakan ajaran Islam pun semakin meningkat. Terlebih lagi dengan munculnya kelompok-kelompok Islam konservatisme yang mengarah kepada ekstremisme berkekerasan telah banyak mempengaruhi cara pandang dan pemikiran umat Islam di Indonesia. Tuntutan-tuntutan untuk penerapan syariat Islam mulai bermunculan dengan mendapat momentum dari penerapan otonomi daerah. Sementara, penerapan syariat Islam di beberapa wilayah di Indonesia juga menimbulkan berbagai persoalan terkait hak asasi manusia, karena beberapa penghukuman dilakukan dengan tidak manusiawi. Seperti di Nangroe Aceh Darussalam, kehadiran Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jinayat, bukan saja memperlihatkan persoalan yang melingkupi mekanisme hukum pidana di Indonesia, tetapi juga sebagai gambaran lemahnya negara dalam memahami hukum Islam itu sendiri. Di beberapa negara yang menerapkan syariat Islam, seolah pelaksanaan penghukuman terkait jinayah ini dijadikan sebagai ciri atau penanda dari pelaksanaan syariat Islam seperti hukum cambuk, potong tangan dan qisas. Padahal, sistem penghukuman ini hanya sebagian kecil dari penerapan syariat Islam yang juga dalam pelaksanaannya perlu pemikiran yang matang terkait pemahaman ayat-ayat uqubat (penghukuman) ini.

Dengan demikian, dalam tulisan ini akan dipaparkan lebih jauh terkait bagaimana memahami ayat-ayat terkait penghukuman dalam Al-Qur’an ditinjau dari tafsiran atasnya. Secara spesifik pembahasan akan diarahkan pada ayat-ayat yang terkait hukuman mati atau pembunuhan yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Namun sebelumnya, perlu disampaikan terlebih dahulu tentang metodologi dalam memahami Al-Qur’an terutama ayat-ayat tentang hukum.

Terdapat beberapa metodologi dalam memahami Al-Qur’an mulai dari ijmali (penafsiran secara garis besarnya saja), tahlili (penafsiran secara runut dan detail), Muqoran (membandingkan antara beberapa penafsiran), sampai metode popular di era kontemporer yakni mawdlu’i (penafsiran berdasarkan tema). Sejarah metodologi penafsiran Al-Qur’an dari waktu ke waktu terus berkembang dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an oleh para ulama tafsir. Pada masa awal, Nabi dan para sahabat menafsirkan dengan tradisi lisan dan menggunakan rujukan antar ayat dalam Al-Qur’an atau periwayatan dari Rasulullah yang kemudian disebut sebagai tafsir bi al-ma’tsur. Pada masa selanjutnya, perkembangan metodologi tafsir semakin berkembang dengan berbagai metode dan corak tafsir yang lebih variatif dengan menggabungkan sumber riwayat, ra’yi dan menimbang realitas pembaca (penafsir). Masa awal Islam tradisi penafsiran lebih menekankan pada aspek kebahasaan Al-Qur’an dan berpusat pada teks sebagai titik awalnya. Sementara pada era kontemporer terjadi pergeseran paradigm penafsiran ke arah reformatif- kritis dengan focus pada realitas, teks dan perkembangan nalar moderitas.[1]

Memahami ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an menarik juga untuk mempertimbangkan tawaran metodologi Muhammad Syahrur dalam memahami ayat-ayat hukum dengan teori batas. Dalam penerapan hukum misalnya pada ayat potong tangan, Syahrur menyatakan bahwa penghukuman yang disebutkan di dalam Al-Qur’an adalah jenis penghukuman tertinggi (halah al-had al-A’la).[2] Seorang hakim tidak boleh memutuskan hukuman melebihi batas maksimal tersebut, sebaliknya hakim boleh memberi hukuman yang lebih rendah dari potong tangan disesuaikan dengan kondisi objektif di lapangan. Sebagai contoh adalah yang dilakukan Umar bin Khattab pernah tidak melakukan eksekusi potong tangan bagi seseorang yang tertangkap mencuri, padahal ayatnya ada. Hal ini beliau lakukan dengan mempertimbangkan konteks (realitas), dalam kondisi bahwa pada saat itu memang terjadi paceklik yang berkepanjangan yang menyebabkan ketersediaan pangan rendah dan menjadikan banyak orang kelaparan. Karenanya, pencurian dilakukan karena memang banyak rakyat yang tidak bisa makan sehingga terpaksa mencuri. Dalam kasus seperti itu, maka hukuman potong tangan tidak diberlakukan karena negara belum bisa menjamin rakyatnya hidup layak.

