HUKUMAN MATI DAN ASAS KEADILAN RESTORATIF DALAM TINJAUAN FILSAFAT HUKUM ISLAM

Zulfan Taufik
UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

A. Pengantar

Perdebatan tentang pengenaan hukuman mati mungkin sama tuanya dengan hukuman tertinggi itu sendiri. Keadaan penerapan dan administrasinya, serta kebijaksanaan penggunaannya secara keseluruhan, telah menyibukkan para ahli hukum, sarjana, filsuf, dan teolog selama berabad-abad. Di negara-negara Islam konservatif yang berjuang untuk mempertahankan hukuman mati, argumen agama digunakan untuk memaksa perdebatan menjadi salah satu norma budaya atau agama, di mana tampak bahwa satu set nilai moral sedang dipaksakan pada yang lain dalam bentuk imperialisme filosofis atau budaya.

Sebagai negara dengan mayoritas umat Islam yang paling besar di dunia, Indonesia sampai saat ini masih menjadi salah satu negara yang mengakui hukuman mati sebagai hukuman yang mampu menimbulkan efek jera. Hukuman mati tersebut berlaku untuk kejahatan dan/atau tindak pidana tertentu yang mengganggu sekaligus mengancam ketertiban umum, kehidupan manusia, dan stabilitas negara. Dalam konteks keagamaan, khususnya Islam, dukungan terhadap pelaksanaan hukuman mati masih cukup kuat. Hal tersebut dikarenakan ajaran Islam mengenal dan mengakomodir hukuman mati seperti qisas dan rajam. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 10/MUNAS VII/MUI/ 14/2005 tentang Hukuman Mati dalam Tindak Pidana Tertentu, yang dirumuskan pada 19-22 Jumadil Akhir 1426/26-29 Juli 2005, mengatur bahwasanya: (1) Islam mengakui eksistensi hukuman mati dan memberlakukannya dalam jarīmah (tindak pidana) hudūd, qisas, dan ta’zīr; (2) Negara boleh melaksanakan hukuman mati kepada pelaku kejahatan pidana tertentu.

Namun demikian, perdebatan tentang hukuman mati ini telah bertransformasi pada paruh terakhir abad kedua puluh, dengan suntikan hukum internasional hak asasi manusia (HAM). Hukuman mati dinilai melanggar hak yang paling dasar manusia dan kemanusiaan itu sendiri, yaitu hak untuk hidup dan memperbaiki kehidupannya. Selain itu, menguatnya konsep/pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) sejak tahun 1960-an dalam proses penyelesaian kasus pidana, membuat pelaksanaan hukuman mati perlu dikritisi dan ditinjau kembali, termasuk dalam konteks hukum Islam. Berasal dari tradisi yang berbeda, keadilan restoratif dan filsafat hukum Islam menekankan kemaslahatan, kehormatan individu, dan mendukung peluang untuk rehabilitasi dan pemulihan bagi semua pihak yang terpapar dampak kejahatan.

Tulisan ini lebih jauh akan mengulas tentang konsep dasar filsafat hukum Islam dan maqāsid al-sharī‘ah, khususnya penekanan pada maslahat sebagai tujuan utama dari hukum Islam; keadilan restoratif dalam tinjauan filsafat hukum Islam, serta analisis hukuman mati dalam filsafat hukum Islam.

B. Filsafat Hukum Islam dan Maqāsid al-Sharī‘ah

Filsafat hukum Islam merupakan cabang dari rumpun ilmu filsafat yang fokus pada pembahasan esensi hukum Islam. Hukum Islam merupakan objek materialnya, sedangkan filsafat merupakan objek formal atau alat analisisnya. Sebagai sebuah refleksi filosofis, filsafat hukum Islam menjangkau ke yang paling ultim, serta mendiskusikan persoalan-persoalan fundamental secara ketat, konsepsional, metodis, koheren, sistematis, radikal, universal dan komprehensif, rasional serta bertanggung jawab tentang hukum Islam. Mendalami hukum Islam mulai dari akarnya akan membuat kita lebih siap memahami secara objektif dan argumentatif atas segala persoalan, sangkalan, dan kritikan.

Filsafat hukum Islam merupakan pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan hukum Islam, baik yang menyangkut materinya, maupun proses penetapannya. Pada konteks demikian, filsafat dipakai untuk menumbuhkan, mengokohkan, dan merawat hukum Islam sehingga sejalan dengan maksud dan tujuan Sang Pencipta, yakni keadilan seluruh umat manusia. Dengan filsafat, hukum Islam akan mampu beradaptasi dengan dinamika zaman (sālih likulli zamān wa makān). Artinya, tidak ada hukum Islam yang tidak memiliki nalar, hikmah, dan falsafah yang melekat padanya. Rasionalitas dan kebijaksanaan adalah ruh hukum Islam. Mereka adalah dasar hukum Islam dan tanpa mereka hukum Islam tidak akan memiliki arti apapun.

