Rapor Merah Perlindungan Hak Hidup di Era Pemerintahan Presiden Jokowi

Imparsial Live Press
No: 017/Siaran-Pers/IMP/X/2022
Memperingati Hari Anti Hukuman Mati Sedunia 10 Oktober
“Rapor Merah Perlindungan Hak Hidup di Era Pemerintahan Presiden Jokowi”

Setiap tanggal 10 Oktober, komunitas Internasional memperingati Hari Anti Hukuman Mati Sedunia (World Anti-Death Penalty). Dalam tatanan moral dan hukum Internasional, hukuman mati mulai ditinggalkan. Ada 111 negara yang sudah menghapus hukuman mati dari sistem hukum mereka dan hanya 55 negara di dunia yang masih menerapkan hukuman mati. Namun dari 55 negara tersebut sebanyak 36 negara diantaranya menerapkan moratorium praktik hukuman mati, sehingga sampai saat ini sudah terdapat total 147 negara di dunia yang tidak mempraktikkan hukuman mati baik karena sudah menghapus maupun melakukan moratorium. Hal ini dikarenakan hukuman mati tidak terbukti menyelesaikan permasalahan maraknya kejahatan di suatu negara, apalagi hukuman ini tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Bertolak dengan tren global yang mendukung penghapusan hukuman mati, Indonesia justru masih masuk ke dalam sedikit negara yang masih menjatuhkan vonis hukuman mati, di berbagai tingkat pengadilan. Berdasarkan pemantauan media yang kami lakukan, sepanjang tahun 2019-2022 atau di periode ke-2 pemerintahan Presiden Jokowi, terdapat 232 terpidana mati baru. Angka tersebut, menjadikan jumlah total terpidana mati sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi sejak 2014 menjadi 453 orang. Jumlah terpidana mati di periode pertama Presiden Jokowi dibanding dengan periode ke-2, meningkat hingga hampir 200% tepatnya meningkat sebanyak 174%. Jika dibandingkan dengan pendahulunya, 15 tahun masa pemerintahan BJ. Habibie, Gusdur, Megawati, dan 2 periode SBY, hanya terdapat 197 terpidana mati. Hal ini membuat jumlah terpidana mati di masa pemerintahan presiden Jokowi yang hanya 8 tahun, meningkat hingga 431%.

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, mayoritas terpidana mati adalah mereka yang terjerat kasus narkotika. Jika dilihat berdasarkan kejahatan yang dilakukan terdakwa, ada 180 orang terjerat kasus narkotika, 32 orang terlibat pembunuhan/pembunuhan berencana, 11 orang divonis mati lantaran terlibat kasus pemerkosaan yang disertai pembunuhan, 2 orang divonis mati untuk kasus pemerkosaan, dan ada 7 terpidana yang divonis mati untuk kasus terorisme. Sebagian besar terpidana mati berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 224 orang. Sedangkan 7 orang lainnya berjenis kelamin perempuan. Ada 1 orang yang tidak diketahui jenis kelaminnya lantaran memang sulit sekali menemukan data resmi tentang para terpidana mati. Jika dilihat dari kewarganegaraannya, ada 217 warga negara Indonesia yang divonis mati dan 16 warga negara asing (Malaysia 6 orang, Thailand dan Pakistan masing-masing 2 orang, Yaman dan Nigeria masing-masing 4 orang, dan 4 WNA lain yang tidak diketahui kewarganegaraannya).

Hal yang paling menyedihkan adalah, dari 232 terpidana mati di periode kedua pemerintahan presiden Jokowi, terdapat 185 terpidana divonis hukuman mati di tengah situasi pandemi Covid-19. Sebuah ironi, disaat seluruh masyarakat di dunia mencoba untuk menyelamatkan nyawa, pengadilan di Indonesia malah membuat putusan untuk mencabut nyawa dengan pemberian hukuman mati melalui sidang yang dilakukan secara virtual (teleconference). Dari 185 terpidana tersebut, 86% divonis mati melalui sidang virtual, hanya 14% yang divonis melalui sidang langsung, itupun dengan pembatasan-pembatasan yang dilakukan selama pandemi Covid.

