Telaah Kritis Revisi UU TNI dalam Perspektif Politik, Hukum, dan Keamanan

LBH Surabaya Pos Malang YLBhi kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Imparsial.

31 Mei 2023 Diselenggarakan oleh LBH Surabaya Pos Malang YLBhi kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Imparsial

Milda Istiqomah (Akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)
Dari perspektif hukum pola pembentukan hukum yang didasarkan pada kepentingan penguasa dan dilakukan dengan cara diam-diam, tidak ada pembahasan, tidak ada sosialisasi, tiba-tiba undang-undangnya sudah disahkan menjadi kecenderungan politik hukum masa kini. Salah satunya adalah terkait revisi UU TNI, melihat bagaimana respon Panglima TNI yang justru mempertanyakan bagaimana bisa slide materi diskusi di internal TNI keluar ke publik. Maka dari itu, dari perspektif hukum, harus kita waspadai proses revisi UU TNI ini bisa dilakukan secara tertutup atau diam-diam.

Kalau kita lihat usulan perubahan pasal-pasal revisi UU TNI cukup berbahaya dan cukup bermasalah. Salah satunya misalnya di pasal 17 terkait penambahan tugas pokok dan fungsi TNI, yaitu untuk mendukung pemerintah dalam upaya menanggulangi ancaman terorisme, menanggulangi ancaman cyber, dan mendukung pemerintah dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif , mengamankan pembangunan dll ini sangat luas dan multitafsir.. Nah ini menurut saya sangat bermasalah. Karena untuk mengatasi gangguan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat di mana dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme, tindak pidana keamanan siber dan juga tindak pidana narkotika itu berada di bawah kewenangan kepolisian. Dan itu enggak bisa di otak-atik karena akan terjadi tumpang tindih kewenangan. Dengan adanya tumpang tindih kewenangan TNI dan Polri itu bisa justru berpotensi merusak Criminal Justice Sistem Peradilan Pidana kita. Jadi persoalan-persoalan yang sangat mendasar itu ditabrak dengan pembahasan rancangan undang-undang yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat dan akademisi.

Selain itu penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil dapat mengembalikan dwi fungai Abri. Kekhawatiran saya mungkin nanti lama-lama jabatan di Universitas juga ditempatin oleh anggota TNI, karena nanti bisa masuk ke Kementerian Pendidikan. Kalau TNI kembali masuk ke jabatan sipil secara luas seperti dalam draft RUU TNI versi Mabes TNI ini maka kita akan kembali lagi ke masa Orde Baru.

LBH Surabaya Pos Malang YLBhi kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Imparsial

Daniel Siagian (Direktur LBH Pos Malang)

Rancangan revisi UU TNI yang beredar belakangan ini mengingatkan kembali trauma historis kita bagaimana Dwifungsi ABRI dulu dijalankan di zaman rezim Orde Baru. Dulu jabatan Rektor, Bupati sampai Gubernur itu diisi oleh kalangan militer aktif. Dwifungsi tersebut kemudian ditolak oleh gelombang gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil melalui Gerakan Reformasi 98 karena pelanggaran HAM terbesar zaman Orde Baru dilakukan oleh kalangan ABRI. Amanat penghapusan Dwifungsi ABRI itu kemudian ada di TAP MPR nomor 6 dan Nomor 7 Tahun 2000.

Penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil itu sudah terjadi sebelum beredarnya draft revisi undang-undang TNI ini, seperti beberapa Kepala Daerah dijabat oleh anggota TNI aktif. Jadi sebenarnya infiltrasi dari prajurit ataupun aparat militer aktif itu sudah terjadi bahkan sebelum UU TNI ini direvisi. Apa jadinya nanti ketika RUU TNI ini direvisi dengan segala macam penambahan kewenangannya, yang pasti pelanggaran HAM oleh TNI akan semakin meningkat. Ditambah lagi dengan rencana penguatan atau penambahan kodam-kodam di setiap provinsi di Indonesia yang itu justru berpotensi terjadinya eskalasi pelanggaran hak asasi manusia.

Secara de facto bisa kita lihat sudah banyak TNI terlibat dalam pengamanan konflik, seperti penggusuran, konflik pengamanan, demonstrasi, menjaga Kawasan Industri, tambang, bisnis agraria dan lain sebagainya. Itu semua illegal, kalau kita merujuk pada pasal 7 ayat 3 UU TNI, dimana pelibatan TNI dalam OMSP atau operasi militer selain perang ini perlu keputusan politik negara. Mengingat hal itu, maka revisi UU TNI ini menjadi satu yang “tricky” karena ingin melegalkan hal yang sebelumnya illegal. Revisi UU TNI ini merupakan infiltrasi masuknya militer ke ranah sipil. Maka setelah direvisi itu peran TNI akan semakin meluas dan kita tidak akan heran nanti ketika ada Kopkamtibmas seperti zaman Orde Baru.