Karenanya, arti penting studi filsafat hukum Islam adalah agar hukum Islam dapat selalu relevan sebagai korpus hukum kemanusiaan serta landasan bagi sistem politik hukum. Artinya bahwa agar penerapan hukum Islam dapat mencapai tujuan utamanya, yakni mendekatkan pada kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan. Menurut Juhaya S. Praja, filsafat hukum Islam membawa dua tugas prinsipil: tugas kritis dan tugas konstruktif. Pada aspek kritis, filsafat hukum Islam bertugas untuk mempertanyakan kembali paradigma-paradigma yang ‘dianggap’ mapan dan final di dalam hukum Islam. Sementara pada aspek konstruktif, filsafat hukum Islam bertugas untuk mempersatukan cabang-cabang hukum Islam menjadi kesatuan sistem hukum yang tidak terpisahkan dan saling berintegrasi. Sehingga, di antara pertanyaan-pertanyaan yang harus selalu diajukan oleh filsafat hukum Islam adalah segala hal berkaitan dengan dimensi hakikat hukum Islam itu sendiri: hakikat keadilan, hakikat pembuat hukum, tujuan hukum, dan mengapa orang harus taat kepada hukum Islam.

Berdasarkan hal tersebut, dapat kita katakan bahwa ada dua hal yang dituntut oleh dari para pakar filsafat hukum Islam ketika merumuskan hukum Islam. Pertama, kepentingan dan kebutuhanb manusia/masyarakat atas keselamatan, kesejahteraan, perdamaian, perlakuan adil, dan kesetaraan di mata hukum. Kedua, berbagai tekanan baik langsung maupun tidak langsung yang disebabkan oleh perubahan tolok ukur atau nilai-nilai kepentingan masyarakat yang menuntut berbagai penyesuaian atau perubahan hukum.

Salah satu konsep vital dan fundamental yang menjadi bahasan inti di filsafat hukum Islam adalah konsep maqāsid al-sharī‘ah. Konsep ini merupakan penegasan tujuan utama hukum Islam, yaitu dalam rangka kemaslahatan seluruh umat manusia. Para ulama telah mengakui konsep maqāsid al-sharī‘ah, sehingga lahirlah suatu kaidah yang cukup populer, “Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah.” Menurut Masdar F. Mas’udi, teori maslahat serupa dengan teori keadilan sosial dalam istilah filsafat hukum. Inti dari konsep maqāsid al-sharī‘ah adalah melahirkan kebaikan yang serta-merta menghindarkan keburukan; menarik manfaat yang serta-merta menolak kemudaratan. Maqāsid al-sharī‘ah merupakan maslahat sebab penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat.

“Sejak awal, syariat Islam sebenarnya tidak memiliki basis (tujuan) lain kecuali ‘kemaslahatan manusia’. Ungkapan standar bahwa syariat Islam dicanangkan demi kebahagiaan manusia lahir-batin, duniawi-ukhrawi, sepenuhnya mencerminkan prinsip kemaslahatan tadi. tetapi, keterikatan yang berlebihan terhadap teks (nas), seperti dipromosikan paham ortodoksi, telah membuat prinsip kemaslahatan hanya sebagai jargon kosong, dan syariat–yang pada mulanya adalah jalan–telah menjadi tujuan bagi dirinya sendiri.”

Seorang muslim yang menegakkan maqāsid, berarti ia telah menciptakan keselamatan dan kenyamanan baik pada ruang-ruang individu maupun pada ruang-ruang masyarakat—yang kita sebut sebagai kondisi yang maslahat. Maslahat berarti bermanfaat bagi banyak orang. Artinya, merawat maslahat sama halnya dengan merawat kepentingan publik/umum dari tindakan seseorang atau sekelompok oknum yang berpotensi mengganggu kemasalahatan individu atau kelompok.

Bagi Jasser Auda, maqāsid al-sharī‘ah merupakan pemahaman makna dan tujuan di balik penetapan suatu hukum. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa antara maqāsid dan maslahah adalah dua hal yang sama. Hal ini didukung dengan interpretasi atas pemikiran sejumlah teoritisi hukum Islam, bahwa maqāsid al-sharī‘ah adalah pernyataan alternatif bagi masālih (kemaslahatan-kemaslahatan). Misalnya dalam pemikiran al-Juwainī (w. 478 H/1185 M), seorang teoritisi awal tentang maqāsid al-sharī‘ah, terkadang maqāsid al-sharī‘ah disebut dengan istilah maslahah ‘āmmah (kemaslahatan umum). Sementara al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) memandang maqāsid al-sharī‘ah adalah al-masālih al-mursalah dengan tiga tingkatannya, yaitu: primer (necessities/darūrīyyāt), sekunder (needs/hājīyyāt), dan tersier (luxuries/tahsīnīyyāt). Begitupun dengan pendapat ulama lain seperti al-Tūfī (w. 716 H/1316 M) dan al-Qarāfī (w. 1285 H/1868 M) yang walau berbeda redaksinya tapi maksud dan tujuannya sama.

