Siaran Pers Imparsial
No: 016/Siaran-Pers/IMP/VIII/2022
Dalam Rangka Memperingati HUT TNI ke-77
“Regresi Reformasi TNI; Mewaspadai Politisasi TNI Menjelang Tahun Politik”
Bertepatan dengan peringatan hari jadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang ke-77 yang jatuh
pada hari ini tanggal 5 Oktober 2022, Imparsial mengucapkan dirgahayu kepada TNI. Kami
berharap institusi TNI di usia yang ke-77 ini menjadi semakin kuat, professional, dan mampu
menjalankan tugasnya secara akuntabel, menghormati tata negara demokratis, serta menjunjung
tinggi hak asasi manusia.
Pasca Reformasi, tidak dipungkiri bahwa memang telah terdapat sejumlah perubahan dan
kemajuan di institusi TNI. Sejumlah capaian reformasi TNI diantaranya adalah; pemisahan TNI
dengan Polri, penghapusan bisnis TNI, dan yang tak kalah penting yaitu penghapusan doktrin
peran sosial-politik TNI atau Dwifungsi. Namun demikian, kami juga mencatat masih terdapat
sejumlah agenda reformasi TNI yang bersifat krusial dan mendesak. Sejumlah agenda tersebut
bahkan menghadapi jalan buntu di tengah menyempitnya ruang demokrasi (shrinking democratic
space) di Indonesia, diantaranya adalah reformasi sistem peradilan militer, restrukturisasi
komando territorial dan akuntabilitas TNI baik dalam pengadaan alutsista maupun operasi (perang
dan selain perang).
Kami menilai, lemahnya kontrol sipil terhadap militer menjadi salah satu faktor penyebab mundur
dan gagalnya reformasi TNI. Padahal kontrol sipil terhadap militer merupakan syarat yang
esensial dalam upaya demokratisasi, terwujudnya profesionalisme militer dan supresmasi sipil.
Dalam catatan kami, selama ini kontrol sipil terhadap militer sangat lemah dan bahkan dapat
dikatakan cenderung permisif pada kembalinya politik militer. Dalam konteks reformasi sektor
keamanan, alih-alih melanjutkan estafet reformasi di tubuh TNI, reformasi malah mandeg dan
justru mundur ke belakang (involusi). Praktis tidak ada capaian positif reformais TNI pada tujuh
tahun masa pemerintahan Jokowi. Presiden Jokowi tidak memiliki kemauan dan keberanian politik
di dalam menuntaskan agenda reformasi TNI.
Presiden Joko Widodo yang berasal dari kalangan sipil dan pada mulanya dianggap mampu
membendung politik militer di awal-awal pemerintahannya justru mengecewakan publik dan
malah melakukan sebaliknya dengan menarik-narik militer ke ranah sipil. Hal ini misalnya terlihat
pada diberikannya “karpet merah” kepada agenda militerisasi sipil dan kembalinya militer dalam
urusan keamanan dalam negeri dalam bentuk pembentukan Komponan Cadangan Pertahanan
Negara (Komcad). Contoh lain juga telihat pada pelibatan TNI yang berlebihan pada ranah sipil
seperti pada penanganan Pandemi Covid-19 dan lain sebagainya.
Kami juga menilai, DPR RI yang memiliki fungsi pengawasan tehadap TNI justru tidak melakukan
tugasnya dengan baik. DPR RI gagal melakukan pengawasan dan pengawalan agenda reformasi
TNI. Kendati parlemen sebagai lembaga politik memiliki fungsi pengawasan yang dapat
dijalankan melalui anggaran dan legislasi, fungsi tersebut tidak dilakukan secara efektif dan
maksimal dalam mendorong agenda reformasi TNI. Bahkan, parlemen menjadi aktor yang ikut
melahirkan undang-undang bermasalah, seperti UU tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional
untuk Pertahanan Negara yang digunakan sebagai landasan hukum bagi Kemhan untuk
membentuk Komponen Cadangan Pertahanan Negara dan juga pembiaran adanya operasi militer
ilegal yang dijalankan TNI di Papua. Selain itu, banyak dugaan penyimpangan pada
penyelenggaraan sektor pertahanan juga luput dari pengawasan parlemen.
