Rilis Media Imparsial
No.022/Siaran-Pers/IMP/XI/2022
Menyikapi Hari Toleransi Internasional Tanggal 16 November 2022
“Elit Politik Harus Mengedepankan Politik Keberagaman dalam Menghadapi Tahun Politik Elektoral 2024”
Hari ini, tanggal 16 November, masyarakat di seluruh dunia secara serentak memperingati Hari Toleransi Internasional. Tahun ini merupakan peringatan ke-26 sejak pertama kali diresmikan pada tahun 1996 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau setahun sejak adanya Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Toleransi oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Hari Toleransi Internasional dideklarasikan sebagai bentuk respon terhadap maraknya praktik intoleransi, diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan yang terjadi di banyak belahan dunia.
Imparsial memandang peringatan Hari Toleransi Internasional pada hari ini seharusnya digunakan sebagai momentum oleh segenap bangsa Indonesia terutama pemerintah untuk meneguhkan kembali penghormatan dan pengakuan atas keberagaman masyarakat kita yang berbasis pada nilai dan prinsip hak asasi manusia universal dan kebebasan dasar. Hal ini menjadi penting mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk, yang di dalamnya terdiri dari beragam agama, kepercayaan, suku, budaya, dan lain-lain. Di tengah keberagaman tersebut, harus ada kesadaran bersama bahwa Indonesia merupakan rumah bersama dimana setiap orang dan kelompok apapun latar belakang sosialnya memiliki kedudukan setara dan hak-hak yang sama untuk dijamin dan dilindungi oleh negara. Semua bentuk Intoleransi dan diskriminasi mengancam Indonesia sebagai rumah bersama.
Penguatan toleransi hubungan antar dan intra-umat beragama menjadi salah satu isu yang perlu menjadi perhatian bersama, terutama pemerintah. Hingga saat ini, Indonesia masih memiliki sejumlah catatan merah terkait masih maraknya intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan. Berdasarkan hasil pemantauan Imparsial sepanjang tahun 2022, terdapat 25 pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terekam oleh media. Mayoritas kasus tersebut adalah kasus perusakan tempat ibadah sebanyak 7 kasus, disusul larangan mendirikan tempat ibadah dan larangan beribadah, masing-masing 5 kasus. Pelanggaran berikutnya adalah perusakan atribut keagamaan sebanyak 3 kasus, serta kasus-kasus lain yang dipicu oleh intoleransi seperti serangan terhadap keluarga dari agama yang berbeda, penyegelan tempat ibadah, hingga pengucilan di masyarakat. Kasus-kasus tersebut tersebar di 15 provinsi dengan Jawa Barat di peringkat pertama sebagai provinsi yang paling banyak, kemudian disusul Jawa Timur, kemudian NTB, Lampung, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Aceh, DI Yogyakarta, dan Bali.
Berdasarkan pemantauan Imparsial, pelaku intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan beragam, mulai dari individu atau kelompok di masyarakat (non-state actor) atau pemerintah/pemerintah daerah (state actor). Dari kasus-kasus yang dipantau oleh Imparsial, paling banyak dilakukan oleh warga yang diprovokasi, tetapi tak jarang hal tersebut didukung pula oleh pemerintah setempat. Hal ini bisa dilihat dalam kasus penolakan pembangunan Gereja di Cilegon, Banten, dimana Walikota dan Wakil Walikota turut menandatangani surat pelarangan tersebut.
Imparsial menilai, kasus-kasus intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan yang masih terus berulang setiap tahunnya ini menunjukkan ketidaktegasan negara dalam penegakan hukum. Negara juga sering melakukan pembiaran terhadap intoleransi di masyarakat, dan dalam sejumlah kasus pemerintah terkadang juga menerapkan kebijakan pengistimewaan terhadap satu kelompok dengan dalih sebagai mayoritas. Padahal sebagai negara yang dibangun di atas keberagaman, semangat kebhinekaan mengharuskan Indonesia untuk menjaga dan melaksanakan prinsip-prinsip toleransi. Tanpa ini, Indonesia akan sulit mempertahankan keberagaman yang dimilikinya. Apalagi Indonesia akan memasuki tahun-tahun kontestasi politik elektoral yang puncaknya akan terjadi pada tahun 2024 nanti. Melihat catatan pada kontestasi politik sebelumnya, isu toleransi dan kebhinekaan berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kesadaran segenap elit politik bangsa dan juga masyarakat akan pentingnya sikap saling menghargai dan menghormati setiap perbedaan (toleransi).
Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas (14 November 2022), sebanyak 77,8% responden khawatir akan tergerusnya rasa toleransi di Pemilu 2024 nanti. Menurut hasil jajak pendapat litbang Kompas tersebut, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya; masih belum dewasanya masyarakat dalam berpolitik (24,8%), persaingan antar tokoh/ elit politik yang terjadi secara tidak sehat (22,2%), penggunaan politik identitas (17,3%), dampak gesekan pemilu 2019 yang belum usai (16,6%), dan peran buzzer politik (11,4%).
Dengan kata lain, publik perlu mewaspadai potensi melemahnya nilai toleransi dan kebhinekaan selama proses politik elektoral menuju pemilu 2024. Perilaku intoleran yang kerap terjadi di tahun politik memberikan efek domino yang tidak hanya berdampak pada pelaksanaan pemilu yang dipenuhi kebencian dan permusuhan, melainkan juga melanggengkan permusuhan dan segregasi di masyarakat. Akibat dari segregasi politik pemilu 2019 dapat kita rasakan dampaknya hingga saat ini. masih adanya keterbelahan, permusuhan dan perpecahan di dalam masyarakat, seperti melabelkan istilah tertentu seperti cebong, kadrun ataupun kampret kepada pendukung pasangan politik.
Imparsial juga menilai, peran masyarakat sipil untuk turut serta memperkuat dan mempromosikan nilai-nilai perdamaian menjadi penting dan signifikan. Praktik intoleransi yang terjadi di lingkungan masyarakat, sekolah, lembaga negara, bisa dihindari jika semua pihak bersama-sama membangun sinergi yang konstruktif untuk penguatan dan pengarusutamaan nilai-nilai persatuan. Ada tiga level tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjamin hak atas kemerdekaan beragama atau berkeyakinan, yakni di level konseptual, sosial, dan hukum. Untuk menjawab tantangan dalam berbagai level ini dibutuhkan peran semua pihak dan kalangan, pemerintah dan juga masyarakat.
Mengantisipasi kontestasi pemilu 2024, nilai-nilai toleransi dan kebhinekaan harus dikukuhkan. Segala perilaku atau tindakan yang dapat menggerus toleransi terutama dalam kontestasi politik elektoral harus ditindak secara tegas, serius dan adil. Tanpa sikap tegas dan tindakan yang adil terhadap pelaku intoleran tersebut hal ini dapat membuat perilaku intoleran tersebut berulang dan menjadi modus politik yang negatif di masa depan. Ini merupakan hal krusial mengingat Intoleransi merupakan tangga awal yang bisa berkembang menjadi ekstremisme kekerasan.
Semoga di Hari Toleransi 16 November 2024 ini, masyarakat semakin toleran terhadap semua perbedaan yang ada, dan semoga pemerintah dapat lebih hadir dan juga berani bersikap terhadap praktik intoleransi untuk pemenuhan hak asasi manusia yang lebih baik.
Jakarta, 16 November 2022
Gufron Mabruri
Direktur
Narahubung
Gufron Mabruri : +62 815-7543-4186
Ardi Manto : +62 812 6194 4069
Amelia Suri : +62 823-6783-2141