Konsep tentang maqāsid al-sharī‘ah secara terstruktur dan terperinci dibahas oleh al-Shātibī (w. 790 H/1388 M). Dalam kitabnya yang populer, al-Muwāfaqāt, ia berpandangan bahwa pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (masālih al-‘ibād), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan dalam arti ini adalah menuju maqāsid al-sharī‘ah. Maka, penetapan syariat baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafsīlan), didasarkan kepada suatu ‘illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba.

Sebagai realisasi dalam perwujudan kemaslahatan tersebut, al-Shātibī juga mengklasifikasi maqāsid ke dalam tiga tingkatan yang sama seperti al-Juwainī dan al-Ghazali, yakni: 1) darūrīyyāt (maslahat primer bagi kehidupan manusia), 2) hājīyyāt (maslahat sekunder yang keberadaannya diperlukan untuk mendukung terwujudnya kemaslahatan primer), dan 3) tahsīnīyyāt (masalah tersier sebagai pelengkap atau penyempurna). Lebih lanjut, konsep kemaslahatan al-Shātibī juga dikaitkan dengan pemeliharaan lima hal pokok, yakni: menjaga agama (hifz al-dīn), menjaga jiwa (hifz al-nafs), menjaga akal (hifz al-‘aql), menjaga keturunan (hifz al-nasl), dan menjaga harta (hifz al-mal). Sebagian ulama menambah hifz al-‘ird (menjaga kehormatan) dalam tujuan pokok/keniscayaan maqāsid. Melestarikan tujuan pokok tersebut merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditinggalkan, demi keberlangsungan dan perkembangan hidup manusia.

Dalam konteks kontemporer, Jasser Auda berpendapat bahwa konsep maqāsid dapat digunakan sebagai mekanisme dinamis untuk memecahkan berbagai masalah umat Islam yang problematik saat ini. Ia berpendapat bahwa tujuan hukum Islam yang lebih tinggi ini memberi tahu kita bagaimana memilih cara terbaik untuk menafsirkan teks-teks Islam dengan mengingat realitas zaman modern. Auda juga sangat menganjurkan bahwa hubungan yang melekat antara teks-teks ilahi dan realitas sosial dapat dilakukan melalui media filsafat hukum Islam. Lebih lanjut ia mencatat bahwa istilah-istilah seperti pembangunan (development), kemerdekaan (liberty), kebebasan (freedom), hak asasi manusia (human rights), moralitas (morality), dan keadaban (civility) harus dijelaskan sesuai dengan tujuan hukum yang lebih tinggi.

Pengembangan konsep maqāsid juga dilakukan oleh al-Qaradāwī dengan memasukkan dukungan kesejahteraan sosial (al-takāful), kebebasan (freedom), martabat manusia (human dignity), dan persaudaraan manusia (human fraternity), di antara tujuan yang lebih tinggi dari Syariah. Jamaluddin ‘Athiyah lebih memperluas lagi jangkauan dan mengidentifikasi dua puluh empat maqāsid yang kemudian ia klasifikasikan ke dalam empat judul: maqāsid tentang individu, keluarga, ummah, dan kemanusiaan secara berturut-turut. Adapun M. Hashim Kamali mengusulkan untuk menambahkan perlindungan hak-hak dasar dan kebebasan, pembangunan ekonomi, dan R&D pada bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta koeksistensi damai antarbangsa ke dalam struktur maqāsid, karena itu sangat penting dan terdapat pendasarannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tampak dari analisis ini bahwa maqāsid tetap terbuka untuk peningkatan lebih lanjut, yang sampai batas tertentu bergantung pada prioritas setiap zaman.

Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, terdapat dua hal vital dalam ruang lingkup kajian filsafat hukum Islam. Pertama, filsafat hukum Islam mengkaji kebijaksanaan dan rasionalitas teks-teks ketuhanan. Sedangkan kedua, filsafat hukum Islam mengkaji keterkaitan antara teks-teks ketuhanan dan realitas sosial, yakni untuk mengkaji sejauh mana perubahan sosial atau realitas sosial tersebut sesuai dengan ajaran Islam.

C. Asas Keadilan Restoratif dalam Filsafat Hukum Islam

Keadilan restoratif (restorative justice) seringkali dilihat sebagai filosofi, proses, ide, teori, sekaligus intervensi. Keadilan restoratif merupakan pengadilan yang sangat menekankan aspek perbaikan kerugian yang dikarenakan atau berkaitan dengan tindak pidana. Proses keadilan restoratif diupayakan melalui kerja sama yang melibatkan semua pihak (stakeholder). Tidak sama dengan pendekatan dalam sistem peradilan pidana konvensional, keadilan restoratif lebih menekankan pendekatan partisipatif langsung dari pelaku, korban, dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Hal ini sesuai dengan definisi Liebmann, bahwasanya keadilan restoratif merupakan sebuah sistem hukum dengan tujuan mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku, dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, serta bertujuan jangka panjang dalam mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan yang lebih lanjut.

