Hari Toleransi Internasional: Sinergi Konstruktif antara Pemerintah dengan Masyarakat Sipil dalam Meningkatkan dan Menjaga Toleransi di Masyarakat

Rilis Media Imparsial
No.030/Siaran-Pers/IMP/XI/2021

Tanggal 16 November setiap tahunnya diperingati serentak oleh masyarakat di seluruh dunia
sebagai Hari Toleransi Internasional. Tahun ini merupakan peringatan ke-25 sejak pertama
kali diresmikan pada tahun 1996 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, setahun sejak adanya
Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Toleransi oleh UNESCO. Hari Toleransi Internasional
dideklarasikan sebagai bentuk respon terhadap maraknya praktik intoleransi, diskriminasi,
kekerasan, dan ketidakadilan, yang terjadi di banyak belahan dunia.

Imparsial memandang, Indonesia masih memiliki sejumlah catatan merah soal kasus
intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan, seperti pembangunan
tempat ibadah, perayaan ibadah bagi kelompok agama atau kepercayaan tertentu,
diskriminasi pelayanan publik terhadap kelompok minoritas agama atau kepercayaan.
Berdasarkan pemantauan Imparsial, kasus intoleransi yang marak terjadi adalah kasus yang
berkaitan dengan pemenuhan hak untuk beribadah dan hak atas tempat ibadah. Kelompok
agama/kepercayaan tertentu seringkali dipersulit bahkan mengalami penolakan, dalam rangka
memenuhi hak mereka untuk mendapatkan tempat ibadah. Beberapa contohnya, penyegelan
dan perintah pembongkaran masjid Miftahul Huda milik Jemaat Ahmadiyah di Desa Balai
Harapan, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Penolakan atas pembangunan Masjid milik
Muhammadiyah di Banyuwangi, Penolakan pembangunan Gereja Bethany di Ponorogo, dan
tindakan intoleran lainnya. Kasus-kasus tersebut hanya sedikit yang terlihat dari banyaknya
kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia

Imparsial melihat, bagaimana lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat
memupuk nilai-nilai toleransi dan perdamaian justru sering menjadi tempat terjadinya praktik
intoleransi itu sendiri. Beberapa kasus yang masuk dalam pemantauan Imparsial adalah
himbauan untuk tidak memilih ketua OSIS yang berbeda agama dari agama mayoritas siswa
di sekolah tersebut. Himbauan ini datang dari salah seorang guru di sekolah SMAN 58
Jakarta Timur. Selain itu, intoleransi dan stigma juga dialami oleh kelompok
kepercayaan/agama penghayat, sehingga meski sudah bisa mengisi kolom agama di KTP
sesuai dengan kepercayaan mereka, namun masih banyak dari pemeluk kepercayaan yang
memilih untuk tidak melakukannya lantaran takut akan mengalami diskriminasi dalam
mendapatkan/mengakses layanan publik.

Imparsial menilai, kasus-kasus intoleransi yang masih terus berulang setiap tahunnya ini
menunjukkan ketidaktegasan negara dalam penegakan hukum. Negara juga sering melakukan
pembiaran terhadap intoleransi di masyarakat. Padahal sebagai negara yang dibangun di atas
keberagaman, semangat kebhinekaan mengharuskan Indonesia untuk menjaga dan
melaksanakan prinsip-prinsip toleransi. Tanpa ini, Indonesia akan sulit mempertahankan
keberagaman yang dimilikinya. Karena itu, negara harus hadir untuk melindungi hak asasi

warganya tanpa memandang latar belakang agama dan keyakinan yang dianutnya, bukan
malah dalam beberapa kasus, menjadi pelaku yang mendiskriminasi dan ikut mempersekusi
kelompok minoritas. Pemerintah harus aktif menjaga toleransi dan perdamaian melalui
kebijakan-kebijakan yang diterbitkan. Dalam konteks ini, mengacu pada tindakan
diskriminasi hingga peristiwa kekerasan yang terjadi pada kelompok minoritas karena
termanifestasinya paham-paham intoleran, Pemerintah di setiap level diharapkan agar tidak
bersikap permisif terhadap perilaku dan tindakan intoleran yang cenderung dilakukan oleh
kelompok mayoritas. Pemerintah harus tegas menegakan hukum dan HAM, serta
memberikan perlindungan kepada setiap warganya.

Imparsial juga menilai, peran masyarakat sipil untuk turut serta memperkuat dan
mempromosikan nilai-nilai perdamaian menjadi penting dan signifikan. Praktik intoleransi
yang terjadi di lingkungan masyarakat, sekolah, lembaga negara, bisa dihindari jika semua
pihak bersama-sama membangun sinergi yang konstruktif untuk penguatan dan
pengarusutamaan nilai-nilai persatuan. Ada tiga level tantangan yang dihadapi Indonesia
dalam menjamin hak atas kemerdekaan beragama atau berkeyakinan, yakni di level
konseptual, sosial, dan hukum. Untuk menjawab tantangan dalam berbagai level ini
dibutuhkan peran semua pihak dan kalangan, pemerintah dan juga masyarakat.
Praktik intoleransi jika terus dibiarkan akan semakin tumbuh subur dan pada akhirnya
mengancam keberagaman dan kebhinekaan di masyarakat. Intoleransi merupakan tangga
awal yang bisa berkembang menjadi ekstremisme kekerasan. Untuk itu segenap lapisan
masyarakat di negara ini, harus menyadari bahwa toleransi harus ditegakkan dan
diaplikasikan dalam kehidupan supaya paham-paham bermuatan ekstremisme kekerasan
tidak mudah mempengaruhi sikap keseharian masyarakat yang hasilnya akan mengokohkan
kebhinekaan Indonesia.

Selamat merayakan hari toleransi internasional, semoga masyarakat semakin toleran terhadap
semua perbedaan yang ada, dan semoga pemerintah dapat lebih hadir dan juga berani
bersikap terhadap praktik intoleransi untuk pemenuhan hak asasi manusia yang lebih baik.

file:///C:/Users/HP/Downloads/Rilis%20Hari%20Toleransi%202021%20(1).pdf


Jakarta, 16 November 2021


Gufron Mabruri
Direktur Imparsial

id_IDBahasa Indonesia