Imparsial

“Tebang Pilih Agenda Pemajuan dan Penegakan HAM”

SIARAN PERS IMPARSIAL
Menyikapi Sambutan Presiden Joko Widodo Memperingati Hari HAM Internasional dan Catatan Umum terhadap Kondisi HAM di Indonesia

Pada pidato memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) internasional 10 Desember 2021 di Istana Negara, yang dihadiri oleh Komnas HAM dan jajaran kementerian, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa penegakan HAM tidak hanya pada penghormatan hak sipil dan politik, melainkan juga pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Presiden juga menekankan bahwa hak atas rasa aman dari pandemi Covid-19 dan rasa aman dari ancaman pengangguran harus juga dilihat sebagai bagian dari pemenuhan HAM masyarakat Indonesia. Presiden juga berjanji akan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM Berat melalui mekanisme pengadilan HAM sebagaimana yang diatur dalam UU No. 26 tahun 2000, di mana kasus yang telah masuk dalam tahap penyidikan adalah kasus Paniai yang terjadi pada tahun 2014.

IMPARSIAL memandang, pidato Presiden pada peringatan Hari HAM tersebut tidak merefleksikan persoalan nyata dan tidak menawarkan sebuah prospek akan adanya perbaikan yang fundamental dan menyeluruh dalam penegakan HAM ke depan. Bahkan, pidato presiden terkesan mengafirmasi politik kebijakannya selama ini yang “selektif” terhadap agenda pemajuan dan penegakan hak asasi manusia.

Benar bahwa HAM memiliki dimensi yang sangat luas, di mana tidak hanya sebatas hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Meski demikian, penting untuk dicatat bahwa HAM tidak dapat dibagi-bagi (indivisibility), saling terhubung (interrelated) dan saling terkait (interdependence). Perlindungan dan pemenuhan suatu hak bergantung pada pemenuhan hak lainnya. Atas dasar itu, kewajiban negara untuk melindungi, memenuhi dan memajukan hak asasi manusia tidak dapat memilih pada satu dimensi hak, misalnya hanya hak ekonomi, sosial dan budaya dan tidak untuk hak Sipil dan politik, atau sebaliknya. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin, melindungi dan memenuhi semua hak tersebut.

Memang tidak dipungkiri ada sejumlah capaian positif yang dihasilkan, terutama terkait perlindungan terhadap kelompok-kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, anak, perempuan dan masyarakat adat. Pemerintah juga diakui telah berupaya mengatasi dampak krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Namun demikian, pengabaian terhadap dimensi hak lainnya, terutama hak-hak sipil dan politik, seperti penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, menyusutnya ruang kebebasan sipil, kebebasan beragama/berkeyakinan, dan lain sebagainya, merupakan realitas yang tak terbantahkan. Pernyataan presiden dalam menyikapi isu-isu tersebut normatif dan retorik. Pemerintah juga menutup mata terhadap dampak pembangunan infrastruktur dan investasi yang praktiknya banyak meminggirkan hak-hak rakyat.

IMPARSIAL menilai, penerapan politik kebijakan yang “selektif” terhadap HAM menjadi faktor yang menghambat upaya perbaikan yang fundamental dan menyeluruh kondisi HAM di Indonesia. Politik kebijakan ini tercermin dari langkah pemerintah Jokowi-Makruf yang tampak lebih mengutamakan satu dimensi hak asasi dan pada saat yang bersamaan mengabaikan dimensi hak asasi manusia lainnya. Politik kebijakan ini tentunya tidak dilepaskan dari langkah pemerintah selama ini yang sedari awal lebih mempertimbangkan pembangunan, investasi ekonomi dan juga kepentingan politiknya yang bersifat pragmatis, sehingga isu-isu HAM kemudian ditempatkan dalam kerangka agenda yang sifatnya selektif.

Selama dua tahun pemerintah Jokowi-Makrum, tidak terlihat adanya kemajuan yang fundamental dan menyeluruh, khususya sejumlah isu krusial yang selama ini sering mengundang catatan buruk dari publik. Pada konteks penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, meski hal ini menjadi janji politik Presiden, hingga kini belum ada langkah nyata dari pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut. Ada 12 kasus yang telah diselidiki oleh Komnas HAM dan berkasnya juga telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung, di antaranya kasus Talangsari 1989, penghilangan paksa 1997 hingga 1997, Trisaksi, Semanggi I dan II tahun 1998 dan 1999, Paniai 2004, dan lain sebagainya. Pada kenyataannya, komitmen presiden untuk menuntaskan berbagai kasus tersebut yang berorientasi pada pemenuhan keadilan bagi korban dan keluarga korban masih sebatas retorika normatif. Kasus Paniai 2004 yang disinggung dalam pidato presiden, walaupun diakui ada kemajuan dengan dibentuknya tim penyidik oleh kejaksaaan agung, namun masih jauh untuk dikatakan sebagai capaian. Hal ini hanyalah langkah awal yang harus dikontrol untuk memastikan kerja-kerjanya berjalan transparan, akuntabel, dan memenuhi keadilan korban.

