RUU TNI akan Mengembalikan DwiFungsi ABRI dan Mengancam Demokrasi

Catatan Media Briefing dan Diskusi Publik Koalisi Masyarakat Sipil pada minggu 18 mei 2024 dalam menyikapi “Pembahasan RUU TNI di DPR pada rabu, 21 mei 2024”

  1. Hussein Ahmad (Imparsial/Penulis Critical Review RUU TNI)

Terdapat sejumlah persoalan dalam rancangan perubahan terhadap Undang-undang TNI yang beredar saat ini. Diantaranya adalah terkait dengan perluasan peran TNI dari alat negara yang fokus di bidang pertahanan, ini ingin ditambah lagi juga di bidang keamanan, pencabutan kewenangan Presiden untuk mobilisasi, perluasan jenis OMSP dan jabatan sipil, dan lain sebagainya.

Perluasan kewenangan TNI dari alat negara di bidang pertahanan menjadi alat negara bidang pertahanan dan keamanan negara ini merupakan isu yang paling krusial. Fungsi TNI jika ditambahkan sebagai alat keamanan negara, sebagaimana kita ketahui pada masa Orde Baru dengan peran sosial politik TNI, di mana TNI tidak hanya sebagai alat pertahanan tetapi juga punya fungsi keamanan, itu membuat tugas-tugas TNI menjadi rancu dan tidak sesuai dengan “raison d’etre” dibentuknya TNI, yaitu menjadi alat pertahanan negara.

Akibatnya, jika TNI terlibat dalam masalah keamanan maka ini mirip seperti Orde Baru di mana TNI terlibat dalam menghadapi ancaman atau gangguan yang berasal dari dalam atau internal, seperti menghadapi masyarakat sipil. Selain itu, kewenangan Presiden untuk mengerahkan TNI juga dihapus di dalam draft revisi undang-undang TNI versi Babinkum TNI, ini berbahaya karena TNI dapat secara mandiri tanpa adanya otorisasi dari pemimpin politik sipil nasional untuk pengerahan pasukan, ini berbahaya dan dapat kita artikan sebagai pasal kudeta.

  1. ⁠Ikhsan Yosarie (Setara Institute/Penulis Critical Review RUU TNI).

Upaya untuk mengembalikan peran sosial politik TNI dapat dilihat di dalam draft revisi UU TNI yang diusulkan Babinkum TNI, yaitu terkait dengan penambahan jenis OMSP. Ketentuan yang terdapat dalam pasal 7 ayat 2 undang-undang TNI saat ini saja masih belum memiliki aturan turunan yang detail mengenai OMSP, seperti batasan ruang lingkup, waktu pelaksanaan, akuntabilitas dan transparansi. Wacana penambahan jenis OMSP dalam draft revisi undang-undang TNI menambah pelik problematika tugas TNI dalam OMSP, seperti perubahan diksi dari semula “membantu” menjadi “mendukung”. Penambahan ruang lingkup OMSP juga sangat problematik karena mencakup isu yang tidak memiliki keterkaitan lansung dengan isu pertahanan, seperti masalah narkotika, hingga ketentuan yang bersifat karet yang berbunyi “melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Presiden guna mendukung pembangunan nasional”.

erkait perluasan penempatan TNI pada jabatan sipil seperti pada Kementerian koordinator bidang kemaritiman dan investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, staf presiden, BNPB termasuk pasal karet “Kementerian atau lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai kebijakan Presiden”. Terdapat potensi migrasi perwira tinggi TNI kepada jabatan sipil mengingat luasnya ruang lingkup jabatan ASN yang boleh atau bisa ditempati oleh militer aktif. Selain itu saat ini terdapat regulasi di luar undang-undang TNI yang memberikan peluang bagi TNI untuk menduduki jabatan sipil di luar yang diatur di dalam undang-undang TNI itu sendiri. Minimnya akuntabilitas dan transparansi dalam revisi undang-undang TNI berpotensi melegitimasi regresi reformasi TNI yang telah terjadi serta memperlihatkan keberpihakan pemerintah dan DPR tidak pada reformasi TNI.

  1. ⁠Annisa Azzahra (Advokasi PBHI)

Kalau kita lihat draft revisi undang-undang TNI maka sepertinya mereka ingin meminta kembali apa yang pernah mereka punya pada masa Orde Baru. Mengingat saat ini Pemerintah juga hanya fokus pada Pembangunan, seperti halnya pada masa Orde Baru yang juga hanya berfokus pada pembangunan dan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Arah dari revisi undang-undang TNI ini juga tidak menunjukkan perubahan pada demokrasi tetapi militer meminta hal yang sama pada masa Orde Baru, bukan pada reformasi TNI atau profesionalisme TNI.

Dalam revisi undang-undang TNI ini diusulkan bahwa TNI dapat mengajukan langsung anggarannya kepada kementerian keuangan tanpa harus melalui Kementerian Pertahanan. Hal ini Tentunya berbahaya mengingat rendahnya akuntabilitas dan transparansi pengelolaan anggaran pertahanan selama ini. Lebih dari itu revisi undang-undang TNI juga mengusulkan sumber pendanaan TNI tidak hanya bersumber dari APBN melainkan dapat bersumber dari luar APBN seperti APBD dan lain-lain. Ini sangat berbahaya karena akan Mengusik independensi TNI itu sendiri dan merusak profesionalisme TNI di masa yang akan datang. Pemerintah dan DPR juga abai terhadap revisi undang-undang Peradilan Militer yang lebih urgent ketimbang merevisi undang-undang TNI itu sendiri.