Secara historis, keadilan restoratif merupakan model pendekatan yang baru muncul pada tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian kasus pidana. Model ini sering dikatakan sebagai alternatif atau cara lain dari peradilan pidana dengan mengutamakan pendekatan integrasi pelaku di satu sisi dan korban/masyarakat di sisi lain, sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat. Nilai tambah dari keadilan restoratif adalah bahwa kejahatan dipandang sebagai bagian dari tindakan sosial atau pelanggaran terhadap individu, bukan hanya sebagai tindak pidana terhadap negara. Keadilan restoratif menempatkan nilai yang lebih tinggi pada keterlibatan pemangku kepentingan. Keadilan restoratif juga menekankan perlunya mengenali dampak ketidakadilan sosial dengan cara yang sederhana, daripada memberikan keadilan formal kepada pelaku sementara korban tidak menerima keadilan apa pun. Dengan demikian, keadilan restoratif secara aktif melibatkan korban dan keluarganya dalam penyelesaian kasus pidana.

Islam membawa kompensasi dan konsiliasi dengan menyeimbangkan antara Yudaisme dan Kristen. Dalam Taurat, satu-satunya hukuman bagi si pembunuh adalah dibunuh: nyawa ganti nyawa dan mata ganti mata. Untuk Perjanjian Baru, satu-satunya pilihan bagi korban adalah pengampunan. Islam menyeimbangkan kedua pendekatan tersebut. Ia mendesak para korban untuk menerima pilihan ketiga yang berdiri di tengah jalan antara pembalasan sistematis dan pengampunan. Poin kunci dari mekanisme ini adalah bahwa hukuman dalam Islam bukanlah tujuan akhir. Jika pelanggar dapat direhabilitasi dengan tindakan lain daripada hukuman, maka tujuan akan tercapai dan hukuman harus dihindari. Namun korban harus selalu memiliki kemungkinan untuk memulihkan hak-hak mereka.

Dalam konteks hak dalam pidana Islam, dikenal adanya hak Allah (huqūq Allāh) dan hak manusia (huqūq al-‘abd). Meski demikian, Abdul Qadir Awdah menjelaskan bahwa terkadang dalam satu tindak pidana, bisa terdapat hak Allah dan hak manusia sekaligus. Misalnya qazaf, dimana perbuatan tersebut menyangkut hak-hak individu, namun hak Allah lebih dominan di dalamnya. Sebaliknya, dalam kasus pembunuhan yang menyangkut hak Allah, ternyata hak individu lebih besar dan dominan. Dasar pembedaan hak tersebut terkait dengan kesejahteraan masyarakat dan struktur moralnya, serta kepentingan individu dalam masyarakat.

Klasifikasi hak Tuhan, hak manusia, dan campuran keduanya menentukan model penegakan keadilan restoratif yang berbeda. Secara umum, aturan hukum dalam hak Tuhan dan menghasilkan penegakan model keadilan restoratif yang berpusat pada pelaku melalui pertobatan dan penebusan (kaffārāt). Lebih jauh, aturan hukum yang berpusat kepada hak manusia dan campuran kedua hak tersebut, akan melahirkan bentuk keadilan restoratif yang berfokus kepada korban melalui kompensasi (diyat) dan pengampunan. Kedua model keadilan restoratif tersebut menyeimbangkan perlindungan, akses, dan kewajiban dalam penegakan keadilan hukum dan keadilan sosial.

Penggolongan hak Tuhan dan hak asasi manusia dalam menetapkan dan menegakkan aturan hukum membantu menjaga keseimbangan akses, kewajiban, dan perlindungan hukum antara korban dan pelaku. Korban dan pelaku masing-masing berhak menuntut keadilan dan perlindungan hukum dari kesewenang-wenangan. Hak Tuhan berfungsi untuk memberikan perlindungan publik, sedangkan hak asasi manusia berfungsi untuk memperoleh perlindungan pribadi. Keterpaduan keduanya mencirikan sistem keadilan restoratif Islam, di mana korban, pelaku, dan masyarakat memperoleh keadilan yang sama dalam hukum dan kesetaraan sosial.

Keadilan restoratif dalam Islam, juga mempunyai dasar teologis dan filosofis yang menitikberatkan pada proses pemulihan harkat-martabat setiap pihak yang terlibat, proses transformasi dari konflik menuju perdamaian, proses menuju pemaafan, proses memutus rantai saling tuntut dan menyalahkan. Klarifikasi yang diidealkan bukan melalui meja pengadilan melainkan melalui meja perundingan dan perdamaian. Keadilan restoratif adalah pilihan yang ditempuh di bawah kesadaran penuh oleh korban dan pelaku untuk sama-sama mencapai cara-cara terbaik sesuai dengan keyakinannya terhadap kejahatan yang terjadi. Dalam hal ini, keadilan restoratif merupakan pilihan yang menjadi hak preogratif korban beserta ahli warisnya.