Pernyataan presiden dalam pidato peringatan hari HAM internasional, yang menyatakan bahwa “pemerintah berkomitmen menegakkan, menuntaskan dan menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan bagi korban dan keadilan bagi yang diduga menjadi pelaku HAM berat” menyakiti perasaan keluarga korban dan menciderai prinsip keadilan itu sendiri. Pernyataan tersebut kontras dengan langkah presiden yang justru mempertontonkan praktik impunitas kepada para terduga pelaku pelanggaran HAM berat. Hal tersebut terlihat dari adanya sejumlah mantan petinggi militer, yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas kasus-kasus yang terjadi, namun justru diangkat oleh presiden menjadi salah satu Menteri di kabinetnya atau diangkat untuk menduduki jabatan strategis di pemerintahan. Presiden nampaknya lebih mempertimbangkan aspek politik dibandingkan menjalankan kewajibannya untuk menegakan HAM.

Terkait dengan isu Pembela HAM, yang merupakan aktor penting dan tak terpisahkan dari upaya pemajuan, perlindungan dan penegakan HAM, belum terlihat komitmen dan langkah nyata untuk memperkuat jaminan dan perlindungan kerja-kerja para pembela HAM. Para Pembela HAM hingga kini masih dipandang sebagai “ancaman”, sehingga menjadikan mereka rentan untuk mengalami berbagai bentuk serangan. Bahkan, pada beberapa tahun belakangan mununjukan terjadinya peningkatan serangan terhadap pembala HAM. Berdasarkan catatan Imparsial, semenjak tahun 2014 – 2021, setidaknya telah terjadi sebanyak 193 kasus serangan terhadap para pembela HAM. Bentuk serangannya juga beragam, mulai penangkapan sewenang-wenang, pembatasan, pembubaran aktivitas secara represif, kriminalisasi, kekerasan, perampasan, dan intimidasi, hingga serangan melalui media digital seperti peretasan dan pembajakan akun.

Upaya penyelesaian yang transparan, akuntabel dan adil dalam kasus-kasus serangan terhadap pembela HAM juga menyimpan banyak persoalan. Salah satunya terkait penyelesaian kasus Munir Said bin Thalib, yang dibunuh dengan cara diracun pada tahun 20014. Kasus pembunuhan ini menjadi salah satu kasus serangan terhadap Pembela HAM yang harus segera dituntaskan oleh Presiden Joko Widodo. Laporan hasil penyelidikan TPF telah menyebutkan bahwa pembunuhan Munir sebagai hasil dari permufakatan jahat yang melibatkan empat tingkatan pelaku: pelaku lapangan, pembantu, pemberi akses, dan otak yang menggerakan. Harus ada langkah nyata dari Presiden dengan memanggil Jaksa Agung dan Kapolri serta memerintahkan upaya hukum yang dapat dilakukan untuk menuntaskan kasus tersebut.

Jaminan dan perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan belum menunjukan adanya perbaikan yang signifikan, walaupun setiap tahun isu kebebasan ini selalu mendapatkan catatan negatif. Kondisi ini terlihat dari terus berulangnya berbagai bentuk intoleransi dan pelanggaran di masyarakat, khususnya kepada kelompok minoritas. Berdasarkan catatan Imparsial, dalam rentang waktu 2014 – 2021, setidaknya terdapat 194 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jenis kasusnya beragam, mulai dari penolakan terhadap pendirian atau renovasi tempat ibadah dan rumah pemuka agama, penutupan rumah ibadah, pembubaran kegiatan beribadah atau ritual keagamaan, penyesatan hingga penyebaran kebencian, aturan yang mewajibkan penggunaan busana agama tertentu di sekolah publik, perusakan dan penyegelan tempat ibadah, hingga penolakan/pengusiran terhadap mereka yang berbeda agama/keyakinan.

Untuk memperbaiki jaminan dan perlindungan kebebasan beragama atau berkeyakinan, dibutuhkan langkah nyata pemerintah, yakni mengevaluasi, mengoreksi dan/atau semua kebijakan di tingkat nasional yang diskriminatif dan mengancam kebebasan fundamental tersebut. Misalnya, Undang-Undang No. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/ Penodaan Agama, SKB 3 Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah, PBM 2 Menteri Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah. Berbagai peraturan tersebut mengancam kebebasan beragama, termasuk digunakan oleh kelompok intoleran untuk mendiskriminasi dan mempersekusi kelompok minoritas. Lebih dari itu, tindakan tegas terhadap pelaku intoleran juga penting dilakukan, tidak boleh lagi ada pembiaran dengan dalih apapun.