Lebih jauh, berikut sejumlah catatan Imparsial terkait dengan agenda reformasi TNI yang menjadi
pekerjaan rumah bagi pemerintah saat ini, yaitu:
Pertama, kembalinya politik militer dan kewenangan militer dalam urusan keamanan dalam negeri
melalui wacana pembentukan Dewan Keamanan Nasional. Pada 8 Agustus 2022, Wantanas
mengirimkan surat kepada Presiden terkait perubahan Wantanas menjadi Dewan Keamanan
Nasional (Wankamnas/DKN). Agenda ini merupakan agenda lama yang dimasukan dalam RUU
Kamnas yang mendapat penolakan masyarakat sipil sehingga gagal disahkan. Dengan demikian,
langkah pemerintah saat ini merupakan jalan pintas Pemerintah pasca RUU Kamnas gagal
disahkan.
Kami mempertanyakan urgensi pembentukan DKN saat ini karena akan menimbulkan tumpang
tindih (overlapping) dengan kerja dan fungsi lembaga negara yang ada. Saat ini sudah ada lembaga
yang melakukan fungsi koordinasi bidang keamanan nasional, yaitu di bawah Kemenko
Polhukam. Dalam memberikan nasihat kepada Presiden juga telah ada Lembaga Ketahanan
Nasional (Lemhanas), Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) serta Kantor Staf Presiden
(KSP). Pembentukan DKN yang dilakukan secara tertutup patut dicurigai bahwa pemerintah
sedang membentuk wadah represi baru seperti halnya pembentukan Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada masa Orde Baru. Padahal jika mengacu kepada
Undang-undang Tentang Pertahanan Negara Nomor 3 Tahun 2002 maka Pemerintah diminta
untuk membentuk Dewan Pertahanan Nasional (DPN), bukan Dewan Keamanan Nasional (DKN).
Kedua, peran internal militer yang semakin menguat. Salah satu capaian dari pelaksanaan
reformasi TNI pada tahun 1998 adalah pembatasan terhadap keterlibatan militer dalam ranah sipil
dan keamanan dalam negeri. Sebagai alat pertahanan negara, TNI difokuskan untuk bersiap
menghadapi ancaman perang dari luar yang mengancam kedaulatan negara sebagaimana diatur
dalam UU Pertahanan dan UU TNI. Namun demikian, dalam beberapa tahun belakangan ini terjadi
kemunduran pada capaian tersebut dimana terlihat militer (TNI) mulai banyak terlibat secara aktif
dalam mengatasi permasalahan dalam negeri. Sayangnya, meski berbagai bentuk keterlibatan
militer tersebut menyalahi UU TNI, namun pada kenyataannya ia mendapat pembiaran. Tidak ada
evaluasi dan koreksi dari otoritas politik sipil.
Menguatnya peran internal militer pada ranah sipil dan keamanan dalam negeri dapat dilihat dalam
sejumlah praktik perbantuan militer yang dijalankan oleh TNI, seperti pelibatan TNI dalam
mengatasi kelompok kriminal bersenjata di Papua, program cetak sawah, pengamanan stasiun,
pengamanan kegiatan aksi unjuk rasa, mengatasi terorisme, penanggulangan pandemi Covid-19,
pengamanan pertandingan sepak bola dan lain sebagainya. Salah satu pola yang digunakan untuk
melegitimasi peran internal tersebut adalah melalui Memorundum of Understanding (MoU) antara
TNI dengan beberapa kementerian dan instansi. Berdasarkan catatan Imparsial, setidaknya
terdapat 41 MoU antara TNI dan kementerian dan instansi lain telah dibentuk dalam kerangka
pelaksanaan tugas perbantuan TNI (operasi militer selain perang). Dapat dikatakan, semua MoU
tersebut bertentangan dengan Pasal ayat (3) UU TNI yang menyebutkan operasi militer selain
perang hanya bisa dilakukan jika terdapat keputusan politik negara, dalam hal ini keputusan
Presiden.
