Pemaksaan Pemakaian Jilbab Kembali Terjadi, Intoleransi di Dunia Pendidikan Masih Berlanjut

Rilis Pers Imparsial
No. 011/Siaran-Pers/IMP/VIII/2022
“Pemaksaan Pemakaian Jilbab Kembali Terjadi, Intoleransi di Dunia Pendidikan
Masih Berlanjut”

Pemaksaan pemakaian jilbab kembali terjadi kepada seorang siswi di SMAN 1 Banguntapan,
Bantul, Yogyakarta. Kejadian tersebut menambah catatan merah kasus diskriminasi yang
terjadi di dunia pendidikan di Indonesia. Dilansir dari pemberitaan di media, kejadian bermula
dari tiga (3) orang guru (dua orang guru BK dan 1 orang Wali Kelas) SMAN 1 Banguntapan
yang diduga melakukan pemaksaan terhadap salah satu siswi untuk mengenakan jilbab.
Dugaan pelanggaran tersebut ditegaskan oleh Kemendikbudristek yang melakukan investigasi
dan berkoordinasi dengan Ombudsman RI DIY menemukan adanya unsur pemaksaan
penggunaan jilbab kepada siswi SMAN 1 Banguntapan. Tindakan pemaksaan tersebut tidak
hanya berdampak pada kehidupan sosial korban, tetapi sampai menimbulkan trauma secara
psikis.
Imparsial memandang, pemaksaan penggunaan jilbab di satuan-satuan pendidikan yang
dikelola pemerintah dan/atau pemerintah daerah merupakan bentuk diskriminasi dan
melanggar hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan yang dijamin oleh Konstitusi.
Satuan-satuan pendidikan tersebut seharusnya menghormati keragaman agama atau keyakinan
peserta didik. Dalam konteks ini, sekolah negeri termasuk kebijakan yang diterapkan kepada
peserta didik, tidak sepatutnya berafiliasi dengan agama atau keyakinan tertentu. Sebaliknya,
sekolah harus mempromosikan kesadaran untuk saling menghormati perbedaan dan keragaman
agama atau keyakinan, serta mengambil langkah-langkah yang efektif untuk menghilangkan
kebijakan dan praktik diskriminatif.
Pengaturan terkait pakaian seragam sekolah sejatinya telah diatur secara jelas dalam Pasal 3
ayat (4) huruf d Permendikbud No. 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi
Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah yang berbunyi: “Pakaian seragam khas
sekolah diatur oleh masing-masing sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga
negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing.” Selain itu, dalam konteks
penyelenggaraan pendidikan di sekolah negeri yang sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, harus mengedepankan prinsip demokratis, berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa. Aturan ini seharusnya menjadi acuan oleh satuan-satuan
pendidikan dalam menyusun peraturan tentang seragam sekolah sehingga menjamin hal-hal
prinsipil, seperti hak untuk beragama dan mendapat pendidikan.
Persoalan mengenai penggunaan simbol dan atribut keagamaan merupakan bagian dari hak
beragama atau berkeyakinan di mana negara wajib menghormati, melindungi, dan
memenuhinya. Prinsip HAM menegaskan kewajiban negara untuk menjaga kebebasan positif
dan negatif hak beragama atau berkeyakinan secara bersamaan. Kebebasan positif adalah
kebebasan setiap orang untuk menggunakan simbol agama, seperti jilbab, cadar, turban, dan
kipran, sebagai sebuah pilihan yang bebas, tanpa paksaan. Sebaliknya, kebebasan negatif
mengharuskan negara atau otoritas publik lainnya untuk tidak menerapkan penggunaan simbol
atau atribut keagamaan tersebut secara paksa terhadap individu atau kelompok tertentu.
Imparsial menilai, isu terkait seragam sekolah dengan atribut agama tertentu yang dipaksakan
kepada peserta didik harus disikapi secara serius mengingat hal ini tidak hanya terjadi di satu
daerah saja, seperti DKI Jakarta, Padang, Depok, Riau, Bali, Maumere, Nias, dll. Imparsial
mencatat, setidaknya terdapat 7 kasus yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 4 tahun ke
belakang. Namun demikian, kasus-kasus pemaksaan penggunaan dan/atau larangan
penggunaan seragam sekolah yang berkaitan dengan atribut keagamaan tersebut menjadi
fenomena gunung es. Pemerintah pernah membentuk SKB 3 Menteri pada Februari tahun 2021
yang mengatur soal seragam dan atribut di sekolah negeri. Akan tetapi, SKB tersebut
dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada bulan Mei 2021, dengan kata lain SKB tersebut
hanya berlaku efektif selama tiga bulan. Pembatalan tersebut menunjukkan negara masih
belum sensitif terhadap keberagaman yang ada di masyarakat.
Tidak hanya dalam peraturan terkait seragam sekolah, namun dalam kurikulum dan/atau
konten bahan ajar, serta kegiatan rutinitas sekolah juga perlu mengedepankan prinsip-prinsip
tersebut. Jika persoalan ini tidak dibenahi oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah, maka
satuan-satuan pendidikan bisa menjadi tempat persemaian benih-benih sikap penolakan
terhadap keberagaman terutama bagi kalangan anak-anak (peserta didik) yang dapat
berkontribusi mendorong semakin kuatnya segregasi sosial dan intoleransi di tengah
masyarakat.
Respon dan tindakan tegas dari pemerintah daerah, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku
Buwono X dengan menonaktifkan (membebastugaskan) kepala sekolah dan tiga orang guru
yang terlibat dalam kasus tersebut patut diapresiasi. Namun demikian, proses pengusutan lebih
lanjut perlu dilakukan secara transparan dan akuntabel dengan menerapkan prinsip nondiskriminasi dan keberpihakan kepada korban. Selain itu, pemerintah perlu menyusun langkahlangkah yang lebih komprehensif dan sistemik untuk menghindari kejadian berulang. Sehingga
persoalan diskriminasi dan intoleransi di lingkungan pendidikan dapat dihapus. Kasus ini
seyogyanya dapat menjadi momentum untuk menjadikan sekolah sebagai zona pendidikan
toleransi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Imparsial mendesak:

  1. Semua pihak yang berwenang, untuk melanjutkan proses investigasi dan pengusutan
    kasus lebih lanjut secara transparan dan akuntabel dengan menerapkan prinsip nondiskriminasi dan memberikan perlindungan serta keadilan bagi korban.
  2. Pemerintah dan Pemerintah Daerah, untuk mengevaluasi sistem, peraturan, dan praktik
    diskriminatif di lingkungan sekolah, mengingat peristiwa pemaksaan simbol, atribut,
    dan ritual agama tertentu terjadi di sejumlah daerah.
  3. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, menginisiasi pembentukan peraturan
    perundang-undangan yang melarang dan mencegah praktik intoleransi di lingkungan
    sekolah.

Jakarta, 10 Agustus 2022
Contact person:
Ardi Manto: 0812-6194-4069
Anisa Yudha: 0857-1178-4064

en_GBEnglish (UK)