“Tindakan Bupati Sintang Inkonstitusional dan Menyuburkan Intoleransi di Masyarakat”

Rilis Media Imparsial
No. 029/Siaran-Pers/IMP/X/2021
Menyikapi Surat Peringatan ke-2 Bupati Sintang tentang
Pembongkaran Masjid Jemaat Ahmadiyah

Belum lagi ada penyelesaian untuk kasus perusakan masjid milik Jemaat Ahmadiyah di
Sintang, Kalimantan Barat, Jemaat Ahmadiyah di sana kembali dibuat bersedih dengan
terbitnya surat peringatan kedua terkait pembongkaran bangunan rumah ibadah mereka,
Masjid Miftahul Huda. Surat tertanggal 15 Oktober 2021 yang dikeluarkan oleh Bupati
Sintang dan ditujukan kepada ketua Jemaat Ahmadiyah Indonesia cabang Desa Balai
Harapan yang berisi teguran lantaran JAI mengabaikan surat peringatan pertama. Pada surat
peringatan yang ke-2, perintah untuk membongkar bangunan rumah ibadah mereka juga
disertai ancaman bahwa apabila dalam 21 hari rumah ibadah tersebut belum dibongkar, maka
pembongkaran akan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sintang.

Imparsial memandang, langkah Bupati Sintang yang menerbitkan surat peringatan untuk
pembongkaran masjid milik Jemaat Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, secara nyata
merupakan bentuk diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara
untuk beribadah yang dijamin oleh Konstitusi. Langkah yang dilakukan oleh Bupati Sintang
tersebut menjadi contoh buruk kepala daerah yang tidak patuh pada konstitusi negara.
Alih-alih melindungi hak asasi warganya, Bupati Sintang memposisikan dirinya berpihak
kepada pelaku intoleran terhadap Jemaat Ahmadiyah dan gagal menjalankan kewajiban
konstitusionalnya untuk melindungi kebebasan beragama atau berkeyakinan warganya.

Penting untuk dipahami, bahwa hak atas pendirian dan pengelolaan tempat ibadah merupakan
bagian dari hak untuk beribadah sebagai salah satu elemen penting dari kebebasan beragama
atau berkeyakinan. Dalam konteks kebebasan beragama atau berkeyakinan, hak untuk
beribadah merupakan bentuk pengejawantahan dari agama atau keyakinan seseorang yang
telah mendapatkan jaminan kuat di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yakni
Pasal 28E dan pasal 29 ayat 2 UUD 1945, Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang HAM, Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2005. Oleh karena itu, adalah kewajiban
negara, termasuk dalam hal ini pemerintah daerah sebagai representasi negara di daerah,
untuk menjamin dan melindungi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan warganya.

Imparsial menilai, persekusi dan diskriminasi berulang yang terus dialami oleh Jemaat
Ahmadiyah Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ketidaktegasan negara selama ini dalam
penegakan hukum dan pembiaran terhadap intoleransi di masyarakat. Negara semestinya
hadir untuk melindungi hak asasi warganya tanpa memandang latar belakang agama dan
keyakinan yang dianutnya, bukan malah mendiskriminasi dan ikut mempersekusi kelompok
minoritas. Jika sikap dan langkah buruk tersebut terus-menerus dibiarkan, praktik intoleransi
akan semakin tumbuh subur dan pada akhirnya mengancam keberagaman dan kebhinekaan di
masyarakat.

Dalam menyikapi isu pendirian rumah ibadah, termasuk jika terjadi perselisihan di
masyarakat, adalah sebuah keharusan bagi pemerintah dan pemerintah daerah menjadikan
prinsip dan standar HAM sebagai panduan dan rujukan di dalam menyelesaikan persoalan
tersebut. Hal tersebut menjadi penting untuk memastikan setiap kebijakan pemerintah
dan/atau pemerintah daerah tidak diskriminatif dan melanggar hak beribadah warganya.

Pendirian dan penggunaan tempat ibadah harus didasarkan pada kebutuhan nyata
penganutnya, dan dalam hal ini pemerintah wajib memfasilitasi perijinan pendirian dan
penggunaan tempat ibadah tersebut, serta kebutuhan nyata secara substantif sesuai dengan
kehendak penganut ajaran agama atau kepercayaan tersebut. Apabila ada kelompok lain yang
menganggap bangunan masjid milik Jemaat Ahmadiyah melanggar aturan, tugas pemerintah
seharusnya memfasilitasi dialog. Bupati sebagai perwujudan dari perwakilan negara di
daerah, wajib untuk melindungi dan menjaminnya, bukan justeru melakukan tindakan
persekusi dengan mengeluarkan kebijakan yang diskriminatif terhadap salah satu kelompok.

Berdasarkan hal tersebut di atas, Imparsial menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Mengecam penerbitan surat peringatan ke-2 oleh Bupati Sintang kepada JAI Cabang
    Balai Harapan di Sintang terkait pembongkaran Masjid Miftahul Huda milik Jemaat
    Ahmadiyah Indonesia;
  2. Pemerintah Kabupaten Sintang mencabut surat peringatan 1 dan 2 terkait
    pembongkaran masjid Jemaat Ahmadiyah, dan segera memfasilitasi proses
    administrasi dan pendirian rumah ibadah milik kelompok Ahmadiyah;
  3. Meminta Pemerintah Pusat untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah Kabupaten
    Sintang terkait pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan Jemaat
    Ahmadiyah Sintang;
  4. Kepolisian Daerah Kalimantan Barat harus memproses hukum secara tegas pelaku
    perusakan masjid milik Jemaat Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kabupaten
    Sintang yang terjadi pada 3 September 2021 lalu, dengan tidak hanya menyasar pada
    pelaku lapangan melainkan dalang dibalik perusakan tersebut harus diproses secara
    hukum.
  5. Mendesak pemerintah untuk merevisi PBM No. 8 dan 9 dan Mencabut SKB
    Pelarangan Ahmadiyah No. 3 tahun 2008 yang menjadi sumber intoleransi dan
    pelanggaran KBB di daerah.

Jakarta, 21 Oktober 2021


Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
● Gufron Mabruri (Direktur/081213340612)
● Ardi Manto (Wakil Direktur/081261944069)
● Amalia Suri (Peneliti/082367832141)
● Annisa Yudha (Peneliti/085711784064)

id_IDBahasa Indonesia