Ketiga, operasi militer ilegal di Papua. Kendati status Papua sebagai daerah operasi militer dicabut
pada awal reformasi, Operasi militer dan pengiriman pasukan non-organik ke papua tetap
dijalankan. Parahnya keseluruhan operasi dan pengiriman pasukan tersebut tanpa dasar hukum
yang jelas. Pasal 7 ayat 3 UU TNI mengamanatkan baik operasi militer untuk perangan dan operasi
militer selain perang harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Sedangkan yang
dimaksud dengan kebijakan dan keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah
bersama- sama Dewan Perwakilan Rakyat (penjelasan pasal 5 UU TNI)
Berdasarkan pemantauan kami setidaknya pada tahun 2022 sebanyak 4350 prajurit TNI sudah
dikirim ke tanah Papua. Hal ini tentunya menyebabkan insinuasi keamanan dan menyokong apa
yang disebut sebagai sekuritisasi permasalahan Papua. Akibat dari pada itu, konflik terus
meningkat dan korban sipil terus berjatuhan. Berdasarkan catatan kami sepanjang tahun 2021-
2022 terjadi 63 peristiwa kekerasan bersenjata yang menyebabkan korban jiwa 61 orang
diantaranya; 37 Sipil, 21 TNI-Polri dan 8 KKB. Adapun sebagian besar kontak senjata di
pemukiman penduduk dan bukan hutan.
Keempat, belum dijalankannya reformasi sistem peradilan militer. Reformasi sistem peradilan
militer melalui melalui perubahan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan
salah satu mandat reformasi 1998 yang belum dijalankan. Padahal, dapat dikatakan bahwa agenda
ini menjadi salah satu jantung dari reformasi TNI. Selama peradilan militer belum direformasi,
selama itu pula proses reformasi TNI belum selesai. Melalui UU yang ada ini, TNI memiliki rezim
hukum sendiri dimana anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan
militer. Dalam praktiknya, peradilan militer menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang
melakukan tindak pidana. Kalaupun ada hukuman terhadap anggota militer yang melakukan tindak
pidana, seringkali sanksi yang dijatuhkan tidak maksimal apalagi mengikuti pertanggungjawaban
komando.
Reformasi peradilan militer sesungguhnya adalah mandat dari UU No. 34/2004 tentang TNI. Pasal
65 Ayat (2) UU TNI menyebutkan bahwa “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer
dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam
hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”. Selain itu, upaya
mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus
dijalankan pemerintah dan parlemen. Upaya mengubah peradilan militer adalah suatu langkah
konstitusional untuk menerapkan prinsip persamaan di hadapan hukum secara konsisten {Pasal 27
Ayat (1) juncto Pasal 28 Huruf d Ayat (1) UUD 1945}. Konsekuensi dari penerapan asas hukum
tersebut adalah bahwa anggota militer yang melakukan tindak pidana umum perlu diadili dalam
peradilan yang sama dengan warga negara lain yang melakukan tindak pidana umum, yakni
melalui mekanisme peradilan umum.
Kelima, restrukturisasi Komando Teritorial (Koter). Restrukturisasi Koter adalah salah satu
agenda reformasi TNI yang diusung oleh gerakan mahasiswa dan demokratik lainnya pada awal
reformasi 1998. Agenda ini disuarakan dalam satu paket dengan agenda penghapusan peran sosialpolitik ABRI—sekarang TNI—yang dikenal sebagai dwifungsi ABRI. Dalam perjalanannya,
meski peran politik ABRI/TNI telah dihapus, namun struktur Koter hingga kini tak kunjung juga
direstrukturisasi dan masih dipertahankan. Bahkan, eksistensi Koter semakin mekar sejalan
dengan pemekaran atau pembentukan provinsi dan kabupaten-kabupaten baru di Indonesia.
Pemekaran terbaru terlihat dari pembentukan Komando Daerah Militer (Kodam) baru di Papua
Barat yang tentunya akan diikuti oleh pembentukan struktur teritorial di bawahnya, seperti
Komando Resort Militer (Korem) dan Komando Distrik Militer (Kodim).
Eksistensi Koter pada masa Orde Baru sangat terkait dengan dwifungsi ABRI. Koter yang
dibentuk menyerupai hirarki dan struktur pemerintahan sipil, mulia dari pusat hingga daerah
sampai di tingkat kecamatan, menjadi instrumen bagi ABRI menjalankan peran sosial-politiknya.