Dalam konteks tersebut, korban dapat memulihkan haknya dengan berbagai cara. Mereka bisa menuntut penuntutan pelaku dan mempertahankan hukuman asli. Pelanggar selanjutnya menghadapi pembalasan. Dengan ini, para korban dapat menyebabkan kerugian yang sama kepada yang menjadi korbannya. Ini disebut kasas atau ‘pembalasan sistematis’. Namun, para korban ditawarkan tiga opsi tambahan: kompensasi, konsiliasi, atau pengampunan. Kompensasi lebih disukai daripada penalti. Konsiliasi ditempatkan di atas kompensasi. Pengampunan berdiri di atas. Hukum Islam menganut hampir semua bentuk mekanisme restoratif yang dikenal saat ini. Para sarjana mengetahui praktik kompensasi (diyat), konsiliasi (shulh), pemaafan (‘afw), pengabdian masyarakat, peringatan, denda, masa percobaan, dan reintegrasi. Mereka menambahkan mekanisme unik yang dapat dianggap sebagai sarana pemulihan, seperti pertobatan, memanfaatkan keuntungan dari keraguan, menjaga privasi pelaku, syafaat, jaminan, dan penebusan.

Dengan demikian, definisi Islam sebagai agama damai dan kasih sayang, tidak kontradiktif dengan beratnya hukuman hudud. Melainkan senafas dengan keadilan restoratif yang telah mengakar kuat dalam kerangka hukum Islam, serta telah dipraktekkan sejak awal masa Nabi Muhammad Saw pada abad ketujuh. Dua kategori kejahatan lainnya dalam hukum Islam, yakni qisas dan ta’zīr, merupakan contoh keadilan restoratif. Dalam memutuskan hukuman atas kejahatan qisas, peran korban sangat vital. Pengadilan dapat memutuskan hukuman yang sesuai untuk kejahatan, namun terlebih dahulu haruslah memperoleh persetujuan dari korban atau keluarga korban.

D. Hukuman Mati dalam Filsafat Hukum Islam

Dalam konsepsi Islam, hukuman (‘uqūbah) diyakini sebagai syariat Allah Swt. yang berimplikasikan hikmah dan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, baik di dunia sekarang ataupun di akhirat kelak. Dalam sistem pidana Islam, penghukuman erat kaitannya dengan perbuatan pidana, yang dikenal dengan istilah jarīmah. Jarīmah yang diberikan hukuman diklasifikasikan ke dalam tiga macam, yaitu, jarīmah hudūd, jarīmah qisas dan diyat, serta jarīmah ta’zīr. Ketiga pola tindak pidana tersebut memiliki bentuk dan sifat hukuman yang berbeda-beda. Jarīmah hudūd contohnya, telah ditentukan bentuk hukumannya dan penentuan hukuman itu merupakan hak Allah. Hukuman had tidak mempunyai batas tertinggi atau terendah. Adapun qisas dan diyat merupakan bentuk hukuman meskipun tidak mempunyai batas tertinggi atau terendah, namun hukuman itu merupakan hak manusia, artinya manusia dapat merubah bentuk hukumannya dari qisas kepada diyat bila ada maaf. Sedangkan ta’zīr marupakan hukuman atas kejahatan yang tidak mempunyai dasar hukum dalam nash syari’ah, sehingga bentuk hukumannya diserahkan kepada penguasa.

Hukuman mati sendiri merupakan salah satu alternatif hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana hudūd. Namun demikian, hukuman mati hanya diberikan kepada empat pelaku hudūd, yakni pezina muhsan, pembunuhan sengaja, hirābah, dan murtad. Dalam konteks keadilan restoratif dalam Islam, isu hukuman mati terutama memperoleh relevansinya pada kasus qisas-diyat sebagai konsekuensi dari pembunuhan sengaja. Pada konteks tersebut, terdapat beberapa ayat yang mengkonfirmasi hukuman mati, yakni surat al-Baqarah ayat 178, Al-Maidah ayat 45, dan Al-Isra’ ayat 33.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِصَاصُ فِي ٱلۡقَتۡلَىۖ ٱلۡحُرُّ بِٱلۡحُرِّ وَٱلۡعَبۡدُ بِٱلۡعَبۡدِ وَٱلۡأُنثَىٰ بِٱلۡأُنثَىٰۚ فَمَنۡ عُفِيَ لَهُۥ مِنۡ أَخِيهِ شَيۡءٞ فَٱتِّبَاعُۢ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيۡهِ بِإِحۡسَٰنٖۗ ذَٰلِكَ تَخۡفِيفٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَرَحۡمَةٞۗ فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٞ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih” (Q.s. al-Baqarah: 178).

وَكَتَبۡنَا عَلَيۡهِمۡ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفۡسَ بِٱلنَّفۡسِ وَٱلۡعَيۡنَ بِٱلۡعَيۡنِ وَٱلۡأَنفَ بِٱلۡأَنفِ وَٱلۡأُذُنَ بِٱلۡأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلۡجُرُوحَ قِصَاصٞۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٞ لَّهُۥۚ وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim” (Q.S. Al-Maidah ayat 45).

وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ وَمَن قُتِلَ مَظۡلُومٗا فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلۡطَٰنٗا فَلَا يُسۡرِف فِّي ٱلۡقَتۡلِۖ إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورٗا

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan” (Q.S. Al-Isra’: 33).