Persoalan jaminan dan perlindungan hak untuk hidup masih menjadi persoalan seiring dengan masih diterapkannya praktik hukuman mati. Hak untuk hidup merupakan salah satu hak asasi manusia yang fundamental dan tidak bisa dicabut dalam situasi dan keadaan apapun. Meski demikian, jaminan dan perlindungan terhadap hak tersebut masih lemah, dan bahkan delik ancaman pidana mati yang mengancam hak tersebut justru semakin berkembang di dalam berbagai ketentuan perundang-undangan nasional. Selain itu, tingkat penjatuhan vonis mati terhadap pelaku kejahatan di berbagai pengadilan juga menunjukan angka yang semakin tinggi. Bahkan, pandemi covid-19 yang semakin membuka ruang terjadinya praktik peradilan yang tidak adir (unfair trial), tidak menghalangi upaya penjatuhan vonis pidana mati.

Berdasarkan hasil pemantauan Imparsial, pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi sejak April 2019-Oktober 2021 terdapat 177 terpidana mati yang divonis di berbagai tingkat pengadilan. Vonis mati tersebut dijatuhkan dalam kasus narkotika (133), kasus pembunuhan (37), serta kasus terorisme (7). Mayoritas terpidana mati merupakan warga negara Indonesia sebanyak 166 orang, warga negara Malaysia 6 orang, warga negara Pakistan dan Thailand masing-masing 2 ppporang dan warga negara Yaman 1 orang. Dilihat berdasarkan jenis kelamin, vonis mati dijatuhkan untuk 6 orang perempuan dan 171 orang laki-laki.

Konflik dan krisis kemanusiaan di Papua harus menjadi perhatian serius pemerintah. Konflik Papua dan kekerasan yang berlarut-larut semakin bertambah kompleks pula persoalan di Papua, di mana dampaknya bukan hanya kekerasan dan pelanggaran HAM, namun juga persoalan hak asasi manusia lain seperti kesejahteraan, pendidikan, marjinalisasi, dan lain sebagainya. Selama ini, pola pendekatan ekonomi dan keamanan-militeristik yang masih digunakan oleh pemerintah tidak terbukti efektif dalam upaya penyelesaian konflik Papua. Pendekatan ini justru menciptakan masalah baru yang memperumit upaya penyelesaian Papua sendiri. Seperti diketahui, ketidakadilan ekonomi hanyalah salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya konflik di Papua. Terdapat faktor-faktor lain yang juga sama pentingnya, yaitu problem historis, politik, marginalisasi, serta penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia.

Penyelesaian Papua melalui jalur damai (dialog) dan mengedepankan pendekatan yang humanis di dalam menyelesaian berbagai persoalan menjadi sangat mendesak untuk segera dilakukan. Pemerintah harus mulai dengan mendengarkan suara orang Papua sebagai subjek penting yang harus didengar dan diakomodir dalam proses penyelesaian masalah Papua. Lebih jauh, juga penting bagi pemerintnah untuk mengevaluasi dan mengoreksi pendekatan keamanan-militeristik serta pengerahan aparat militer yang tidak proporsial dan akuntabel di Papua. dengan Tanpa adanya evaluasi dan koreksi, wacana pendekatan humanis dan dialogis hanya bualan pemerintah dan memperdalam ketidak-percayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah.

Masih banyaknya kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan aparat keamanan, menjadi penting untuk mendorong kembali agenda reformasi sektor keamanan di Indonesia. Proses reformasi sektor keamanan yang digulirkan sejak tahun 1998 yang sempat menghasilkan beberapa capaian positif, justru saat ini mengalami stagnasi, bahkan kemunduran. Hal tersebut terlihat pada sejumlah aspek, seperti penegakan HAM dan tata kelola demokrasi yang tidak lagi menjadi paradigma, akuntabilitas dan transparansi masih menjadi sesuatu yang sulit untuk dilakukan, keterlibatan aktor keamanan aktif dalam jabatan sipil, pembiaran dan pemakluman atas kekerasan aparat keamanan yang masih terjadi dimana-mana. Lebih jauh, problem reformasi sektor keamanan tidak hanya disebabkan oleh faktor internal di dalam institusi keamanan, tetapi juga bersumber dari kalangan politisi sipil itu sendiri. Beberapa tahun terakhir, dalam konteks kontestasi politik kekuasaan, juga terlihat kecenderungan yang kuat upaya politisasi institusi keamanan oleh elit politik.

IMPARSIAL mendesak, pemerintah Jokowi-Makruf harus melakukan perbaikan kondisi HAM secara fundamental dan menyeluruh, baik di tingkat perundang-undangan maupun implementasinya di lapangan. Dalam konteks ini, model politik kebijakan “selektif” dalam pemajuan dan penegakan HAM yang didasarkan pada pertimbangan kepentingan politik yang pragmatis, sudah semestinya dihindari dan tidak lagi dijalankan.

Jakarta, 12 Desember 2021

Gufron Mabruri
Direktur

LINK SIARAN PERS IMPARSIAL

file:///C:/Users/HP/Downloads/Siaran%20Pers%20Imparsial%20Hari%20HAM%20-%20121221%20(1).pdf

id_IDBahasa Indonesia