Koter juga menjadi instrumen kontrol terhadap masyarakat, seperti digunakan untuk merepresi
kelompok demokratik yang menentang rezim Soeharto. Pada perkembangannya, karakter dan
watak penggunaan Koter juga tidak berubah pasca perubahan politik dari otoritarianisme ke
demokrasi sejak tahun 1998. Koter kadangkala digunakan sebagai instrumen politik terutama di
masa elektoral dan juga alat represi terhadap masyarakat.
Lebih jauh, restrukturisasi ini sejatinya juga telah diamantkan oleh UU No. 34 Tahun 2004 tentang
TNI yang mensyaratkan kepada otoritas politik untuk melakukan restrukturisasi Koter yang
penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan. Restrukturisasi Koter
juga bertujuan agar gelar kekuatan TNI (Postur TNI) dapat mendukung peran TNI sebagai alat
pertahanan negara. Sebagai konsekuensi dari restrukturisasi Koter dan mempertimbangkan
lingkungan strategis serta dinamika ancaman terkini adalah perlu segera dipikirkan dan dibentuk
model Postur TNI yang menekankan pembangunan kesatuan gelar kekuatan trimatra secara
terpadu dan lebih terintegrasi
Keenam, kembalinya TNI di jabatan pemerintahan sipil. Reformasi politik paska 1998
mensyaratkan mensyaratkan penghapusan peran sosial politik TNI dan salah satu cerminnya
adalah militer aktif tidak lagi menduduki jabatan politik seperti di DPR, Gubernur, Bupati, atau
jabatan di kementerian dan lainnya. Sejak UU TNI disahkan, militer aktif hanya dapat menduduki
jabatan-jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan seperti Kementerian
Pertahanan, Kemenkopulhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas,
Dewan Pertahanan Nasional, Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung (Pasal 47 ayat 2 UU
TNI). Namun demikian, kini banyak anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil seperti di
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan
bahkan di Badan Usaha Milik Negara. Ombudsman RI mencatat sebanyak 27 anggota TNI aktif
menjabat di BUMN. Bahkan, belakangan ini prajurit TNI aktif juga sudah kembali ditempatkan
dalam jabatan kepala daerah misalnya penunjukan TNI aktif menjadi Bupati Seram Bagian Barat.
Secara prinsip, Pasal 39 UU TNI telah menegaskan bahwa “Prajurit dilarang terlibat dalam
kegiatan politik praktis dan di dalam Pasal 47 Ayat 1 disebutkan bahwa “Prajurit hanya dapat
menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”.
Selain itu UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN mempertegas larangan penunjukan anggota
TNI/Polri aktif menjadi Pj gubernur. Pasal 109 ayat 2 tentang Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi
mengatur sebagai berikut: “Pimpinan Tinggi dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah
mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan, dan sesuai dengan kompetensi yang
ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.
Lebih jauh Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada mengatur, kekosongan jabatan gubernur harus diisi
dengan Penjabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya. Definisi pimpinan tinggi madya
telah disebutkan dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf b UU ASN yaitu: “Sekretaris jenderal
kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris
jenderal lembaga non-struktural, direktur jendral, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama,
kepala badan, staf ahli menteri, kepala sekretariat presiden, kepala sekretariat wakil presiden,
sekretaris militer presiden, kepala sekretariat dewan pertimbangan presiden, sekretaris daerah
provinsi, dan jabatan lain yang setara.” Dengan demikian anggota militer aktif yang ditunjuk
menjadi PJ Gubernur memiliki potensi kuat bertentangan dengan aturan diatas.
Ketujuh, transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan Alutsista TNI rendah. Upaya
modernisasi alutsista TNI untuk memperkuat pertahanan Indonesia merupakan langkah penting
dan harus didukung. Sebagai komponen utama pertahanan negara, TNI perlu dilengkapi oleh
alutsista militer yang lebih baik, kuat, dan modern untuk mendukung tugas pokok dan fungsinya
dalam menjaga dan melindungi wilayah pertahanan Indonesia. Namun demikian, penting dicatat
bahwa langkah tersebut harus dijalankan oleh pemerintah secara akuntabel, transparan, serta
dengan mempertimbangkan ketersediaan anggaran dan kebutuhan TNI itu sendiri. Hal ini penting
untuk memastikan pengadaan alutsista TNI mendukung upaya penguatan pertahanan negara
Indonesia dan tidak memunculkan masalah baru di masa yang akan datang.