Metode lainnya yang mempertimbangkan realitas adalah Fazlur Rahman dengan teori ‘double movement’ nya terutama untuk ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Teori double movement mensyaratkan gerakan ganda dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, dari masa kini ke masa lalu, kemudian kembali ke masa kini. Gerakan pertama adalah melakukan penelusuran historis ke masa ketika Al-Qur’an diturunkan pada abad ke-7 Masehi. Penelusuran historis ini dimaksudkan untuk memahami konteks diturunkannya wahyu (ayat tertentu) dengan memperhatikan baik itu konteks spesifik turunnya ayat (sabab nuzul) maupun konteks umum (makro) yakni kondisi jazirah Arab secara umum terkait aspek sosial, budaya, ekonomi, politik dan geografis serta lainnya. Tujuan penelusuran historis ini untuk menemukan esensi makna yang dikandung dalam ayat yang diturunkan dalam respon sosialnya untuk menggali elan dasarnya pada tataran rasio legis di balik turunnya ayat-ayat tersebut, atau bisa juga kita sebut sebagai hikmah tasyri’ atau hikmah di balik penetapan hukum dalam realitasnya. Setelah mengetahui makna di balik penurunan ayat tersebut, lakukan gerakan kedua yakni kembali ke masa kini, masa saat pembacaan ayat tersebut untuk diterapkan dengan memperhatikan relevansi penerapannya di era sekarang. Esensi pemaknaan yang tadi sudah dipahami tersebut bisa diterapkan di era sekarang dengan disesuaikan dalam pelaksanaannya dengan memperhatikan signifikansi dan relevansinya dalam konteks kekinian tanpa kehilangan esensinya. Jadi, menurut Rahman makna ayat bukan sekedar difahami dari makna literal yang tertuliskan, melainkan juga perlu menggali makna di balik teks tersebut.[3] Asma Barlas menyebutnya what behind the text sebagai penelusuran konteks historis dan what in front of the text untuk arahan penerapannya di era kontemporer.[4] Sebagai contoh adalah ayat potong tangan (Al-Maidah 5: 38) dengan memperhatikan konteks saat turunnya ayat abad ke 7 Masehi, sistem penguhukuman potong tangan adalah yang biasa dilakukan pada masa tersebut. Tetapi ayat menyatakan bahwa sebetulnya bukan eksekusi potong tangannya sebagai esensi makna dari ayat tersebut tetapi ada penghukuman untuk membuat pencuri jera dan tidak melakukan pencurian kembali. Pelaksanaan hukumannya bisa berubah seiring dengan perubahan sistem sosial dan kemajuan peradaban yang terjadi di masyarakat. Apabila sistem penghukuman seperti penjara bisa membuat jera maka potong tangan tidak perlu dilakukan, atau memotong sistem dalam jabatan seseorang dengan memecat atau memberhentikan dari jabatannya untuk kasus korupsi (mencuri dalam jumlah yang besar) dianggap efektif membuat jera, ini juga bisa dilakukan.

Memahami ayat-ayat penghukuman dalam Al-Qur’an terutama ayat-ayat tentang pembunuhan dengan mengaitkan pada kemungkinan untuk restorative justice, maka tawaran metodologi tafsir yang relevan dalam mengaplikasikannya adalah tawaran metodologi yang diusung oleh ulama era kontemporer seperti Rahman dan Syahrur di atas.

Walaupun sudah hangat dibincangkan sejak tahun 1970an, dan sudah diterapkan di berbagai negara seperti Kanada dan beberapa negara Eropa, di Indonesia, istilah restorative justice ini memang kembali menyeruak terutama di Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk diterapkan sebagai langkah dalam mengatasi over crowded nya lapas di Indonesia. Selain juga karena pembinaan yang dilakukan di lapas tidak terlalu efektif dalam membuat jera pelaku tindak kriminal dan terkait budgeting yang besar dalam penanganannya.

Restorative justice adalah salah satu upaya dalam penyelesaian konflik yang sedang terjadi dengan memperbaiki keadaan ataupun kerugian yang ditimbulkan dari konflik tersebut dengan melakukan dialog dan mediasi. Pelaksanaan restorative justice ini melibatkan pelaku, korban (atau keluarga korban), pemerintah, dan masyarakat. Restorative justice akan efektif apabila melibatkan dialog interaktif dengan melibatkan ketiga aspek tadi dan dilakukan dengan tidak terpisah-pisah. Pelaksanaan Restorative justice ini sebagai tanggungjawab dari pelaku, pemulihan korban atau keluarga korban dan rekonsiliasi yang dilakukan oleh masyarakat.[5] Tindakan pemulihan ini tujuannya adalah untuk mengurangi tindak kriminalitas dan tindak kejahatan yang dilakukan oleh pelaku dalam masyarakat. Tujuan ini selaras dengan hikmah tasyri’ dari penerapan ayat-ayat penghukuman di dalam Al-Qur’an.

Pembacaan atas teks Al-Qur’an terkait penghukuman dalam Islam tentunya sangat mendukung pemberlakuan restorative justice ini. Karena di setiap ayat tentang penghukuman qisas, Allah selalu memberikan tawaran alternative dari jenis penghukuman dan memberikan peluang kepada pelaku kejahatan untuk bertaubat.

