Imparsial

Catatan Imparsial dalam Rangka Memperingati HUT ke-79 TNI

Siaran Pers IMPARSIAL
No. 018/Siaran-Pers/IMP/X/2024

Catatan Imparsial dalam Rangka Memperingati HUT ke-79 TNI

“Aral Terjal Reformasi TNI”

Tentara Nasional Indonesia akan memasuki usia ke-79 pada 5 Oktober 2024. Berkenaan dengan hal itu Imparsial, the Indonesian Humans Right Monitor mengucapkan selamat dan dirgahayu kepada keluarga besar TNI. Semoga di usia TNI yang ke-79 ini TNI bisa menjadi kebanggaan rakyat Indonesia dengan tetap berada pada koridor harapan dan cita-cita Reformasi 1998 yaitu TNI yang profesional, menjunjung tinggi nilai demokrasi dan menghormati hak asasi manusia.

Kami memandang untuk mecapai harapan dan cita Reformasi 1998 itu diperlukan komitmen serius dalam melanjutkan agenda reformasi TNI yang kini “mandeg” atau bahkan mundur ke belakang. Oleh karena itu, dalam momentum ulang tahun TNI yang ke-79 ini adalah kesia-siaan apabila ulang tahun ini hanya diperingati secara seremonial semata. Akan jauh lebih penting dan bermakna jika Hari Jadi ini digunakan sebagai momentum untuk berbenah diri guna menyelesaikan sejumlah harapan dan cita Reformasi 1998 terhadap TNI.

Memang, sejumlah capaian positif reformasi TNI telah berhasil dilakukan. Namun demikian, sejumlah agenda tersisa TNI seperti reformasi peradilan militer, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pertahanan, serta penyelesaian sejumlah kasus kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap rakyat masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak berhasil dikerjakan pemerintahan rejim Joko Widodo. Alih-alih melakukan hal tersebut, pada kenyataaannya, sepanjang masa pemerintahan Joko Widodo, TNI justru mengalami set back atau mundur ke belakang.

Sejumlah catatan tersebut antara lain adalah; Pertama, lemahnya kontrol sipil terhadap militer menjadi salah satu faktor penyebab tersendatnya proses reformasi TNI. Padahal, kontrol sipil terhadap militer, dalam hal ini TNI, merupakan sebuah syarat penting demokratisasi dan terwujudnya profesionalisme militer. Dalam catatan kami, selama ini kontrol sipil terhadap militer sangat lemah dan bahkan dapat dikatakan cenderung tidak berjalan. Hal ini yang kemudian menjadikan proses reformasi TNI bukan cuma mengalami stagnasi, tetapi mengalami kemunduran di sejumlah aspek. Tidak ada capaian positif terkait reformasi TNI pada sepuluh tahun masa pemerintahan Jokowi. Presiden Jokowi tidak memiliki kemauan dan keberanian politik dalam menjalankan agenda reformasi TNI.

Kementerian Pertahanan (Kemhan) yang memegang kontrol terhadap TNI, sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, sesungguhnya juga menjadi bagian dari permasalahan yang ada. Yang menjadi persoalan, Kemhan yang seharusnya melakukan kontrol efektif terhadap TNI, malah affirmatif dan berupaya memberikan tempat eksisnya TNI ke ruang sipil dan keamanan dalam negeri. Hal ini dapat dilihat dari upaya Kemhan menjalankan Program TNI dalam Food Estate dan pembentukan Komponan Cadangan Pertahanan Negara (Komcad) di tengah kritik dan penolakan keras dari kalangan masyarakat sipil terhadap program-program tersebut.

Demikian juga dengan Parlemen, fungsinya untuk melakukan kontrol dan pengawasan terhadap TNI pun lunglai. Kendati parlemen sebagai lembaga politik memiliki fungsi pengawasan dan kontrol yang dapat dijalankan melalui anggaran dan legislasi, tetapi fungsi tersebut tidak dilakukan secara efektif dan maksimal dalam mendorong agenda reformasi TNI. Bahkan, parlemen menjadi aktor yang ikut melahirkan undang-undang bermasalah, seperti UU tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara, yang digunakan sebagai landasan hukum bagi Kemhan untuk membentuk Komponen Cadangan Pertahanan Negara. Selain itu, alih-alih melanjutkan agenda reformasi, DPR justru mengusulkan sejumlah usulan yang kontra-reformasi dalam usaha revisi UU No. 34 Tahun 2004 yang mendapat banyak kritik karena mengembalikan Dwifungsi TNI. Banyak dugaan penyimpangan pada penyelenggaraan sektor pertahanan yang luput dari pengawasan parlemen.