Dalam sejumlah pengadaan, misalnya, beberapa alutsista yang dibeli oleh pemerintah Indonesia
berada di bawah standar dan kadang kala tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Selain itu,
pengadaan melalui pembelian alutsista bekas juga menjadi persoalan. Padahal, jelas terdapat
kecenderungan bahwa pengadaan alutsista bekas selalu memiliki potensi bermasalah yang lebih
besar. Tidak hanya membebani anggaran untuk perawatan, tetapi juga beresiko terjadi kecelakaan
yang mengancam keselamatan dan keamanan prajurit. Selain itu, pengadaan Alutsista kerap
diwarnai keterlibatan pihak ketiga (broker). Dalam beberapa kasus, keterlibatan mereka kadang
kala berimplikasi terhadap dugaan mark-up dalam pengadaan alutsista. Oleh karena itu, sudah
seharusnya pengadaan alutsista di masa depan hendaknya tidak melibatkan pihak ketiga, tetapi
langsung dilakukan dalam mekanisme government to government.
Dalam upaya mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan Alutsista, pemerintah
harus mendorong peran lembaga-lembaga pengawas independen seperti Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) untuk melakukan pengawasan dan menginvestigasi penggunaan anggaran
pertahanan, atau lebih khususnya dalam pengadaan Alutsista. Salah satu upaya untuk mendo-rong
peran KPK itu, langkah awal yang harus didorong oleh pemerintah dan parlemen adalah
mereformasi peradilan militer melalui revisi UU No 31/1997. Meski tanpa menunggu revisi UU
tersebut, KPK bisa terlibat dalam pengawasan dan penyelidikan dugaan penyimpangan pengadaan
alutsista dengan dasar asas lex specialis derogat lex generalis.
Kedelapan, langgengnya Impunitas dan berlanjutnya kekerasan TNI terhadap pembela HAM.
Kekerasan TNI terhadap masyarakat dan pembela HAM. Hingga saat ini, kekerasan yang
dilakukan anggota TNI terhadap masyarakat dan pembela HAM masih terjadi di berbagai daerah.
Berbagai kasus kekerasan itu menunjukkan bahwa reformasi TNI sesungguhnya belum tuntas,
khususnya dalam upaya untuk memutus budaya militerististik yang diwarisi dari rezim otoritarian
Orde Baru. Motif dari tindakan kekerasan yang dilakukan oknum anggota itu beragam, mulai dari
motif persoalan pribadi, bentuk solidaritas terhadap korps yang keliru, sengketa lahan dengan
masyarakat, terlibat dalam penggusuran, serta kekerasan terhadap jurnalis dan pembela HAM.
Praktik Impunitas negara juga ditunjukan oleh otoritas sipil Ketika Presiden Jokowi menetapkan
Brigjen Dadang Hendrayudha dan Brigjen Yulius Selvanus masing-masing sebagai sebagai
Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan dan Kepala Badan Instalasi
Strategis Pertahanan Kementerian Pertahanan. Sebelumnya, pada 6 Desember 2019 Prabowo juga
mengangkat Chairawan Kadasryah Nusyirwan, yang pernah menjadi Komandan Tim Mawar
sebagai Asisten Khusus Menteri Pertahanan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertahanan
Nomor: KEP/1869/M/XII/2019.
Meski nama-nama di atas telah melalui proses hukum di Pengadilan Tinggi Militer II Jakarta
dengan hasil menjatuhkan putusan masing-masing 1 tahun 4 bulan dan 20 bulan penjara masingmasing untuk Brigjen. Dadang Hendrayudha dan Brigjen. Yulius Selvanus pada April 1999 selaku
Kepala Unit I dan Kepala Unit II Tim Mawar, namun vonis tersebut sangatlah tidak sebanding
dengan perbuatan yang dilakukan. Persidangan juga gagal untuk mengungkap seluruh aktor yang
terlibat. Selain itu publik juga tidak tahu-menahu kelanjutan perkara tersebut karena putusannya
tidak dipublikasikan secara terbuka hingga ternyata karier militer keduanya masih berjalan hingga
menjadi jederal. Selain itu, pelanggar HAM justeru diberikan penghargaan oleh Presiden. Pada
tahun 2021 Presiden memberikan penghargaan Bintang Jasa Utama kepada Erico Guteres.