Dalam hukum Islam perbincangan tindak pidana disebut jarimah dan jinayah. Dua istilah ini ada yang menyamakan ada juga yg membedakan. Jarimah adalah larangan-larangan syariah yang diancam dengan sanksi pidana had atau ta’zir. jinayah didefinisikan dengan pelanggaran terhadap enam kebutuhan dasar manusia (ad-dharuriyyat as-sittah), yaitu perlindungan agama, jiwa, keturunan, kehormatan, akal, dan harta. Dalam Islam jarimah atau jinayah, bila diartikan sama, terbagi menjadi tiga macam, yaitu hudud, qisas dan ta’zir. Jarimah hudud adalah perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nash (al-Qur’an dan hadis), misalnya had pencurian, had zina, had qadzaf, dan had hirabah. Jarimah qisas, yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishas (hukuman setimpal) atau dengan pemaafan dari pihak korban dengan pembayaran diyat (tebusan pengganti qisas). Qishas dan diyat merupakan hukuman yang bentuk dan ukurannya telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi, dan menjadi hak perorangan (si korban dan walinya) seperti pembunuhan dan penganiayaan. Sedangkan jarimah ta’zir adalah perbuatan melanggar hukum yang bentuk dan kadar hukumannya tidak ditentukan oleh al-Qur’an dan hadis, baik pelanggaran atas hak Allah (haqqullahi) maupun hak individu (haqqu al-ibad) ditentukan oleh negara.[6]

Hukuman-hukuman yang masuk kategori hudud dan qisas seperti cambuk, rajam, hukuman mati dengan dijemur atau potong tangan dan secara silang dipandang tidak manusiawi, melanggar hak asasi manusia, dan merendahkan martabat kemanusiaan yang diyakini bertentangan dengan tujuan syariat (Maqashid asy-Syariah). Aggapan itu sangat mungkin disebabkan karena kebanyakan penerapan hudud dan qisas dilepaskan dari basis teologisnya serta dipisahkan dari etika moral syariah. Pemisahan hudud dan qisas dari bangunan utuh ajaran Islam inilah yang dianggap berpotensi melahirkan kekacauan, baik cara pandang, disorientasi perumusan, maupun dalam penerapannya. Karena tafsiran hukum Islam tidak monolitik. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan restorative justice dalam Islam perlu mengintegrasikan aspek legal, moral, dan spiritual dalam pelaksanaannya.

Pembacaan teks-teks Islam terkait ayat-ayat penghukuman mati perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip berikut:

  • Kajian kritis terhadap tradisi dan teks Islam
  • Memperlakukan teks sebagai satu kesatuan (tidak terpisah-pisah)
  • Menyandingkan dua sisi teks: yang suportif dan yang seolah represif atas pola penghukuman yang termaktub dalam ayat-ayat hukum
  • Reinterpretasi teks berperspektif kesetaraan, keadilan dan kemaslahatan
  • Mendialogkan teks dengan realitas
  • Menganalisis penafsiran teks dengan melibatkan aspek lainnya: sosial, ekonomi, politik
  • Melakukan pembacaan atas teks dengan mendialogkan antara teks, konteks dan upaya kontekstualisasi di era kontemporer

C. Inventarisasi dan Penafsiran Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Hukuman Mati

Hukum pidana yang disebutkan dalam Al-Qur’an terkait penghukuman zina, tuduhan zina (qadzaf), mencuri (syariqah), dan pemberontakan (hirabah). Dalam tulisan ini akan difokuskan hanya pada penafsiran tentang ayat-ayat pembunuhan serta penghukuman atas pembunuhan untuk mengaitkan kemungkinan arahan restorative justice.

Terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan pembunuhan dan aturan hukuman atas pembunuhan tersebut. Penelusuran ayat-ayatnya berdasarkan kosa kata qisas dan/atau qatl,[7] di antaranya adalah: Q.S. Al-Baqarah [2]: 178 – 179; Q.S. Al-Maidah [5]: 45; Q.S. Al-Maidah [5]: 33 – 34; Q.S. Al-Isra [17]: 33; Q.S. An-Nisa [4]: 93. Berikut adalah rincian ayat-ayat tersebut

  1. Al-Baqarah [2]: 178 – 179

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ اَلْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْاُنْثٰى بِالْاُنْثٰىۗ فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ ۢبِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ بِاِحْسَانٍ ۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗفَمَنِ اعْتَدٰى بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ١٧٨

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. Siapa yang memperoleh maaf dari saudaranya hendaklah mengikutinya dengan cara yang patut dan hendaklah menunaikan kepadanya dengan cara yang baik. Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Siapa yang melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.

وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ ١٧٩

Dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal agar kamu bertakwa.