Kedua, revisi UU TNI yang menabalkan karut-marut tata kelola sektor pertahanan dan mengembalikan Dwifungsi TNI. Kendati revisi UU TNI tidak jadi disahkan pada masa kerja DPR-RI periode 2019-2024 yang lalu, sejumlah usulan pasal dalam naskah revisi UU TNI yang sempat dibahas di DPR RI cukup menjadi gambaran bagaimana rendahnya komitmen otoritas politik terhadap reformasi TNI. Dalam naskah revisi tersebut sejumlah catatan yang bertentangan dengan reformasi TNI dan berpotensi mengembalikan “Dwifungsi” TNI adalah; (1) Peran internal militer semakin diperkuat melalui perluasan Operasi Militer Selain Perang (OMSP); (2) Perluasan peran TNI menjadi aparat penegak hukum; (3) Penghapusan larangan berbisnis bagi TNI; (4) Peran internal militer semakin diperkuat melalui perluasan Operasi Militer Selain Perang (OMSP); (5) Perluasan jabatan TNI yang dapat diisi TNI aktif; (6) Penghapusan kewenangan peradilan umum untuk mengadili prajurit TNI yang melanggar tindak pidana umum; (7) Perpanjangan masa pensiun prajurit TNI.

Ketiga, peran internal militer yang semakin menguat. Menguatnya peran internal militer pada ranah sipil dan keamanan dalam negeri dapat dilihat dalam sejumlah praktik perbantuan kepada institusi sipil yang dijalankan oleh TNI, seperti pelibatan TNI dalam mengatasi kelompok kriminal bersenjata di Papua, program food estate (lumbung pangan), pengamanan stasiun, pengamanan kegiatan aksi unjuk rasa, mengatasi terorisme, penanggulangan pandemi Covid-19, pengamanan pertandingan sepak bola dan lain sebagainya. Salah satu pola yang digunakan untuk melegitimasi peran internal tersebut adalah melalui pembentukan Memorandum of Understanding (MoU) antara TNI dengan beberapa kementerian dan instansi.

Berdasarkan catatan Imparsial, lebih dari 41 MoU antara TNI dan kementerian atau instansi lain telah dibentuk dalam kerangka pelaksanaan tugas perbantuan TNI (operasi militer selain perang). Dapat dikatakan, semua MoU tersebut bertentangan dengan Pasal 7 ayat (3) UU TNI yang menyebutkan operasi militer selain perang hanya bisa dilakukan jika terdapat keputusan politik negara, dalam hal ini keputusan Presiden yang diambil bersama dengan DPR. Selain itu peran internal militer pada ranah sipil juga kentara dilihat dari setidaknya sejumlah 1.367 personel TNI menduduki jabatan sipil di 18 instansi kementerian dan non-kementerian. Di antara jumlah tersebut, sebanyak 111 personel TNI aktif menjabat di 9 instansi yang tidak termasuk dalam 10 instansi yang diperkenankan oleh pasal 47 ayat (2) UU TNI. Dengan kata lain penempatan 111 personel TNI di 10 instansi tersebut adalah illegal dan bertentangan dengan hukum.

Keempat, operasi militer ilegal di Papua yang terus dilaksanakan. Kendati status Papua sebagai daerah operasi militer dicabut pada awal reformasi, operasi militer dan pengiriman pasukan non-organik ke papua tetap dijalankan. Parahnya keseluruhan operasi dan pengiriman pasukan tersebut tanpa dasar hukum yang jelas. Pasal 7 Ayat (3) UU TNI mengamanatkan baik operasi militer untuk perang (OMP) ataupun operasi militer selain perang (OMSP) harus berdasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara. Sedangkan yang dimaksud dengan kebijakan dan keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat (penjelasan pasal 5 UU TNI).