Selain itu draft revisi UU TNI juga merevisi ketundukan militer terhadap sistem peradilan umum, ketika prajurit militer melakukan tindak pidana umum itu tidak akan diproses melalui sistem peradilan pidana umum, implikasinya akan terjadi penguatan impunitas. Jadi Revisi UU TNI ini juga akan memperkuat impunitas prajurit TNI. Semisal prajurit militer perwira tingginya yang menempati jabatan sipil ketika melakukan tindak dengan korupsi, dia tidak bisa diproses di lingkup pidana umum, sementara kalau kita lihat penegakan hukum di peradilan militer itu seringkali mendapatkan hasil yang tidak memuaskan karena memiliki catatan rendah terhadap transparansi, akuntabilitas dan profesionalitas

Suciwati (Pegiat HAM/ Istri (Alm) Munir)

Belakangan ini kita melihat bahwa pemerintah sudah tidak mengindahkan lagi nilai-nilai hak asasi manusia. Kasus-kasus pelanggaran HAM seharusnya mereka selesaikan, dengan sengaja tidak mereka selesaikan. Justru Pemerintah memecah-belah korban dengan membentuk proses non-yudisial kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Pertanyaannya juga kenapa Pemerintah musti kayak cepet-cepat bikin revisi undang-undang TNI, sama seperti pelanggaran HAM berat masa lalu yang tiba-tiba pakai mekanisme non-judicial. Sepertinya ini ada yang ingin dilindungi dan atau didorong oleh Jokowi. Setelah 25 tahun Dwi fungsi ABRI ingin balik lagi melalui revisi UU TNI. Padahal kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu belum selesai. Kasus penculikan sampai sekarang belum selesai. Justru terduga pelakunya malah jadi menteri di era Pemerintahan ini. Bahaya militer berpolitik dampaknya pada peningkatan kekerasan dan pelanggaran HAM. Sungguh disayangkan, di tengah kasus pelanggaran HAM belum selesai dan terlunta-lunta, Dwi-fungsi malah justru balik lagi malalui revisi UU TNI.

Dr. Al Araf (Ketua badan Pengurus Centra Initiative dan Peneliti Senior IMPARSIAL)

Indonesia hari ini masih menggunakan sistem demokrasi yang menghormati prinsip negara hukum, terlepas plus-minus dari demokrasi dan negara hukum itu, tapi kita harus pahami bahwa di semua negara yang berubah dari rezim otoritarianisme ke demokrasi itu dinamikanya tidak pernah statis. Proses perubahan sistem, dari otoritarianisme ke demokrasi, itu fluktuatif. Kadang hari ini kita bisa demokrasi dengan prinsip negara hukum, bisa jadi besok kita balik lagi ke otoritarianisme dan tidak mengakui negara hukum. Jadi itu dinamis tidak statis. Maka kita jangan membayangkan hari ini seolah kita selesai demokrasi dan negara hukumnya. Banyak negara di Amerika Latin, berubah dari otoriter ke demokrasi, kemudian berubah lagi ke junta militer. Hal itu juga dialami negara-negara di Asia Tenggara seperti Thailand dan Myanmar.

Nah karena pergerakan politik yang dinamis tadi itu maka kita harus mengantisipasi persoalan rancangan undang-undang TNI ini, karena perubahan sistem politik dari demokrasi ke otoriter sudah banyak terjadi. Perubahan dari demokrasi ke sistem otoritarianisme militer itu selalu diikuti dengan menguatnya peran politik militer di ranah sipil. Di mana, ketika militer di dalam sebuah negara terlibat dalam politik praktis dan berhasil membangun ruang politik. Apalagi banyak pakar menyebut bahwa Indonesia saat ini mengalami regresi demokrasi penyempitan ruang demokrasi, khususnya dalam 10 tahun belakangan ini. . Saat ini, perlahan militer sudah masuk ke ranah sipil. Kalau itu terjadi maka konsekuensinya ruang demokrasi terancam. RUU TNI yang beredar saat ini seperti Kotak Pandora, jika ini berhasil disahkan oleh DPR dan pemerintah maka konsekuensinya demokrasi Indonesia dalam keadaan terancam dan bahaya.

Apakah secara geopolitik dan geostrategis Indonesia tidak menghadapi ancaman eksternal? Masih ada banyak problem terkait perbatasan dengan negara lain seperti laut Cina Selatan yang merupakan ancaman nyata bagi kedaulatan Indonesia. Namun cara berpikir militer kita masih bersifat inward-looking atau ke dalam, bukan outward-looking yang mengantisipasi ancaman dari luar. Seharusnya militer kita persepsinya outward-lookin, jangan justru ditarik menduduki jabatan sipil seperti terlibat dalam ketahanan pangan, energi dan lain sebagainya. Nanti suatu saat kalau terjadi perang militer kita lemah, enggak siap. Revisi UU TNI ini akan melemahkan profesionalisme TNI karena terlalu jauh masuk dalam ruang-ruang sipil.

en_GBEnglish (UK)