Dalam ayat tentang penghukuman ini Allah mewajibkan untuk melaksanakan qisas sebagai balasan bagi orang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja dan terencana. Allah memperingatkan dalam melakukan qisas tersebut harus benar-benar sepadan dan tidak boleh melampaui batas. Karena makna asal dari qisas itu adalah keserupaan baik dalam sifatnya maupun dalam pelaksanaannya.[8] Yang dimaksud dengan keserupaan di sini adalah apabila yang meninggal laki-laki merdeka maka qisas-nya adalah dengan laki-laki merdeka pula, apabila perempuan maka dengan perempuan lagi yang setara dan serupa tidak boleh menyalahi (اَلْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْاُنْثٰى بِالْاُنْثٰى).

Sayiyd Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah menjelaskan bahwa apabila pihak korban memilih melakukan qisas, maka pelaksanaannya harus dalam pengawasan pemerintah agar tidak melampaui batas-batas yang sudah ditetapkan dan sesuai aturan.[9]

Ayat ini apabila dilihat dari sabab nuzul-nya menunjukkan sebagai respon atas praktik yang terjadi pada masyarakat Jahiliyyah ketika memberikan penghukuman kepada seseorang yang melakukan pembunuhan dengan semena-mena karena arogansi kesukuan.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id bin Jubair: Bahwa ketika Islam hampir disyari’atkan, pada zaman Jahiliyyah ada dua suku bangsa Arab berperang satu sama lainnya. Di antara mereka ada yang terbunuh dan yang luka-luka, bahkan mereka membunuh hamba sahaya dan wanita. Mereka belum sempat membalas dendam karena mereka masuk Islam. Masing-masing menyombongkan dirinya dengan jumlah pasukan dan kekayaannya serta bersumpah tidak ridha apabila hamba-hamba sahaya yang terbunuh itu tidak diganti dengan orang merdeka, wanita diganti dengan pria. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Al-Baqarah ayat 178) yang menegaskan hukum qisas. [10]

Akan tetapi, dalam ayat ini juga ada peluang untuk tidak melakukan qisas (pemberian hukuman yang setimpal dengan yang dilakukan pelaku). Walaupun seolah-olah bahwa hukuman yang diberlakukan sangat ketat dari ayat di atas, namun teksnya tersebut sebetulnya juga memberikan pilihan-pilihan lainnya sebagai alternatif penghukuman seperti pemaafan oleh korban atau keluarga korban dan pembayaran diyat (kompensasi) bagi keluarga korban. Al-Qur’an membedakan dengan agama sebelumnya dalam pemberian hukuman bagi pelaku pembunuhan dengan menghukumi qisas yang lebih berat dari pembunuhan pertama yang dilakukan. Seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi, apabila yang terbunuh salah satu anggota kelompoknya, mereka meminta hukum qisas-nya dengan beberapa orang dari kelompok yang membunuh. Apabila yang dibunuh perempuan maka meminta penggantinya adalah laki-laki. Sementara itu, kaum Nasrani memberikan pemaafan secara cuma-cuma bagi pelaku pembunuhan.[11] Islam, dalam hal ini mengambil jalan tengah bahwa apabila terjadi pembunuhan maka hukumannya adalah harus seimbang atau serupa: laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Pemaafan bisa diberlakukan tetapi dengan disertai membayar diyat oleh pihak pelaku yang dibayarkan kepada pihak korban.[12]

Diyat yang dimaksudkan adalah pemberian kompensasi atau pembayaran uang tebusan dari harta benda sesuai dengan kesepakatan dari pihak pelaku pembunuhan kepada keluarga korban atau ahli warisnya. Besaran diyat yang dibayarkan terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada yang menyatakan 100 ekor unta, namun ada juga yang menyatakan 30 ekor unta.[13]

Ayat di atas juga mengatur tentang tata cara membayar diyat yang harus dilakukan dengan baik dan tidak boleh ditunda-tunda (فَاتِّبَاعٌ ۢبِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ بِاِحْسَانٍ). Begitu juga, wali korban tidak boleh mempersulit dalam permintaan diyat-nya. Wahbah Al-Zuhaily menegaskan bahwa dalam melakukan komunikasi antara pelaku dan wali dari korban ketika kesepakatan didapat untuk memaafkan dengan membayar diyat, maka komunikasi tersebut wajib dilakukan dengan cara yang baik sebagai syarat dari memaafkan, tidak boleh dengan cara yang kasar dan tercela.[14]

Al-Zuhaily menjelaskan lebih lanjut bahwa Allah memberikan rahmatnya dengan memberikan pilihan memafkan dalam proses penghukuman mati ini sebagai rahmat dan keringanan bagi manusia (ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ). Hikmah di balik pemberian maaf ini agar lebih maslahah bagi masyarakat karena dapat mencegah pertumpahan darah lainnya dengan tidak terjadi lagi pembunuhan atas nyawa dan menjaga satu kehidupan lainnya.[15]

Ayat di atas juga menyatakan larangan untuk melampaui batas (اعْتَدٰى), maksudnya adalah bahwa apabila sudah ada kesepakatan pembayaran diyat dan pihak keluarga korban tetap melakukan qisas. Maka Allah akan murka dan mengadzab perilaku ini di akhirat.