Pemberian penghargaan ini bermasalah dan tidak tepat mengingat rekam jejak Erico ketika masih
menjadi milisi terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM pada konflik Timor-Timor.
Alih-alih memberikan hukuman setimpal kepada pelaku pelanggar HAM, otoritas sipil justeru
melanggengkan praktik Impunitas sekaligus mengkhianati komitmen penyelesaian pelanggaran
HAM dengan memberikan pelaku pelanggar HAM jabatan-jabatan strategis di pemerintahan.
Selain itu, proses penegakan hukum melalui pengadilan HAM juga hanya menjadi wacana belaka.
Satu-satunya pengadilan HAM yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Joko Widodo yakni
Pengadilan HAM kasus pelanggaran HAM yang berat Paniai Berdarah juga disanksikan
memberikan kedilan. Pasalanya Negara hanya menuntut satu orang dari sekian banyak terduga
pelaku pelanggaran HAM tersebut.
Kesembilan, kesejahteraan prajurit TNI masih rendah dan tidak merata. Sebagai alat pertahanan
negara, TNI bertugas pokok menjaga wilayah pertahanan Indonesia. Ini bukan pekerjaan mudah.
Untuk melaksanakan tugas pokoknya itu, TNI membutuhkan kelengkapan alat utama sistem
persenjataan (alutsista) yang memadai dan kapasitas sumber daya manusia yang profesional.
Dengan beban tugas yang berat dan suci itu, wajar apabila profesionalisme TNI harus ditunjang
dengan peningkatan kesejahteraan prajurit. Selama ini penguatan sumber daya manusia terkait
dengan kesejahteraan prajurit TNI masih minim. Terbatasnya rumah dinas anggota TNI adalah
satu contoh dari permasalahan kesejahteraan prajurit.
Dalam beberapa kasus, masalah kesejahteraan anggota TNI telah membuat mereka mencari
sumber pendapatan lain di luar gaji mereka. Meski penguatan alutsista merupakan suatu
kebutuhan, memberikan jaminan kesejahteraan bagi prajurit merupakan sebuah kewajiban yang
harus dipenuhi negara, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 49 juncto Pasal 50 UU No 34/2004.
Selain agenda-agenda yang disebutkan di atas, kami juga menyoroti isu pergantian Panglima TNI
yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini. Meski pergantian tersebut merupakan hak prerogative
Presiden, namun menjadi penting bagi presiden untuk mencermati dan mempertimbangkan semua
masukan dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat sipil. Secara prinsip, pergantian Panglima
TNI bukan hanya urusan tentang mengganti sosok, tetapi juga akan menentukan dinamika
perjalanan TNI ke depan, termasuk demokrasi dan HAM di Indonesia.
Untuk itu, pada proses pergantian Panglima TNI yang akan datang, kami memandang Presiden
harus menggunakan pendekatan legal-substantif ketimbang pendekatan pragmatism politis.
Berdasarkan pedekatan legal pola pergantian Panglima TNI mengedepankan rotasi antarmatra
dimana panglima TNI dijabat secara bergiliran. Pendekatan substantif adalah pendekatan yang
menempatkan proses pergantian Panglima TNI harus dipandang sebagai momentum dalam proses
regenerasi di TNI. Sedangkan pendekatan politis, akan lebih mempertimbangkan unsur kedekatan
dan kepentingan politis. Untuk itu harus dihindari karena hal ini akan menggerus profesionalisme
TNI. Kami berharap Panglima TNI ke depan dapat melanjutkan agenda Reformasi TNI yang
terbengkalai.
Jakarta, 05 Oktober 2022
Gufron Mabruri
Direktur
CP:
Ardi Manto (Wakil Direktur) : 0812-6194-4069
Husein Ahmad (Peneliti) : 0812-5966-8926