Beberapa ayat di atas jelas mengkonfirmasi hukuman mati, meskipun ayat-ayat tersebut selalu pula diikuti dengan semangat restoratif: kompensasi, pemaafan, konsiliasi, dan lain-lain. Oleh karenanya, ketika mendalami esksistensi hukuman mati, kita perlu juga mengkaji dasar filosofis penetapannya. Sebab, bila kita tidak memahami landasan filosofis penetapannya, maka akan ada potensi kesalahpahaman dalam memandang substansi hukum yang berdampak kepada ketidaktepatan dalam mengaplikasikannya. Sebagaimana disepakati oleh para ulama, bahwa lalam hukum Islam, tujuan penjatuhan hukuman (‘uqūbah) bukanlah hanya sebatas pembalasan (retribution), melainkan juga memiliki tujuan mulia lainnya seperti pencegahan (deterrence) dan perbaikan (reformation), serta juga bertujuan memberi pelajaran (al-tahdhīb) bagi masyarakat. Tujuan demikian menjadi satu kesatuan holistik demi mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menjaganya dari hal-hal yang merusak, sebagaimana yang menjadi tujuan pensyariatan dalam Islam (maqāsid al-sharī‘ah). Dari sini kita dapat memahami bahwa keistimewaan hukum Islam idealnya tercermin dari prinsip, teori, dan kaidah perundang-undangan yang terdapat pada syariat Islam, yang sejatinya mengandung kebenaran yang universal.

Jika dilihat sepintas, konsep qisas acapkali dinilai sebagai hukum rimba sebab lebih mengutamakan pembebanan fisik. Pandangan demikian tersebut sesungguhnya dapat menyesatkan, karena hanya melihat aspek simbolisnya tanpa memperhatikan tujuan dasarnya. Padahal dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 179, dijelaskan bahwa di dalam qisas itu sendiri terkandung jaminan kelangsungan hidup (bagi orang-orang yang berakal agar mereka bertakwa). Ayat ini menegaskan bahwa tujuan diberlakukannya qisas adalah untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Secara tekstual, bisa jadi terlihat paradoks antara simbol hukum qisas dengan tujuan dasarnya tersebut. Hal tersebut karena dasar filosofis diputuskannya qisas bukan berasaskan retributif (balas dendam) sebab akan menyalahi tujuan dasarnya.

Hal inilah yang mendasari realitas mengapa di setiap kasus pembunuhan yang dilaporkan kepada Nabi tidak langsung dikenai hukuman qisas. Sebaliknya, hal pertama yang disarankan Nabi adalah meminta wali korban untuk memaafkanya. Dalam sejarah Islam, kisah penghukuman tidak hanya dipenuhi dengan pertumpahan darah, seperti qisas dan rajam, melainkan juga terdapat banyak kisah tentang sikap toleran yang menjunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaan. Rasulullah Saw. dalam banyak hadisnya memperingatkan agar kita tidak ceroboh dalam melakukan penetapan hukuman. Dalam sejarahnya, Rasulullah Saw. juga pernah menunda sanksi rajam terhadap seorang perempuan yang mengaku berzina dan hamil karena perbuatannya itu. Hal menarik yang patut ditiru bukanlah pada aspek hukuman rajamnya, melainkan pada metode dakwah Rasulullah Saw. dalam membangun kesadaran beragama umatnya. Semasa hidup Rasulullah Saw., terjadi tiga kasus rajam yang melibatkan satu laki-laki dan dua perempuan. Ketiganya datang sendiri kepada Nabi guna meminta hukuman atas perbuatannya. Yang pertama dilakukan Nabi bukan menghukum, melainkan membangun kesalihan individual dan sosial yang akan menumbuhkan kembali rasa aman, nyaman, dan saling percaya.

Filosofi pemberlakuan qisas dan hukuman mati di atas bersifat reformatif, yakni bertujuan memperbaiki perilaku pelaku kejahatan dan perilaku masyarakat pada umumnya. Posisi hukuman mati dan tersebut adalah hukuman maksimal. Artinya, qisas tetap dapat dijatuhkan kepada pelaku sebagai alternatif terakhir. Sisi reformatif pemberlakuan qisas juga tergambar dalam asas pencegahan (deterrence), yaitu mencegah masyarakat dalam melakukan tindakan yang serupa. Tindakan pencegahan ini bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat, sehingga tidak terjebak dalam tradisi balas dendam sebagaimana pada masa jahiliyah.