Sidang virtual jelas tidak bisa maksimal ketika mengungkap kebenaran materiil dalam sebuah tindak kejahatan. Penasehat hukum pun sulit menemui kliennya, sehingga tidak optimal pula dalam memberikan pembelaan. Pun ketika sidang, terdakwa biasanya hadir melalui video di kantor polisi atau di tempat penahanan lainnya, didampingi oleh polisi selama bersidang, yang tentu tidak menjamin keterangan yang dia berikan terbebas dari intimidasi penyidik. Belum lagi permasalahan teknis seperti gangguan sinyal, perangkat digital yang tidak berfungsi dengan baik, dan lain sebagainya. Mencabut nyawa melalui sidang virtual sudah jelas tidak memberikan keadilan substantif bagi terdakwa, lebih dari itu juga tidak manusiawi.

Kami menilai, di tengah sistem peradilan di Indonesia yang masih butuh banyak perbaikan, tidak patutlah menerapkan hukuman mati yang tidak menyisakan ruang koreksi. Sudah banyak kasus hukuman mati dengan indikasi peradilan sesat (unfair trial) yang sampai saat ini tidak kunjung ada kejelasan. Misalnya kasus terpidana mati Zulfikar Ali yang sudah meninggal lebih dahulu sebelum mendapat grasi atas kejahatan yang tidak dilakukannya, kasus Zainal Abidin yang berkas Peninjauan Kembali (PK)-nya terselip di Mahkamah Agung sampai 10 tahun sampai akhirnya Zainal Abidin dieksekusi. Hingga kasus Mary Jane Veloso dan Merri Utami yang merupakan korban perdagangan orang. Ditambah lagi problematika serius seperti maraknya peradilan sesat, korupsi, praktik kekerasan, salah tangkap, minimnya akses bantuan hukum yang berkualitas, hingga masalah transparansi, semakin menambah urgensi untuk tidak menerapkan hukuman mati di Indonesia.

Kepercayaan bahwa hukuman mati bisa menjadi solusi untuk kejahatan sudah lama terbukti hanya mitos belaka. Jumlah transaksi narkotika tetap tinggi meski sudah puluhan orang dieksekusi mati, begitupun dengan kasus pembunuhan dan perkosaan. Tak berbeda untuk kasus korupsi, negara-negara yang tingkat korupsinya rendah sudah sejak lama menghapus hukuman mati. Sudah saatnya pemerintah menyelesaikan akar masalah dari kejahatan-kejahatan tersebut, daripada mengambil jalan pintas yang menyamar sebagai solusi, yang padahal menimbulkan banyak permasalahan baru pada praktiknya.

Berangkat dari hal tersebut di atas, pada momentum peringatan hari anti hukuman mati 10 Oktober ini, Imparsial mendesak agar:

  1. Presiden Joko Widodo membentuk tim khusus yang bertugas untuk mengevaluasi vonis hukuman mati yang telah dijatuhkan selama ini, khususnya selama masa pandemi karena rentan terhadap unfair trial atau peradilan sesat;
  2. Presiden Joko Widodo membentuk tim untuk mengkaji permohonan-permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana mati sekaligus meninjau kondisi terpidana mati di dalam Lapas dan memastikan langkah-langkah komutasi terhadap terpidana mati berdasarkan hasil kajian tersebut;
  3. Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung memerintahkan jajarannya untuk menghentikan penuntutan dan penjatuhan vonis mati dalam proses persidaangan yang dilakukan secara virtual karena proses hukum yang berjalan sangat rawan akan terjadinya kegagalan memberikan keadilan substantif/materiil;
  4. Pemerintah melakukan evaluasi terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia, khususnya terhadap perkara kasus terpidana mati untuk memastikan adanya proses hukum yang benar, adil dan akuntabel, sehingga menutup peluang terjadinya kesalahan penghukuman;
  5. Pemerintah melakukan moratorium resmi dengan membatalkan semua rencana eksekusi mati pada masa yang akan datang dalam rangka untuk menghapus hukuman mati dari sistem hukum Indonesia.’

Jakarta, 10 Oktober 2020

Director of Imparsial

Gufron Mabruri

Contact person:

Gufron Mabruri/Direktur (081575434186)

Ardi Manto/ Wakil direktur (081261944069)

Amalia Suri/Peneliti (082367832141)

en_GBEnglish (UK)