  1. ⁠Fadhil Alfathan (LBH Jakarta)

Tidak ada kemajuan yang impresif yang terjadi selama kurang lebih 9 tahun pemerintahan Joko Widodo terkait reformasi TNI. Yang terjadi justru sebaliknya reformasi TNI dinilai berjalan mundur. Salah satu persoalan dalam draft revisi undang-undang TNI adalah terkait dengan Peradilan Militer. Peradilan Militer tentunya sangat problematik di mana Odituur atau jaksanya dan hakimnya itu merupakan unsur dari militer. Sistem Peradilan Militer harus ditinjau ulang karena menempatkan “justiable” atau pelakunya sebagai subjek peradilan itu sendiri, bukan mengacu pada bentuk perkara yang ditanganinya. Hal ini bertentangan dengan prinsip pembentukan peradilan khusus di bawah Mahkamah Agung. Kami menilai usulan untuk mengubah pasal 65 terkait dengan Peradilan Militer sangat berbahaya bagi proses reformasi hukum di Indonesia secara keseluruhan di masa yang akan datang.

  1. ⁠Andi M Rezaldy (KontraS/Penulis Critical Review RUU TNI)

Reformasi TNI penting untuk dilanjutkan karena kita tidak ingin berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat dan peristiwa pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang terjadi masa orde baru itu kembali terjadi di masa yang akan datang. Mengenai Peradilan Militer, revisi undang-undang TNI yang terjadi saat ini justru ingin menghapus atau mengekalkan Sistem Peradilan Militer bagi TNI. Persoalannya Peradilan Militer itu sendiri seringkali gagal memberikan keadilan terhadap korban dan menjadi sarana impunitas terhadap anggota TNI yang melakukan kejahatan. Pengadilan Militer kasus penghilangan paksa tahun 97-98 misalnya yang hanya memberikan hukuman ringan terhadap para pelakunya yang bahkan pada akhirnya para pelaku tersebut mendapatkan jabatan strategis di TNI/ Kementrian Pertahanan di kemudian hari. Dengan ditiadakannya sistem peradilan umum bagi prajurit TNI yang melakukan kejahatan ini akan mengarah pada impunitas atas kejahatan yang dilakukan oleh anggota TNI.

  1. Teo Reffelsen (WALHI/Penulis Critical Review RUU TNI)

Sampai hari ini kita tidak mendapatkan naskah akademik dan draft RUU revisi undang-undang TNI itu sendiri, artinya proses pembahasan revisi undang-undang TNI berjalan secara tertutup. Akibatnya kami hanya mengacu pada paparan dari Babinkum TNI itu sendiri terkait dengan pasal-pasal mana yang akan diubah di dalam undang-undang TNI. Pembahasan revisi undang-undang TNI berjalan secara tidak akuntabel dan transparan. Penambahan usia pensiun TNI akan menjadi beban persoalan baru bagi TNI, justru ini akan memperparah problem surplus perwira tanpa jabatan di institusi TNI. Pelibatan-pelibatan TNI dalam proyek pembangunan atau disebut dengan proyek strategis nasional (PSN) akan menempatkan TNI pada posisi yang berhadap-hadapan dengan masyarakat seperti pembebasan lahan atau penanganan konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar.

  1. ⁠Al Araf (Peneliti Senior Imparsial dan Editor Critical Review RUU TNI)

Politik hukum pembentukan undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI itu ditujukan sepenuhnya untuk membentuk TNI yang profesional. Karena itulah dalam undang-undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 militer diberikan tugas untuk fokus sebagai alat pertahanan negara. Pembentukan undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI itu hadir dalam konstruksi politik yang menginginkan Indonesia hidup dalam alam demokrasi. Sehingga militer sebagai instrument pengguna kekerasan yang dikendalikan oleh pemerintahan sipil sepenuhnya ditujukan untuk menjadi professional.

Undang-undang No. 34 Tahun 2004 juga ditujukan agar TNI tunduk pada peradilan umum dalam hal melakukan pidana umum, ini bertujuan yaitu untuk memperkuat akuntabilitas dan transparansi serta prinsip equality before the law dalam penegakan hukum di Indonesia.

Rancangan draft revisi undang-undang TNI sebagaimana yang disebutkan oleh kawan-kawan sebelumnya tadi itu justru bukan ditujukan untuk membentuk militer Indonesia yang profesionalisme. Yang ada adalah justru sebaliknya yaitu membuat TNI semakin tidak professional dan membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia.

Jangan buka ruang bagi militer untuk kembali dalam kehidupan sosial politik. Karena ketika terbuka maka akan sulit untuk menutup. Revisi UU TNI yang akan dibahas oleh DPR nanti akan menjadi kotak pandora dan ruang baru bagi kembalinya militer dalam fungsi-fungsi di luar fungsi pertahanan, dan itu akan membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan HAM.

Link :

CRITICAL REVIEW ATAS USULAN
PERUBAHAN UU TNI

IMPARSIAL (the Indonesian Human Rights Monitor)
https://bit.ly/Kritik-RUUTNI

KERTAS KEBIJAKAN
Mengawal Reformasi Tentara Nasional
Indonesia Melalui Penolakan Usulan Perubahan
dalam Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2004 tentang Tentara Nasional Indonesia https://bit.ly/KertasKebijakan-RUUTNI

BERSIH PANJA RUU PERUBAHAN UU TNI 22052024 (revisi)buka file

en_GBEnglish (UK)