Perilaku tersebut tidak bias dibenarkan dan mendapat ancaman berat di akhirat. Pelaksanaan hukuman yang ditetapkan dalam Al-Qur’an tidak boleh dilakukan dengan semena-mena, tetapi harus dilaksanakan dengan penuh pemikiran yang mendalam. Karena pelaksanaan hukuman tersebut bukan hanya menyebabkan hilangnya nyawa, kebebasan dan milik individu, tetapi juga cacat social, keperihan dan penderitaan psikologis.[16] Pertimbangan pelaksanaannya harus memperhatikan konstitusi nasional, instrument-instrumen internasional (seperti deklarasi universal hak asasi manusia dan hak sipil maupun politik dan yang lebih penting lagi benar-benar sudah memahami hikmah tasyri’ dari penetapan hukum tersebut dari Al-Qur’an.

Dalam ayat ke 179 dijelaskan bahwa dalam hukuman qisas itu sebenarnya Allah sedang memberikan jaminan kelangsungan hidup dan terpeliharanya nyawa. Maksudnya adalah bahwa dengan pelaksanaan hukuman qisas tersebut sebenarnya sedang menjaga kehidupan agar orang tidak semena-mena dalam membunuh karena konsekuensinya akan diberikan hukuman yang setimpal dengan dibunuh pula. Sesungguhnya seseorang itu apabila mengetahui (jika dia membunuh seseorang, maka ia akan dikenai hukuman mati), niscaya dia akan mencegah dirinya dari melakukan niatnya itu. Di dalam peraturan ini terkandung jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. Di dalam kitab-kitab terdahulu disebutkan bahwa hukum mati itu dimaksudkan untuk terhentinya tindakan pembunuhan. Al-Qur’an mengungkapkannya dengan gaya bahasa yang lebih fasih, lebih mengena, dan lebih ringkas, yaitu melalui firman-Nya: Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian (Al-Baqarah: 179).[17]

Abu Aliyah mengatakan, Allah menjadikan hukum qisas sebagai jaminan kelangsungan hidup bagi kalian, karena berapa banyak orang dari kaum laki-laki yang hendak melakukan pembunuhan, tetapi niatnya itu dia batalkan karena takut akan terkena hukum qisas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Abu Malik, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi’ ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.[18]

  1. Q.S. Al-Isra [17]: 33:

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُوْمًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهٖ سُلْطٰنًا فَلَا يُسْرِفْ فِّى الْقَتْلِۗ اِنَّهٗ كَانَ مَنْصُوْرًا ٣٣

Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Siapa yang dibunuh secara teraniaya, sungguh Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya. Akan tetapi, janganlah dia (walinya itu) melampaui batas dalam pembunuhan (qisas). Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan.

Allah sesungguhnya sangat tidak menyukai tumpahnya darah seorang Muslim dengan sia-sia. Menjaga kehidupan merupakan tujuan utama dari ayat-ayat yang memberlakukan penghukuman sehingga orang tercegah untuk melakukan pembunuhan. Oleh sebab itu pada surat An-Nisa [4]: 93 menyatakan bahwa:

وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ عَذَابًا عَظِيْمًا ٩٣

Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, balasannya adalah (neraka) Jahanam. Dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya azab yang sangat besar.

Ini dimaksudkan untuk orang yang melakukan pembunuhan secara terencana dengan menggunakan alat tertentu untuk membunuh. Maka tidak ada ampunan sama sekali dan siksaannya sangat berat di neraka dan Allah sangat murka atasnya. Terlebih apabila pembunuhan ini dilakukan kepada orang yang juga Muslim. Kemurkaan Allah dan balasan neraka dalam ayat di atas merupaka penghukuman di akhirat, sementara untuk penghukuman di dunia aturannya sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 178 di atas. Dalam tafsir Al-Jalalayn menjelaskan bahwa apabila pembunuhan tersebut tidak direncanakan, atau tidak disengaja, maka qisas tidak diberlakukan dan cukup pembayaran diyat saja.[19]

Secara rinci pelaksanaan pembayaran diyatnya dijelaskan di ayat sebelumnya, An-Nisa [4]: 92 terkait pembunuhan yang tidak direncanakan.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ اَنْ يَّقْتُلَ مُؤْمِنًا اِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَـًٔا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَّدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖٓ اِلَّآ اَنْ يَّصَّدَّقُوْا ۗ فَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۗوَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍۢ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيْثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖ وَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِۖ تَوْبَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا ٩٢

Tidak patut bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin, kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) memerdekakan seorang hamba sahaya mukmin dan (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, (hendaklah pembunuh) memerdekakan hamba sahaya mukminat. Jika dia (terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, (hendaklah pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya serta memerdekakan hamba sahaya mukminah. Siapa yang tidak mendapatkan (hamba sahaya) hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai (ketetapan) cara bertobat dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.

