Pemerintah dan DPR Harus Evaluasi dan Koreksi Pendekatan Militeristik di Papua

Imparsial Live Press
No. 023/Siaran-Pers/IMP/XII/2022
Menyikapi Arahan Presiden terkait Penanganan Konflik Papua pada saat Pelantikan Panglima
TNI Laksamana Yudho Margono
“Pemerintah dan DPR Harus Evaluasi dan Koreksi Pendekatan Militeristik di Papua”


Pada tanggal 19 Desember 2022, Presiden Joko Widodo resmi melantik Laksamana TNI
Yudho Margono sebagai Panglima TNI yang baru, menggantikan Jenderal TNI Andika
Perkasa yang telah memasuki masa pensiun. Panglima TNI yang baru diharapkan dapat
melakukan sejumlah terobosan penting dan positif untuk mendorong TNI kedepan semakin
profesional, kuat dan modern serta menjamin penghormatan terhadap demokrasi, negara
hukum dan hak asasi manusia. Pada kesempatan tersebut, Presiden juga menyampaikan
sejumlah arahan kepada Panglima TNI yang baru, salah satunya untuk melakukan pendekatan
yang humanis dalam merespon konflik di Papua.


Imparsial memandang, perubahan pendekatan dalam menangani konflik Papua dari
militeristik ke pendekatan humanis merupakan langkah yang penting dan harus dilakukan,
mengingat pendekatan militeristik yang dijalankan selama ini banyak berdampak pada
terjadinya kekerasan, pelanggaran HAM dan buruknya kondisi kemanusiaan di Papua. Alihalih menyelesaikan konflik, pendekatan tersebut semakin memperdalam luka dan trauma
orang Papua akan kekerasan, serta meningkatkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Oleh karena itu, arahan Presiden untuk melakukan pendekatan humanis dalam menangani
konflik Papua menjadi pesan penting yang harus ditindaklanjuti secara serius, nyata dan
konsisten oleh Panglima TNI.


Penting dicatat, perubahan pendekatan ke arah yang lebih humanis dalam penanganan Papua
sesungguhnya hanya dapat diwujudkan jika dilakukan langkah-langkah evaluasi, koreksi dan
penataan ulang terhadap kebijakan keamanan di Papua, khususnya terkait dengan pelibatan
militer. Hal tersebut menjadi penting, mengingat berbagai kekerasan, pelanggaran HAM dan
persoalan kemanusiaan di sejumlah wilayah di Papua tidak bisa dilepaskan dari faktor
kebijakan yang dijalankan. Jika tidak, pernyataan tentang perubahan pendekatan humanis
hanyalah retorika dan menjadi harapan palsu yang diberikan kepada masyarakat Papua.


Imparsial menilai, upaya penataan ulang terhadap gelar kekuatan pasukan TNI menjadi salah
satu agenda penting yang harus dilakukan. Selama ini, ada indikasi terjadi peningkatan
jumlah kehadiran pasukan TNI yang semakin tidak proporsional seiring dengan terus
dijalankannya pemekaran struktur organik dan pengiriman pasukan TNI non-organik dari luar
Papua. Berdasarkan estimasi Imparsial, jumlah prajurit TNI di Papua baik dari unsur organik
aupun non-organik diperkirakan mencapai ±16.900 prajurit, yang terdiri dari ±13.900 prajurit
TNI organik tiga matra (darat, laut dan udara) dan ±3000 prajurit TNI non-organik.1 Pada
konteks pasukan non-organik, jika dilihat latar belakang satuannya, sebagian besar (jika tidak
bisa dikatakan seluruhnya) yang dikirim ke Papua adalah satuan dengan kualifikasi tempur.

Dari sisi legalitas dan akuntabilitas, pelibatan TNI dalam penanganan Papua juga memiliki
banyak persoalan dan dipandang tidak sejalan dengan UU TNI. Pasal 7 Ayat (3) UU TNI
menegaskan bahwa pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang dilakukan oleh
prajurit TNI, termasuk dalam hal ini penanganan separatisme dan perbantuan terhadap
kepolisian, harus didasarkan pada Keputusan Politik Negara, atau dalam hal ini keputusan
yang dikonsultasikan kepada DPR RI. Berdasarkan penelurusan Imparsial, hingga saat ini
pemerintah tidak pernah mengeluarkan kebijakan tertulis terkait dengan pengerahan pasukan
TNI ke Papua. Dengan demikian, dari sisi hukum, pelibatan militer tersebut dapat dikatakan
ilegal.


Hal yang tidak kalah penting namun sering diabaikan adalah penegakan hukum dan
penghapusan praktik impunitas terhadap kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan
aparat TNI di Papua. Selama ini, pendekatan keamanan militeristik yang terus dijalankan
berdampak secara langsung dan tidak langsung terhadap terjadinya kekerasan dan
pelanggaran HAM terhadap masyarakat Papua. Beberapa kasus yang sempat mencuat ke
publik, misalnya pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani (tahun 2020),
pembunuhan yang disertai mutilasi terhadap empat orang warga sipil Papua (tahun 2022),
penyiksaan terhadap tiga orang anak yang dituduh melakukan pencurian (tahun 2022), dan
lain-lain. Selama ini, praktik impunitas selalu menjadi persoalan yang terus terjadi dalam
kekerasan yang melibatkan aparat keamanan. Penegakan hukum untuk memutus mata rantai
impunitas menjadi penting untuk mencegah berulangnya kekerasan aparat keamanan
terhadap masyarakat sipil di Papua.


Berdasarkan pandangan di atas, Imparsial mendesak kepada pemerintah, DPR dan Panglima
TNI untuk membuktikan secara serius, nyata dan konsisten keinginannya untuk mengubah
pendekatan keamanan yang lebih humanis di Papua. Dalam konteks itu, upaya evaluasi dan
koreksi secara komprehensif perlu dilakukan terhadap kebijakan dan pendekatan keamanan
yang selama ini dijalankan di Papua. Selain itu, bersamaan dengan langkah evaluasi dan
koreksi tersebut, kami juga mendesak pemerintah untuk merintis penyelesaian konflik Papua
melalui jalan dialog.


Jakarta, 21 Desember 2022


Gufron Mabruri
Director


Contacts
• Gufron Mabruri, Direktur Imparsial – 0815 7543 4186
• Ardi manto Adiputra, Wakil Direktur Imparsial – 0812 6194 406

Link Konpers . Siaran Pers Imparsial – Penanganan Konflik Papua dan Pelantikan Panglima TNI (21.12.22).pdf

en_GBEnglish (UK)