Karena masih banyak terjadi kasus dugaan penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian. Ini disebabkan aparat kepolisian sangat minim pemahaman HAM, belum paham penerapan beberapa Perkap terkait implementasi HAM, kurangnya perhatian pimpinan Polri terhadap isu HAM.
Sabtu, 17 April 2021
HUKUMONLINE.com-Sejak era reformasi, Polri telah melakukan banyak perubahan internal. Diawali pemisahan Polri dari TNI melalui terbitnya Ketetapan MPR No.VI/MPR/2000 Tahun 2000. Harapannya, Polri menjadi yang terdepan dalam melindungi dan mengayomi masyarakat. Tapi reformasi di tubuh Polri itu dirasa belum tuntas karena masih banyak yang belum sesuai harapan, misalnya kerap terjadi dugaan penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian.
Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, menerangkan praktik penyiksaan oleh kepolisian dilakukan sejak masa kolonial Belanda. Ditambah lagi masuknya Polri sebagai bagian dari ABRI sejak 1961, sehingga berwatak militeristik. Reformasi tahun 1998 mendorong perubahan terhadap Polri meliputi struktural, instrumental, dan kultural. Reformasi struktural, antara lain menempatkan Polri langsung di bawah Presiden, sebelumnya di bawah Menteri Pertahanan karena bagian dari ABRI. Reformasi instrumental ditandai terbitnya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
“Yang belum tuntas reformasi kultural. Reformasi kultural Polri ini diharapkan mengubah cara berpikir dan budaya aparat polisi yang tadinya militeristik menjadi humanis,” kata Poengky dalam diskusi yang digelar secara daring dan luring bertema “Evaluasi Implementasi Perkap HAM dalam Mencegah Praktik Penyiksaan dalam Penegakan Hukum”, Jumat (16/4/2021).
Poengky mencatat penyiksaan rentan dilakukan aparat kepolisian saat proses penyelidikan dan penyidikan, serta di daerah konflik. Penyiksaan diduga dilakukan utamanya pada kasus terkait narkotika, terorisme, makar yang melibatkan residivis. Isu HAM relatif kurang mendapat perhatian pimpinan Polri melalui pendidikan dan praktek HAM di sekolah kepolisian, seperti Sekolah Pendidikan Kepolisian Negara (SPN), Akpol, dan Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPSS). Bahkan, kasus penyiksaan kerap tidak mendapat teguran dan hukuman.
Menurut Poengky, pencegahan penyiksaan dapat dilakukan antara lain dengan memperbanyak skill and knowledge pada saat pendidikan. Kemudian mencegah penyiksaan melalui peralatan CCTV, video camera, recorder, atau body camera. “Sangat disayangkan aparat kepolisian yang bertugas di tengah masyarakat tidak paham Perkap No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian RI,” ujar Poengky.
Kompolnas merekomendasikan agar Polri melanjutkan reformasi kultural secara serius. Misalnya, pelatihan HAM diberikan maksimal saat pendidikan pembentukan calon anggota Polri atau calon perwira Polri. Perkap No.8 Tahun 2009 harus dilaksanakan serius. Atasan harus memberi contoh yang baik mencegah kekerasan dan penyiksaan. Pengawas internal dan eksternal perlu membangun mekanisme pengaduan yang terintegrasi dan direspon cepat.
“Polsek lebih baik fokus pada Harkamtibmas, dan tidak dilibatkan dalam penegakan hukum. Memperhatikan kesejahteraan anggota Polri serta merawat kesehatan jasmani dan rohani anggota untuk mencegah stress. pemerintah perlu harmonisasi CAT (konvensi anti penyiksaan) dalam UU, merevisi KUHAP untuk penahanan, ratifikasi OPCAT,” sarannya.
Wakil Ketua LPSK, Maneger Nasution, mengatakan negara punya niat baik untuk mencegah penyiksaan dengan menerbitkan beragam regulasi. Bahkan Perkap No.8 Tahun 2009 mengadopsi beragam aturan terntang anti penyiksaan. “Yang kurang selama ini implementasinya. Mandat polisi itu mengayomi masyarakat, pelindung HAM,” kata dia dalam kesempatan yang sama.
Maneger menyebut lembaganya punya mandat menangani perlindungan saksi dan korban dalam perkara pidana, salah satunya terkait penyiksaan. Hak korban/saksi dalam kasus penyiksaan mendapat perlindungan dalam bentuk fisik, hukum, pendampingan, dan pemenuhan hak prosedural. Pemulihan korban meliputi finansial dan nonfinansial.
