Imparsial

Tembak 3 Anak di Bogor, Polri Harus Evaluasi Total Penggunaan Senjata Api

Civil Society Coalition for Security Sector Reform Press Release

“Tembak 3 Anak di Bogor, Polri Harus Evaluasi Total Penggunaan Senjata Api”

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan memberi perhatian serius atas peristiwa penembakan yang dilakukan pada 16 Oktober lalu oleh seorang anggota Polri dari Resimen 2 Pelopor Kedung Halang, Brimob terhadap 3 orang anak, yakni EI (15), AF (16), dan AA (15) karena dituduh sebagai pelaku begal di Bogor, Jawa Barat. Akibat tembakan tersebut, 3 orang anak menderita luka di bagian pinggang hingga tembus ke perut serta luka sobek di bagian lutut karena jatuh dari motor.

Kabar mengenai penembakan tersebut disampaikan langsung oleh Wakapolresta Bogor, AKBP Ferdy Irawan dan Komandan Resimen 2 Pelopor, Kombes Pol. Yustanto Mujiarto dalam keterangan persnya pada 16 Oktober 2022 di Mapolresta Bogor. Dalam kesempatan tersebut disampaikan pula bahwa penembakan yang dilakukan merupakan tindakan tegas dan terukur yang telah sesuai prosedur.

Koalisi menilai, peristiwa ini harus terlebih dahulu diperiksa secara mendalam dalam suatu proses pemeriksaan yang transparan dan akuntabel sehingga bisa diukur dan dibuktikan apakah tindakan tersebut sudah memenuhi Prinsip legalitas, nesesitas, proporsional, dan akuntabilitas sebagaimana Prinsip-Prinsip Dasar PBB Tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum (BPUFF) dan Kode Etik Aparat Penegak Hukum (CCLEO). Terlebih, penembakan dilakukan terhadap kelompok rentan, yakni 3 orang anak.

Terhadap peristiwa di atas, koalisi memberikan catatan sebagai berikut:

Pertama, setiap penggunaan senjata api yang dilakukan, wajib berpegangan pada prinsip-prinsip umum yang diakui secara internasional sebagaimana Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum yang dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement dan UN Basic Principle on the Use of Force and Fireams by Law Enforcement Officials mengenai penggunaan kekerasan dan penggunaan senjata api. Dalam ketentuan tersebut, penggunaan senjata api diletakan sebagai alternatif terakhir dengan tujuan melindungi nyawa manusia (the “protect-life”-principle) yang dalam pelaksanaannya harus dapat diuji berdasarkan empat prinsip, yakni legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.

Di Indonesia, terdapat pula beberapa ketentuan yang telah mengadopsi prinsip-prinsip penggunaan senjata api yang diakui secara internasional. Khususnya ketentuan internal Polri seperti Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.

Merujuk pada ketentuan-ketentuan di atas, koalisi menyangsikan pernyataan pejabat terkait yang menyebut bahwa penembakan dilakukan dengan sesuai prosedur (pernyataan sepihak). Konferensi pers yang dilakukan hanya berselang beberapa jam setelah kejadian tanpa didahului pemeriksaan yang komprehensif, transparan, dan akuntabel tentu belum cukup untuk menguji apakah tindakan tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip maupun prosedur tetap penggunaan senjata api. Hal tersebut juga penting untuk memastikan bahwa negara tidak mengabaikan kewajibannya untuk melindungi hak setiap orang yang diduga melakukan kejahatan agar dapat membela diri dalam suatu proses peradilan pidana yang jujur dan adil (the right to a fair trial)

Kedua, kasus ini memperlihatkan dengan gamblang persoalan serius dalam penggunaan kekuatan oleh kepolisian, setelah sebelumnya disorot melalui kasus pembunuhan Brigadir Josua hingga penggunaan eksesif senjata gas air mata dalam Tragedi Kanjuruhan. Berulangnya kasus-kasus ini tak lain merupakan akibat tumpulnya mekanisme kontrol dan absennya akuntabilitas polisi dan pemolisian. Hal ini hanya merupakan sekelumit persoalan yang dilahirkan dari berbagai masalah dalam tubuh Polri yang belum selesai. Mulai dari penataan kelembagaan, hingga mekanisme kontrol dan akuntabilitas yang tidak memadai.

Ketiga, alih-alih menunjukkan ketegasan, kasus ini justru menunjukkan inkompetensi sekaligus watak kuno petugas kepolisian yang hanya mengedepankan tindakan represif ketimbang preventif dalam melaksanakan tugas-tugas pemolisian. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat zaman yang mengharuskan polisi menjadi polisi sipil (a civilian in uniform) dengan pendekatan pemolisian demokratis yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia.

Oleh karena hal-hal tersebut di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar:

  1. Kapolri memerintahkan jajarannya untuk melakukan pemeriksaan secara profesional, transparan, dan akuntabel dalam kasus ini dengan memperhatikan asas kepentingan terbaik bagi anak;
  2. Lembaga negara independen (Komnas HAM, KPAI, dll) secara aktif melakukan pemeriksaan dalam kasus ini sesuai cakupan wewenangnya;
  3. Kapolri segera melakukan evaluasi total penggunaan kekuatan dalam tugas-tugas pemolisian;
  4. Presiden membentuk tim independen dengan keterwakilan masyarakat sipil yang memadai untuk melakukan kajian evaluatif tentang penggunaan kekuatan kepolisian dan eksesnya terhadap keamanan warga negara;
  5. Presiden dan DPR segera menindaklanjuti persoalan-persoalan yang menyangkut Polri belakangan ini dengan agenda konkret reformasi kepolisian berkelanjutan secara struktural, instrumental, dan kultural demi memastikan kerja-kerja kepolisian profesional, transparan, dan akuntabel.

Jakarta, 17 Oktober 2022
Sincerely,
Civil Society Coalition for Security Sector Reform

Contact person:

  1. Hussein Ahmad – 081259668926
  2. Teo Reffelsen – 085273111161
en_GBEnglish (UK)