Bertitik tolak pada penjelasan di atas, filosofi penetapan qisas bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dalam Islam menganut asas keadilan restoratif. Prinsip tersebut memberikan porsi yang luas kepada para pihak dalam hal keterlibatannya untuk menyelesaikan pidana. Para pihak yang dimaksud adalah pelaku pidana, korban tindak pidana dan keluarganya, masyarakat serta negara yang diwakili oleh aparat penegak hukum. Terlepas dari keterbatasannya, qisas merupakan ketentuan yang ditetapkan dalam syariat Islam. Keberadaannya tidak dapat dipertanyakan sebagai masalah prinsip yang terdapat dalam al-Qur’an. Itu adalah hak pribadi. Korban atau keluarga mereka dapat memutuskan administrasinya. Hadis diriwayatkan oleh al-Tirmizi: “Barang siapa yang dengan sengaja membunuh, maka si pembunuh diserahkan kepada wali korban. Jika wali ingin melakukan pembalasan setimpal (qisas), mereka dapat membunuhnya. Jika mereka tidak ingin membunuhnya, mereka dapat mengambil diyat, dan apabila mereka berdamai, itu terserah kepada wali”.

Korban (atau keluarga korban) bisa menuntut penuntutan pelaku dan mempertahankan hukuman asli. Pelanggar selanjutnya menghadapi pembalasan. Dengan ini, para korban dapat menyebabkan kerugian yang sama kepada yang menjadi korbannya. Ini disebut kasas atau ‘pembalasan sistematis’. Namun, para korban ditawarkan tiga opsi tambahan: kompensasi, konsiliasi, atau pengampunan. Kompensasi lebih disukai daripada hukuman. Konsiliasi ditempatkan di atas kompensasi. Pengampunan berdiri di atasnya. Persyaratan-persyaratan di dalam hukum pidana Islam, seperti qisas-diyat, secara kritis-filosofis lebih menjanjikan kebermanfaatan dan kepastian keadilan sebagaimana tujuan utama yang ada di dalam hukum pidana.

Fikih mengembangkan teknik untuk menggantikan qisas: Pertama, bahwa qisas dijadikan pilihan yang paling tidak diinginkan. Pemaafan (‘afw) dan konsiliasi (sulh) selalu didahulukan atasnya. Agama sebagai kekuatan pendorong spiritual memainkan peran penting di sini karena Qur’an sangat mendesak para korban untuk memaafkan atau berdamai. Kedua, untuk memaksakan qisas tidak diragukan lagi harus ada niat serangan yang disengaja. Ketiga, dalam kasus kematian korban, semua anggota keluarganya harus menuntut kasas agar dapat dikenakan, menurut posisi yurisprudensi yang paling diterima. Jika ada anggota keluarga yang memaafkan, menerima konsiliasi atau kompensasi, maka kasasakan dikecualikan. Dalam praktiknya, hampir tidak mungkin untuk mencapai kebulatan suara dari semua kerabat. Karenanya, jika hukum positif kontemporer di sebuah negara bermaksud untuk mengadopsi moratorium hukuman mati atau meminimalkan atau bahkan menghapusnya, pembuat kebijakan mungkin hanya mengadopsi definisi ‘keluarga’ yang lebih luas. Legislator atau hakim akan menemukan banyak sekali pendekatan yurisprudensi untuk mendukung pilihan seperti itu.

Selain pendekatan keadilan restoratif dalam memahami qisas, sebagaimana dijelaskan di atas, banyak ayat lainnya yang berbicara tentang hak hidup seperti yang disebutkan dalam Surat Al-Maidah ayat 32. Adapun lebih lengkap adalah sebagai berikut:
مِنۡ أَجۡلِ ذَٰلِكَ كَتَبۡنَا عَلَىٰ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعٗا وَمَنۡ أَحۡيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحۡيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعٗاۚ وَلَقَدۡ جَآءَتۡهُمۡ رُسُلُنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرٗا مِّنۡهُم بَعۡدَ ذَٰلِكَ فِي ٱلۡأَرۡضِ لَمُسۡرِفُونَ

Artinya: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi” (Q.S. Al-Maidah ayat 32).

Ayat tersebut mengimplikasikan kepada kita bagaimana Islam sangat mengutamakan hak hidup setiap manusia. Keutamaan dan penghormatan ini seringkali diwartakan dengan analogi bila kita menghidupi satu orang, sama seperti kita menghidupi seluruh manusia; begitu pula bila kita membunuh satu orang, sama buruknya dengan membunuh manusia seluruhnya. Pemaknaan semiotis ayat ini menunjukkan betapa kita di dalam Islam, manusia harus saling menghargai hidup manusia lainnya, sebagaimana dalam salah satu tujuan atau hikmah pensyariatan, yakni untuk menjaga hak hidup (hifz al-nafs).

Penghargaan dan penjagaan terhadap hak hidup juga memiliki relevansinya dengan hak asasi manusia (HAM), yang dalam tinjauan para pemikir filsafat hukum Islam kontemporer, masuk ke dalam salah satu maqāsid al-sharī‘ah. Di ruang-ruang hukum internasional, kesadaran atas hak hidup ini sudah mulai tumbuh yang ditandai dengan disusunnya traktat-traktat perlindungan atas hak hidup sebagai bentuk pemuliaan manusia dan kemanusiaan. Karena di dalam HAM, hak hidup merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights).

