Kamis, 4 Maret 2021 17:40
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA- Lembaga pemantau hak asasi manusia Imparsial terus menyatakan keberatannya atas langkah pemerintah yang bersikukuh melakukan finalisasi rancangan Peraturan Presiden tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
“Jika dipaksakan pengesahannya oleh pemerintah akan membahayakan kehidupan demokrasi, HAM, dan sistem penegakan hukum,” kata Direktur Imparsial Gufron Mabruri kepada wartawan di Jakarta, Kamis (4/3/2021).
Ghufron menilai pemerintah sepertinya tidak mengindahkan berbagai catatan kritis dan masukan publik terhadap muatan rancangan peraturan tersebut yang bertabur masalah.
Dikatakannya, dari draf Perpres yang beredar di masyarakat, sejumlah permasalahan dalam rancangan peraturan itu antara lain, pertama, pengerahan TNI dalam mengatasi terorisme cukup hanya atas dasar perintah presiden.
“Ini bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI yang mengatur pengerahan TNI harus berdasarkan keputusan politik negara,” lanjut Gufron.
Kedua, soal anggaran penanganan terorisme yang disebutkan bisa bersumber dari APBD dan sumber lain di luar APBN. Itu bertentangan dengan Pasal 66 UU TNI yang menyatakan anggaran TNI harus sentralistik dan bersumber dari APBN.
Ketiga, kata dia, rancangan perpres tersebut memberikan kewenangan terlalu luas dan berlebihan kepada TNI untuk melakukan fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan.
“Ini potensi pelanggaran HAM. Menimbulkan masalah impunitas dan akuntabilitas TNI. Apalagi pemerintah urung merevisi UU Peradilan Militer sehingga TNI memiliki peradilan sendiri dan tidak tunduk pada peradilan umum,” jelasnya.
Lebih jauh lagi, kata Gufron, fungsi penangkalan adalah pasal “karet” yang multitafsir. Ketentuan mengenai “operasi lainnya” selain operasi intelijen, teritorial, dan informasi, sangat berpotensi disimpangkan dan disalahgunakan untuk melakukan operasi yang melanggar HAM
“Bagi Imparsial, jika pemerintah akan melibatkan TNI dalam mengatasi terorisme maka militer harus terlebih dahulu tunduk pada sistem peradilan umum,” ujarnya.
Maka, sambung dia, pemerintah sebaiknya mereformasi terlebih dahulu sistem peradilan militer yang merupakan amanat Reformasi 1998 seperti termuat dalam TAP MPR No. VII/MPR/2000 dan UU TNI.