Menurut Maneger, penyiksaan ini terjadi secara struktural karena pelakunya meliputi polisi, TNI, dan sipir. Ironisnya, banyak pelaku yang bebas karena tidak ada saksi dan hanya diproses secara internal. Dia juga melihat perspektif aparat terhadap HAM sangat minim. Bahkan, aparat penegak hukum menganggap penyiksaan terhadap pelaku kejahatan sebagai tindakan yang wajar. Pengakuan masih diutamakan sebagai alat bukti.
LPSK merekomendasikan 5 hal. Pertama, menambah kurikulum mengenai HAM dalam tahap pendidikan calon anggota Polri, sehingga mendapat pemahaman HAM secara menyeluruh. Kedua, memaksimalkan peran KuPP untuk melakukan pemantauan dalam rangka pencegahan penyiksaan. Ketiga, ratifikasi OPCAT. Keempat, perlu adanya regulasi mengenai penyiksaan sebagai tindak pidana dan memaksimalkan mekanisme ganti kerugian dan pemulihan bagi korban, serta hukuman maksimal bagi pelaku penyiksaan sebagai efek jera. Kelima, mengefektifkan pengawasan internal dan eksternal untuk memerangi penyiksaan.
Mengganggap sebagai penghukum
Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menilai aparat penegak hukum menganggap dirinya sebagai punisher (penghukum), bukan penegak hukum. Padahal polisi, jaksa, dan pengadilan seharusnya mengedepankan paradigma penegakan hukum. Tapi faktanya masih ada cara pandang yang menilai orang yang melakukan kejahatan layak mendapat balasan akibat kejahatannya.
Ardi menghitung sedikitnya ada 4 Perkap yang mengatur anti penyiksaan di internal kepolisian. Pertama, Perkap No.1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Kedua, Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Ketiga, Perkap No.14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keempat, Perkap No.4 Tahun 2015 tentang Perawatan Tahanan di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Jika berbagai aturan ini dilaksanakan secara serius, maka signifikan untuk mencegah praktik penyiksaan,” tegasnya.
Ada beragam persoalan dalam pelaksanaan Perkap No.8 Tahun 2009, antara lain anggota kepolisian masih banyak yang belum paham tentang Perkap tersebut; minimnya pembekalan dan pelatihan dalam penggunaan senjata atau kekerasan. Selain itu, belum tersedia ruang pemeriksaan (interogasi/wawancara) yang layak; Esprit de corps yang salah dipahami, sehingga terjadi aksi “saling melindungi.”
“Key performance index (KPI) masih berbasis kuantitatif, bukan kualitas kinerja,” paparnya.
Imparsial mengusulkan 8 poin penting untuk mencegah praktik penyiksaan. Pertama, pendidikan anti penyiksaan perlu mendapat porsi yang utama di semua jenjang Pendidikan di Kepolisian. Kedua, pelatihan untuk peningkatan keterampilan penggunaan kekerasan atau senjata perlu ditingkatkan agar tidak ada terjadi kesalahan personal (human error) yang menyebabkan akibat fatal. Ketiga, penyediaan alat rekam dalam setiap tindakan kepolisian (Body Cam, CCTV, dan lain-lain).
Keempat, perubahan dari metode interogasi menjadi investigative interview. Kelima, penyediaan ruang khusus wawancara (interview) yang layak untuk mencegah penyiksaan. Keenam, peningkatan sistem scientific criminal investigation dalam pengungkapan kasus tindak kejahatan. Ketujuh, evaluasi kelayakan tempat penahanan di kantor-kantor kepolisian. Delapan, penguatan kewenangan lembaga eksternal untuk pengawasan dan proses hukum praktik penyiksaan.
Pengacara Publik LBH Jakarta, Saleh Al Ghifari, mengatakan lembaganya menerima pengaduan lebih dari seribu kasus dan 10 persennya terkait pelanggaran yang dilakukan kepolisian. Sebanyak 70 persen dari pelanggaran itu terkait penyiksaan. Kebanyakan yang mengalami penyiksaan adalah masyarakat yang tergolong miskin dan tidak mendapat penanganan hukum yang baik dan memadai, seperti tidak adanya pendamping atau pengacara.
Banyaknya kasus penyiksaan yang ditangani LBH Jakarta membuat Saleh Al Ghifari heran dan mempertanyakan sejauh mana pemahaman aparat terhadap Perkap No.8 Tahun 2009 dan berbagai aturan lain yang terkait anti penyiksaan. “Perkap ini bagus, tapi pelaksanaannya tergantung fungsi internal lembaga Polri itu sendiri.”