Terdapat tiga kategori dalam pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja dari ayat di atas, pertama, apabila pembunuhan dilakukan dengan tidak disengaja oleh seorang mu’min kepada mu’min lainnya maka hukumannya adalah dengan memerdekakan seorang hamba sahaya yang mu’min disertai dengan membayar diyat, kecuali apabila keluarga korban membebaskan pembayaran diyatnya. Kedua, apabila yang terbunuh itu dari pihak kaum atau keluarga yang bukan mu’min, maka hukumannya adalah memerdekakan hamba sahaya mu’min tanpa harus membayar diyat. Ketiga, apabila yang terbunuh berasal dari kaum atau keluarga yang bukan mu’min tetapi sudah ada perjanjian damai sebelumnya, maka hukumannya sama dengan kasus pertama. Apabila dalam pelaksanaannya tidak menemukan hamba sahaya, maka berpuasa dua bulan berturut-turut bias menggantikan. Ini adalah aturan terkait pemberian kesempatan yang Allah berikan kepada pelaku pembunuhan yang tidak disengaja.

  1. Ayat tentang Hirabah Al-Maidah [5]: 33 – 34:

اِنَّمَا جَزٰۤؤُا الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَسْعَوْنَ فِى الْاَرْضِ فَسَادًا اَنْ يُّقَتَّلُوْٓا اَوْ يُصَلَّبُوْٓا اَوْ تُقَطَّعَ اَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ مِّنْ خِلَافٍ اَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْاَرْضِۗ ذٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ٣٣

Balasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya serta membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu merupakan kehinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat (kelak) mereka mendapat azab yang sangat berat.

اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْ قَبْلِ اَنْ تَقْدِرُوْا عَلَيْهِمْۚ فَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ࣖ ٣٤

Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat menangkapnya. Maka, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ali As-Shabuni dalam menjelaskan ayat ini menyatakan tentang penghukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya serta membuat kerusakan di bumi adalah dengan dibunuh, disalib, atau dipotong tangan dan kaki secara silang, atau diasingkan ke tempat lain. Beliau mengutip pernyataan dari Ibnu Abbas bahwa apabila Al-Qur’an menggunakan kata ( اَوْ ) yang artinya ‘atau’ maka menunjukkan pilihan. Imam Abu Hanifah menyatakan juga hukuman tersebut sebagai pilihan untuk kasus apabila pelaku melakukan pembunuhan dan perampasan harta. Sementara pendapat Imam Syafi’i menyatakan bahwa hukuman tersebut diberlakukan secara berurutan disesuaikan dengan kejahatan yang dilakukan, misalnya apabila pelaku melakukan pembunuhan dan mengambil harta maka hukumannya dibunuh dan disalib, apabila hanya mengambil harta saja maka hukumannya potong tangan dan kaki secara silang, apabila hanya meresahkan dan membuat takut tanpa membunuh dan mengambil harta maka hukumannya diasingkan ke tempat lain atau dipenjara.[20]

Sementara itu, penjelasan dari tafsir Kementrian Agama dan berdasarkan fatwa MUI menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hirabah pada ayat ini adalah tindak kekerasan secara terang-terangan untuk mengambil harta, membunuh, dan menimbulkan rasa takut, seperti perampokan dan terorisme.[21]

Namun, apabila pelaku menyesali perbuatannya dan bertaubat, baik itu ketika sebelum tertangkap (terkepung) atau sesudah tertangkap, maka semua hukuman yang disebutkan di ayat sebelumnya menjadi gugur. Hal ini dikarenakan berbagai penghukuman yang ditentukan di dalam Al-Qur’an tujuan sebenarnya bukan untuk pembalasan, akan tetapi kebanyakan berupa pendidikan. Maka, apabila peaku bertaubat dan berbuat baik setelahnya sebagai pembuktian dari rasa taubatnya, maka gugurlah hukuman-hukuman atasnya.[22]

Beberapa ulama menyatakan tentang persyaratan taubat yang dapat menggugurkan hukuman tersebut di antaranya ditunjukkan dengan: 1) benar-benar menyesali perbuatannya 2) meninggalkan perbuatannya; 3) tidak melakukan kembali perbuatan kejahatannya selamanya setelah bertobat. Namun demikian, tidak semua tindak kejahatan dengan pertaubatan ini menjadi gugur semua hukumannya. Terdapat beberapa hukuman yang tetap berlaku walaupun system pertaubatan dilakukan di antaranya adalah hukuman qisas yakni tetap membayar diyat dan atau proses hukum tetap berlaku. Walaupun ada beberapa ulama yang menyatakan bahwa pertaubatan menggugurkan hukuman seperti Ibu Taimiyah dan Al-Maraghi.[23]