Berdasarkan pemantauan Imparsial, setidaknya hingga Juli 2024 sebanyak 2,887 prajurit TNI telah dikirim ke tanah Papua. Hal ini telah mendorong ajegnya spiral konflik dan kekerasan yang mengakibatkan terus jatuhnya korban jiwa di tanah papua. Berdasarkan catatan kami sepanjang Januari – Juli 2024 terdapat 16 peristiwa kekerasan bersenjata yang menyebabkan korban jiwa yang diantaranya 9 dari TNI-Polri, dan 7 dari warga sipil. Adapun Sebagian kontak senjata terjadi di pemukiman penduduk dan bukan hutan. Terus bertambahnya angka kekerasan semakin memperkeruh suasana di mana upaya penyelesaian konflik secara damai juga tidak berkemajuan dilakukan oleh pemerintah.

Kelima, belum dijalankannya reformasi sistem peradilan militer. Reformasi sistem peradilan militer melalui melalui perubahan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan salah satu mandat reformasi 1998 yang belum dijalankan. Padahal, dapat dikatakan bahwa agenda ini menjadi salah satu jantung dari reformasi TNI. Selama peradilan militer belum direformasi, selama itu pula proses reformasi TNI belum selesai. Selama ini, dengan UU ini, TNI memiliki rezim hukum sendiri dimana anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili oleh jaksa dan hakim dari kalangan militer sendiri. Dalam praktiknya, peradilan militer menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana. Kalaupun ada hukuman terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana, seringkali sanksi yang dijatuhkan tidak maksimal. Contoh penting karut marutnya penegakan hukum akibat belum direvisinya UU Peradilan militer adalah “drama” tarik menarik penanganan kasus dugaan korupsi Kepala Basarnas yang merupakan seorang TNI aktif. Pada satu sisi Kabasarnas melakukan korupsi di ranah sipil tapi pada sisi lain dia merupakan TNI aktif sehingga menimbulka kerancuan terkait aparat penegak hukum mana yang boleh menyidik Kabasarnas.

Reformasi peradilan militer sesungguhnya adalah mandat dari UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 65 Ayat (2) UU TNI menyebutkan bahwa “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”. Selain itu, upaya mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen. Upaya mengubah peradilan militer adalah suatu langkah konstitusional untuk menerapkan prinsip persamaan di hadapan hukum secara konsisten (Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 28 Huruf d Ayat (1) UUD 1945).

Keenam, restrukturisasi Komando Teritorial (Koter). Restrukturisasi Koter adalah salah satu agenda reformasi TNI yang diusung oleh gerakan mahasiswa dan demokratik lainnya pada awal reformasi 1998. Agenda ini disuarakan dalam satu paket dengan agenda penghapusan peran sosial-politik ABRI—sekarang TNI (Dwifungsi). Dalam perjalanannya, meski peran politik ABRI/TNI telah dihapus, namun struktur Koter hingga kini tak kunjung juga direstrukturisasi dan masih dipertahankan. Bahkan, eksistensi Koter semakin mekar sejalan dengan pemekaran atau pembentukan provinsi dan kabupaten-kabupaten baru di Indonesia. Belakangan terhadap hal ini Menhan Prabowo Subianto malah berencana akan membangun Kodam untuk seluruh provinsi. Terbaru pasca pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua pemerintah malah berencana akan membangun 2 kodam baru di Papua. Hal ini semakin memperumit spiral kekerasan di tanah Papua.
Lebih dari itu, restrukturisasi ini sejatinya juga telah diamantkan oleh UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan. Restrukturisasi Koter juga bertujuan agar gelar kekuatan TNI (Postur TNI) dapat mendukung peran TNI sebagai alat pertahanan negara. Sebagai konsekuensi dari restrukturisasi Koter dan mempertimbangkan lingkungan strategis serta dinamika ancaman terkini adalah perlu segera dipikirkan dan dibentuk model Postur TNI yang menekankan pembangunan kesatuan gelar kekuatan trimatra secara terpadu dan lebih terintegrasi.

Ketujuh, transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan Alutsista TNI rendah. Upaya modernisasi alutsista TNI untuk memperkuat pertahanan Indonesia merupakan langkah penting dan harus didukung. Sebagai komponen utama pertahanan negara, TNI perlu dilengkapi oleh alutsista militer yang lebih baik, kuat, dan modern untuk mendukung tugas pokok dan fungsinya dalam menjaga dan melindungi wilayah pertahanan Indonesia. Namun demikian, penting dicatat bahwa langkah tersebut harus dijalankan oleh pemerintah secara akuntabel, transparan, serta dengan mempertimbangkan ketersediaan anggaran dan kebutuhan TNI itu sendiri. Hal ini penting untuk memastikan pengadaan alutsista TNI mendukung upaya penguatan pertahanan negara Indonesia dan tidak memunculkan masalah baru di masa yang akan datang.