E. Catatan Penutup

Meski keadilan restoratif merupakan konsep yang relatif baru sebagai respon terhadap teori keadilan retributif yang menitikberatkan pembalasan, dan teori neoklasik yang berorientasi kepada kesetaraan sanksi pidana dan tindakan, namun dapat dikatakan bahwa keadilan restoratif itulah yang merupakan pandangan umum (semangat) dalam Islam, sedangkan keadilan retributif merupakan pengecualian. Bukan sebaliknya. Dalam filsafat hukum Islam, juga dapat dipahami bahwa tujuan penjatuhan hukuman (‘uqūbah) bukanlah hanya sebatas pembalasan (retribution), melainkan juga memiliki tujuan mulia lainnya seperti pencegahan (deterrence) dan perbaikan (reformation), serta juga bertujuan memberi pelajaran (al-tahdhīb) bagi masyarakat. Tujuan demikian menjadi satu kesatuan holistik demi mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menjaganya dari hal-hal yang merusak, sebagaimana yang menjadi tujuan pensyariatan dalam Islam (maqāsid al-sharī‘ah).

Karenanya, filosofi pemberlakuan qisas dan hukuman mati hendaknya perlu dipahami dalam asas reformatif-restoratif, yakni dalam misi memulihkan perilaku pelaku kejahatan khususnya dan perilaku masyarakat pada umumnya. Islam sangatlah menghargai hak atas hidup dan menjunjung tinggi pemuliaan manusia. Meski sebagai sebuah doktrin, hukuman mati dalam Islam tidak dapat dinafikan keberadaannya, namun, penerapannya masih sangat bisa dikaji dan dipertimbangkan secara kritis demi kemaslahatan bersama dan tujuan yang lebih berdaya pulih.

REFERENSI

’Awdah, ’Abd al-Qādir. Al-Tashrī‘ Al-Jinā’i Al-Islāmī: Muqāranan Bi Al-Qānūn Al-Wad‘ī. I. Kairo: Maktabah al-Taufīqiyyah, n.d.
Absar, Absar Aftab. “ Restorative Justice in Islam with Special Reference to the Concept of Diyya .” Journal of Victimology and Victim Justice 3, no. 1 (2020): 38–56.
Al-Syâtibî, Abū Ishāq. Al-Muwāfaqāt Fī Usūl Al-Sharī‘Ah. II. Kairo: Mustafā Muhammad, n.d.
Ash-Shidieqi, Hasbi. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Auda, Jasser. Maqāsid Al-Shari‘Ah: A Beginners’ Guide. London: International Institute of Islamic Thought, 2016.
———. Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London and Washington: The International Institute of Islamic Thought, 2008.
Awdah, Abdul Qadir. Ensiklopedia Hukum Islam. II. Bogor: Karisma Ilmu, 2007.
Diggle, P. “Overview of Statistical Methods for Disease Mapping and Its Relationship to Cluster Detection.” Spatial Epidemiology: Methods and Applications (2000): 87–103.
Djamil, Faturrahman. Filsafat Hukum Islam. Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Fasa, Muhammad Iqbal. “Reformasi Pemahaman Teori Maqasid Syariah: Analisis Pendekatan Sistem Jasser Audah.” HUNAFA: Jurnal Studia Islamika 13, no. 2 (2017): 218.
Fox, Darrell. “Social Welfare and Restorative Justice.” Kriminologija I Socijalna Integracija 17, no. 1 (2009): 55–68. http://hrcak.srce.hr/index.php?show=clanak&id_clanak_jezik=63842.
Hascall, Susan C. “Restorative Justice in Islam: Should Qisas Be Considered a Form of Restorative Justice?” Berkeley Journal of Middle Eastern & Islamic Law 4, no. 1 (2011): 35–78.
Kamali, Mohammad Hashim. Shari’ah Law: An Introduction. Oxford: Oneworld Publications, 2008.
Liebmann, Marian. Restorative Justice: How It Work. London and Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers, 2007.
Mas’udi, Masdar F. “Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syariat.” Ulumul Quran IV, no. 3 (1995): 94–99.
Nasution, Muhammad Syukri Albanani, and Rahmat Hidayat Nasution. Filsafat Hukum Islam Dan Maqashid Syariah. Jakarta: Kencana, 2020.
Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pusat Penerbitan Universitas Islam Bandung, 1995.
Qafisheh, Mutaz M. “Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A Contribution to the Global System.” International Journal of Criminal Justice Sciences 7, no. 1 (2012): 487–507.
Rizal, M. “Penerapan Hukuman Pidana Mati Perspektif Hukum Islam Di Indonesia.” Nurani 15, no. 1 (2015): 101–116.
Schabas, William. “Islam and the Death Penalty.” William & Mary Bill of Rights Journal 9, no. 1 (2000): 223–236.
Sodiqin, Ali. “Legal, Moral, and Spiritual Dialectics in the Islamic Restorative Justice System.” Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah 21, no. 2 (2021): 357–378.
Syatar, Abdul, and Achmad Abubakar. Filosofi ’Uqubah Islamiyah Versi Ramadhan Al-Buti: Relevansi Dengan Pemidanaan Dalam Sistem Hukum Indonesia. Gowa: Alauddin University Press, 2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

en_GBEnglish (UK)