Menyikapi Rencana Pemulangan WNI Simpatisan ISIS

“Menyikapi Rencana Pemulangan WNI Simpatisan ISIS”

Siaran Pers
No. 001/Siaran-Pers/IMP/II/2020

Akhir-akhir ini wacana terkait pemulangan Warga Negara Indonesia (WNI) yang terlibat dalam organisasi terorisme internasional yakni Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) untuk kembali ke tanah air menjadi polemik di tengah masyarakat. Pemerintah hingga saat ini belum memutuskan sikap yang akan diambil terkait rencana pemulangan sekitar 660 WNI yang berada di Irak dan Suriah.

Imparsial memandang, terorisme merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dengan dalih dan alasan apapun. Sebagai kejahatan, terorisme merupakan ancaman nyata bagi keamanan negara dan masyarakat. Melawan aksi terorisme adalah kepentingan kita bersama sebagai sebuah bangsa. Upaya penanganan terorisme perlu dilakukan secara komprehensif mulai dari pencegahan, penindakan, hingga deradikalisasi.

Imparsial menilai, upaya penanganan terorisme harus dapat menjaga keseimbangan imperatif antara kewajiban negara untuk melindungi rasa aman masyarakat dan menjamin perlindungan hak asasi manusia. Kebijakan negara untuk menanggulangi persoalan terorisme memang bukan hanya perlu, tetapi juga harus. Terorisme hanya bisa dicegah, ditanggulangi, dan dipersempit ruang geraknya oleh kebijakan negara yang komprehensif bagi tata kehidupan politik demokratik, kesejahteraan sosial, dan tegaknya keadilan.

Meski demikian, dalam menyusun kebijakan anti terorisme, negara harus memenuhi kewajibannya dengan benar, yakni menempatkan perlindungan terhadap liberty of person dalam suatu titik perimbangan yang permanen dengan perlindungan terhadap security of person.

Dalam konteks pemulangan WNI simpatisan ISIS, pemerintah harus berhati-hati dan cermat dalam mengidentifikasi dan menangani WNI simpatisan ISIS. Kehati-hatian diperlukan untuk memastikan kebijakan pemerintah tidak kontra produktif dalam menangani ancaman terorisme.

Pemerintah perlu mengidentifikasi WNI Simpatisan ISIS menjadi Foreign Terrorist Fighter (FTF), dan yang tidak menjadi bagian dari hal tersebut. Berdasarkan Resolusi 2249 Dewan Keamanan PBB, ISIS bukanlah sebuah negara, tetapi ditetapkan sebagai organisasi teroris.

Menurut Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara, suatu subjek hukum internasional dapat dikatakan sebagai negara apabila, memiliki kriteria: Pasal 1 Konvensi, Pertama, Populasi yang permanen; Kedua, teritori yang jelas; Ketiga, adanya pemerintahan; dan Keempat, memiliki kapasitas untuk melakukan hubungan dengan negara lain.

Selain itu, baik Teori Konstitutif dan kebiasaan yang berlaku dalam pergaulan internasional (international customs), bahwa sebuah subjek hukum internasional diakui sebagai negara apabila telah memiliki pengakuan dari negara lain.

Dalam konteks itu, keterlibatan WNI sebagai simpatisan ISIS tidak serta merta dapat diidentifikasi bahwa mereka bergabung ke dalam sebuah negara. Sebab ISIS merupakan organisasi teroris dan bukan sebuah negara. Pada titik ini, semua WNI simpatisan ISIS secara hukum masih berstatus sebagai WNI. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyikapi secara proporsional dalam menangani masalah ini.

Sebagai bagian dari WNI, pemerintah tidak bisa lepas tanggung jawab dari kewajiban konstitusionalnya untuk mengambil langkah yang diperlukan dalam menangani WNI yang sebagai simpatisan ISIS. Status sebagai warga negara dijamin menjadi hak bagi setiap orang sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi kita, Pasal 28D UUD NRI Tahun 1945.

Kewarganegaraan kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam konstitusi dengan disertai seperangkat hak-hak dan kewajiban yang melekat di dalamnya. Terjaminnya kewarganegaraan dalam konstitusi Republik Indonesia sebagai sebuah hak adalah perwujudan dari pengakuan negara akan keterikatan individu dalam komunitas politik bangsa Indonesia.

Imparsial menilai pemerintah sebaiknya mengambil pilihan untuk memulangkan WNI simpatisan ISIS dan tidak mencabut kewarganegaraan mereka. Dengan mempertimbangka status kewarganegaraan merupakan sebuah hak yang sangat berharga, sanksi pencabutan kewarganegaraan sebaiknya dihindari.

Apalagi, Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal dan tak menganut asas kewarganegaraan ganda. Penerapan sanksi pencabutan kewarganegaraan akan mengakibatkan terjadinya keadaan tanpa negara (statelessness) seharusnya dihindari mengingat kondisi ini sangat merendahkan kehormatan sebagai manusia.

Pencabutan kewarganegaraan tidak menyelesaikan masalah terorisme di dunia, dan malah melegitimasi ISIS sebagai sebuah negara. Upaya menangani terorisme merupakan upaya menjaga perdamaian dunia yang merupakan kewajiban konstitusional pemerintah sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945.

Dengan mencabut kewarganegaraan akan berdampak pada statelessness dan berpotensi menimbulkan masalah baru bagi keamanan global. Pemerintah sebaiknya melakukan proses hukum terhadap WNI yang terlibat kejahatan terorisme ketimbang mencabut kewarganegaraannya. Jika terdapat WNI yang terlibat aktif sebagai FTF di Suriah dan Irak dan sedang dalam proses hukum di negara tersebut, maka pemerintah perlu menghormati mekanisme hukum yang berlaku di negara tersebut.

Sedangkan terhadap mereka yang tidak dalam proses hukum di negara tersebut, maka pemerintah dapat memulangkan WNI tersebut dan memproses secara hukum sesuai aturan hukum yang berlaku di Indonesia, serta menyiapkan semua perangkat yang dibutuhkan dalam upaya deradikalisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 43D ayat (2) huruf f UU No. 5 Tahun 2018.

Terhadap mereka yang menjadi FTF dan menjadi bagian dari ISIS, maka berdasarkan UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, mereka dapat dijerat dengan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12B Ayat (1), yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

“Setiap Orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan Tindak Pidana Terorisme, dan/atau ikut berperang di luar negeri untuk Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.”

Penerapan pasal tersebut di atas tentunya harus diikuti dengan bukti-bukti yang cukup untuk dibawa ke dalam proses hukum dengan tetap menghormati due process of law. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus bekerja sama dengan pemerintah Suriah dan Irak untuk mengidentifikasi pelaku yang benar-benar menjadi FTF aktif.

Pemerintah juga dapat menggunakan instrumen hukum lain di luar UU Terorisme untuk menangani masalah ini. Khusus terhadap perempuan dan anak-anak yang ikut berangkat ke Irak dan Suriah, sebaiknya pemerintah menerapkan program deradikalisasi yang komprehensif ketimbang melakukan penghukuman.

Jakarta, 11 Februari 2020

Al Araf (Direktur)
Gufron (Wakil Direktur)
Ardi Manto (Koordinator Peneliti)
Anton Aliabbas (Peneliti)
Hussein Ahmad (Peneliti)
Annisa Yudha (Peneliti)

Narahubung:
Gufron (0812-1334-0612)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDBahasa Indonesia