Dalam sejumlah pengadaan, misalnya, beberapa alutsista yang dibeli oleh pemerintah Indonesia berada di bawah standar dan kadang kala tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Selain itu, pengadaan melalui pembelian alutsista bekas seperti yang dilakukan Menhan Prabowo Subianto ketika membeli pesawat bekas Mirrage 2000 dari Qatar juga menjadi catatan. Padahal, jelas terdapat kecenderungan bahwa pengadaan alutsista bekas selalu memiliki potensi bermasalah yang lebih besar. Tidak hanya membebani anggaran untuk perawatan, tetapi juga beresiko terjadi kecelakaan yang mengancam keselamatan dan keamanan prajurit. Selain itu, pengadaan Alutsista kerap diwarnai keterlibatan pihak ketiga (broker). Dalam konteks pembelian Dassault Mirage 2000 ex Qatar pemerintah menggunakan broker Excallibur International, sebuah perusahaan asal Ceko. Dalam beberapa kasus, keterlibatan mereka kadang kala berimplikasi terhadap dugaan mark-up dalam pengadaan alutsista. Oleh karena itu, sudah seharusnya pengadaan alutsista di masa depan hendaknya tidak melibatkan pihak ketiga, tetapi langsung dilakukan dalam mekanisme government to government.

Kedelapan, langgengnya Impunitas dan berlanjutnya kekerasan TNI terhadap pembela HAM. Kekerasan TNI terhadap masyarakat dan pembela HAM. Hingga saat ini, kekerasan yang dilakukan anggota TNI terhadap masyarakat dan pembela HAM masih terjadi di berbagai daerah. Berbagai kasus kekerasan itu menunjukkan bahwa reformasi TNI sesungguhnya belum tuntas, khususnya dalam upaya untuk memutus budaya militerististik yang diwarisi dari rezim otoritarian Orde Baru. Motif dari tindakan kekerasan yang dilakukan oknum anggota itu beragam, mulai dari motif persoalan pribadi, bentuk solidaritas terhadap korps yang keliru, sengketa lahan dengan masyarakat, terlibat dalam penggusuran, serta kekerasan terhadap jurnalis dan pembela HAM. Pada 22 Agustus 2024 massa aksi #PeringatanDarurat juga mengalami kekerasan oleh TNI yang terlibat dalam “pengamanan” demonstrasi. Sementara itu jurnalis juga sempat mendapatkan kekerasan dan ancaman serta pemaksaan untuk menghapus dokumentasi kekeresan selama demonstrasi pada 22 Agustus lalu.

Kesemblian, kesejahteraan prajurit TNI masih rendah dan tidak merata. Sebagai alat pertahanan negara, TNI memiliki tugas pokok untuk menjaga wilayah pertahanan Indonesia. Hal ini tentunya bukanlah pekerjaan yang mudah. Untuk melaksanakan tugas pokoknya itu, TNI membutuhkan kelengkapan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang memadai dan kapasitas sumber daya manusia yang terampil dan profesional. Dengan beban tugas yang berat dan suci itu, wajar apabila profesionalisme TNI harus ditunjang dengan peningkatan kesejahteraan prajurit. Selama ini penguatan sumber daya manusia terkait dengan kesejahteraan prajurit TNI masih minim. Terbatasnya rumah dinas anggota TNI adalah satu contoh dari permasalahan kesejahteraan prajurit. Bahkan, dalam beberapa kasus, masalah kesejahteraan anggota TNI telah memaksa mereka mencari sumber pendapatan lain di luar gaji mereka.

Jakarta, 5 Oktober 2024

Gufron Mabruri
Direktur

Narahubung:

  • Gufron Mabruri, Direktur IMPARSIAL
  • Al Araf, Peneliti Senior IMPARSIAL
  • Ardi Manto Adiputra, Wakil Direktur IMPARSIAL
  • Hussein Ahmad, Koordinator Program Reformasi Sektor Keamanan
  • Annisa Yudha, Koordinator Program Hak Asasi Manusia
id_IDBahasa Indonesia