Apabila kita meninjau kembali kepada tujuan penghukuman di dalam Islam dengan menghubungkannya ke ayat-ayat di dalam Al-Qur’an, maka dua pandangan terkait tujuan penghukuman akan selalu tarik menarik. Pertama, pandangan ulama yang menyatakan bahwa penghukuman sebagai balasan atas perilaku kejahatan yang dilakukannya (jawabir) oleh sebab itu harus dilaksanakan sesuai bunyi ayatnya. Pandangan ini dianut ulama konservatif dan tekstualis. Sementara pandangan kedua menyatakan bahwa penghukuman adalah proses penegakan keadilan dan kemaslahatan bersama dengan pemberian efek jera dan pencegahan untuk tidak melakukan kejahatan kembali (jawazir), hukuman lebih bersifat mendidik. Pada aspek kedua yang banyak dianut oleh ulama kontemporer yang progresif memberikan peluang untuk diterapkannya bentuk hukuman alternative yang memberikan kesempatan hidup kepada pelaku untuk bertaubat dan berbuat baik tanpa mengabaikan hak korban atas keadilan. Restorative justice dengan demikian bisa menjadi sebuah tawaran yang dapat dipraktekkan dengan mempertimbangkan pandangan kedua dari penghukuman (jawazir) dan dengan melihat kemaslahatan yang ditimbulkan.

D. Landasan Filosofis Tujuan Dasar Penetapan Hukuman dalam Islam.

Para ulama menyatakan bahwa tujuan utama dari beragam bentuk hukuman yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah terciptanya stabilitas sosial berupa keadilan, keamanan, dan kesejahteraan sosial. Ini artinya, hukuman-hukuman itu hanyalah salah satu al-wasail (perantara) yang diduga (mazinnah) dapat mewujudkan tujuan-tujuan Syari’ (al-maqasid). Stabilitas sosial tentu akan terganggu jika kejahatan-kejahatan dalam masyarakat terjadi.

Wahbah al-Zuhaili, ahli fikih kontemporer terkemuka mengatakan:

نَرَى فُقَهَاءَنَا يُقَرِّرُونَ أَنَّ أَسَاسَ أَوْ مَنَاطَ الْعُقُوبَاتِ الْمُقَرَّرَةِ شَرْعاً هُوَ مَصْلَحَةُ النَّاسِ الْعَامَّةِ وَسَعَادَتُهُمْ. فَكُلُّ مَا يُحَقِّقُ مَصَالِحَ الْبَشَرِيَّةِ فَهُوَ مَشْرُوعٌ مَطْلُوبٌ لِاَنَّ الْمَقْصُودَ الْاَصْلِىَّ مِنْ مَشْرُوعِيَّةِ الْحُدُودِ وَالتَّعْزِيرَاتِ هُوَ زَجْرُ النَّاسِ وَرَدْعُهُمْ عَنِ ارْتِكَابِ الْمَحْظُورَاتِ وَتَرْكِ الْمأَمُورَاتِ دَفْعاً لِلْفَسَادِ فِى الْاَرْضِ وَمَنْعاً مِنْ إِلْحَاقِ الضَّرَرِ بِالْاَفْرَادِ وَالْمُجْتَمَعَاتِ. قَالَ ابنُ عَابِدِين : إِنَّ مَدَارَ الشَّرِيعَةِ بَعْدَ قَوَاعِدِ الْاِيمْاَنِ عَلَى حَسْمِ مَوَادِّ الْفَسَادِ لِبَقَاءِ الْعَالَمِ.

“Para ahli fikih kita menegaskan bahwa prinsip dasar hukuman dalam Syariah Islam adalah kemaslahatan dan kebahagiaan manusia. Maka setiap hal atau cara yang dapat mewujudkan kemaslahatan manusia merupakan cita-cita agama. Hal ini karena maksud utama penegakan hukuman baik dalam pidana hudud maupun ta’zir adalah mencegah orang agar tidak melakukan pelanggaran hukum dan tidak meninggalkan yang diperintahkan, serta sebagai cara mencegah perusakan dan menyakiti orang lain baik individu maupun kolektif. memutus rantai kerusakan, demi eksistensi kehidupan dunia”.[24]

Pendirian Ibnu Taimiyah juga menyatakan bahwa hukuman dimaksudkan sebagai cara mengubah dan memperbaiki (reformatoris) perilaku kejahatan. Mayoritas besar ulama ahli hukum Islam juga menjelaskan bahwa hukuman diarahkan bagi tercapainya keadilan dan kebaikan sosial di satu sisi dan sebagai cara mendidik atau memberikan pelajaran bagi terpidana sedemikian rupa sehingga diharapkan tidak mengulangi perbuatan jahatnya dan kembali menjadi orang baik pada sisi yang lain. Dengan kata lain, perhatian kita terhadap kepentingan masyarakat secara luas, tidak dengan sendirinya mengabaikan perhatian kita terhadap individu terpidana/terhukum. Dengan begitu aturan hukum berikut sanksinya seharusnya dirumuskan dengan menghindari sejauh mungkin dan atau bahkan meniadakan sama sekali cara-cara yang kejam, tidak manusiawi dan tidak menghormati martabat manusia, tetapi dalam waktu yang sama keadilan, ketertiban dan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan.

Selain itu, perbincangan terkait restorative justice perlu diarahkan pada paradigma “Maqasid al-Syariah” atau “cita-cita hukum Islam” atau tujuan akhir dan rahasia-rahasia yang dicanangkan Syari’ di balik setiap ketentuan hukum yang disyariatkannya. [25] Paradigma ini pada intinya mengarah kepada upaya-upaya mewujudkan sistem sosial yang melindungi hak-hak dasar manusia yang mencakup ad-Dharuriyatu al-Khamsah atau as-Sittah itu ad-dharuriyatu as-sittah (lima/enam kebutuhan primer) yang terdiri dari; melindungi agama (hifzh ad-din), melindungi hidup (hifzh an-nafs), melindungi keturunan (hifzh an-nasl), melindungi akal (hifzh al-‘aql), melindungi kehormatan (hifzh al-‘ird) dan melindungi harta (hifzh al-mal).

Abu Ishaq Al-Syatibi mengembangkan konsep al-Hifzh tidak hanya sebatas pencegahan dan pembelaan (ad-Difa’), melainkan juga meliputi upaya perwujudan (al-Ijad) yang menjadi tujuan Syariah. Menurutnya, al-Hifzh (perlindungan) memiliki dua sisi. Pertama, al-hifzhu min janibi al-wujud, yakni perlindungan dari sisi perwujudannya yang dapat melanggengkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan (ad-dharuriyat) tersebut. Kedua, al-hifzhu min janibi al-‘adam, yaitu perlindungan dari sisi pencegahannya dari hal-hal yang dapat menghilangkan (terpenuhinya kebutuhan tersebut). Jadi, di samping sisi preventif (pencegahan), al-hifdzh dalam konsep asy-Syatibi juga mengandung sisi kuratif (melakukan sesuatu).[26]

Selain itu, dari segi tafsir Qur’an, tentang cara baca atas teks-teks Al-Qur’an yang sudah disampaikan di atas, perhatian tidak hanya ditujukan pada petunjuk tekstual al-Qur’an tapi juga dengan mempertimbangkan realitas sosial baik realitas saat Al-Qur’an diturunkan untuk menelusuri ma’na, maupun realitas pada saat pembacaan saat ini untuk menerapkan maghza (signifikansi): pembacaan secara tekstual, kontekstual dan upaya kontekstualisasi pesan Qur’ani. Dalam istilah ushul ijtihad dengan mendialogkan secara interaktif antara ijtihad bi tahrijil manat dengan ijtihad bi tahqiqil manath. Dengan cara ini diharapkan dapat melihat pada efek hukuman daripada sekedar membaca lahiriah teksnya, bahwa hukuman-hukuman yang tertulis adalah hukuman maksimal yang bisa diterapkan, tetapi ia bukanlah satu-satunya, ia bisa diganti dengan hukuman lain.

Implementasi pertaubatan beserta pembayaran diyat yang diberlakukan oleh beberapa negara Muslim nyatanya telah menyelamatkan banyak nyawa dan juga support untuk keluarga dalam mengembalikan posisisnya di masyarakatnya. Sesuai dengan tujuan dari restorative justice yang diberlakukan di beberapa negara yg sudah menerapkannya adalah[27]:

  • memberikan dukungan kepada korban
  • memperbaiki hubungan yang ternodai karena kejahatan yang dilakukan
  • memberi peringatan bahwa kejahatan adalah perilaku yang tidak diterima dalam hidup bermasyarakat
  • mendorong sikap tanggungjawab dari pelaku kejahatan
  • mengidentifikasi proses pemulihan yang memadai
  • mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kejahatan

Namun demikian, dalam penerapannya di Indonesia dengan konteks masyarakatnya dan sistem pengadilan yang ada, perlu perbincangan mendalam terkait ketentuan-ketentuan khusus yang membatasi dari jenis-jenis kejahatannya serta kesiapan aparatur negara dalam mengatur dan menjamin kemaslahatan bagi korban, pelaku dan masyarakat secara umum.

Tulisan ini diakhiri dengan mengutip konsep kemaslahatan menurut Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah:

Landasan syari’ah berakar pada kebijaksanaan dan upaya untuk mewujudkan kesejahteraan umat manusia dalam kehidupan ini dan di akhirat. Syari’ah memuat keadilan, kebajikan, kemaslahatan, dan kebijaksanaan. Segala aturan yang menyimpang dari keadilan menuju ketidakadilan, dari kebajikan menuju kekerasan, dari maslahat menuju kerusakan, atau dari rasionalitas menuju absurditas tidak bisa menjadi bagian dari Syari’ah.[28]

id_IDBahasa Indonesia