Siaran Pers
Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan
Pemerintah dan DPR telah mengesahkan UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) yang mengatur tentang Komponen
Kadangan. Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, pembentukan Komponen
Cadangan yang didasarkan pada UU PSDN tersebut sejatinya memiliki masalah baik secara
substansial maupun secara prosedural. Secara substansial yakni karena beberapa ketentuan
dalam UU tersebut kami nilai bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia di dalam
konstitusi, dan secara prosedural pembahasan UU PSDN tersebut yang terburu-buru dan minim
partisipasi publik. Lebih dari itu, kami menilai pembentukan Komponen Cadangan yang
dilakukan di tengah kebutuhan penanganan serius dari negara dalam menghadapi situasi
pandemi Covid-19 menunjukkan rendahnya kepedulian negara akan soal kemanusiaan dalam
penanganan pandemi Covid ini. Untuk itu, pada hari ini kami telah mengajukan judicial review
sejumlah pasal di dalam UU PSDN ke Mahkamah Konstitusi.
Adapun Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari beberapa lembaga yang
bergerak dibidang hak asasi manusia dan reformasi sektor keamanan dan individu, yakni
Imparsial, KontraS, Yayasan Kebajikan Publik Jakarta, PBHI, LBH Jakarta, LBH Pers dan beberapa
individu yakni Ikhsan Yosarie, Gustika Fardani Jusuf, dan Leon Alvinda Putra. Sejumlah ketentaun
dalam UU PSDN yang kami minta untuk dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah Pasal 4 ayat
(2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU PSDN.
Sementara itu beberapa substansi yang kami nilai bermasalah secara hukum, hak asasi manusia,
dan tatakelola sistem pertahanan-keamanan di dalam UU PSDN ini yang kami minta dibatalkan
oleh MK adalah:
Pertama, terkait ruang lingkup ancaman yang sangat luas. Dalam Pasal 4 UU PSDN, ruang lingkup
ancaman meliputi ancaman militer, ancaman non militer, dan ancaman hibrida. Luasnya ruang
lingkup ancaman menimbulkan permasalahan tersendiri, di mana Komponen Cadangan yang
telah disiapkan dan dibentuk pemerintah dapat digunakan untuk menghadapi ancaman
keamanan dalam negeri seperti dalih untuk menghadapi ancaman bahaya komunisme, terorisme,
dan konflik dalam negeri yang berpotensi menimbulkan terjadinya konflik horizontal di
masyarakat. Untuk itu kami menilai, ketentuan di dalam pasal Pasal 4 ayat (2) dan (3) serta Pasal
29 UU A Quo bersifat kontradiktif dengan sejumlah ketentuan perihal pertahanan negara,
sebagaimana diatur dalam UU Pertahanan Negara yang merupakan instrumen pengaturan pokok
pertahanan negara. Dan oleh karenanya, pasal‐pasal A Quo jelas dapat dikatakan tidak memenuhi
prinsip kepastian hukum dalam rumusannya dan bertentangan dengan konstitusi Pasal 1 Ayat
(3) dan Pasal 28D Ayat (1), sekaligus Pasal 30 ayat (2) UUD 1945.
Kedua, penetapan Komponen Cadangan berupa sumber daya alam dan sumber daya buatan serta
sarana dan prasarana nasional mengabaikan prinsip kesukarelaan. Untuk menjadi Komponen
Cadangan, kedua sumber daya serta sarana dan prasarana yang dikelola baik oleh warga negara maupun swasta tersebut hanya melewati verifikasi dan klasifikasi oleh Kementerian Pertahanan
tanpa kesukarelaan dari pemilik. Dengan demikian, UU ini tidak memberikan pengakuan dan
perlindungan terhadap hak properti yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hal ini akan
membuka ruang potensi konflik sumber daya alam dan konflik pertanahan antara negara dan
masyarakat. Untuk itu, kami menilai ketentuan dalam pasal Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2),
Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU A Quo tidak mengatur secara rigid dan rinci tentang penetapan
sumberdaya alam dan sumber daya buatan sebagai komponen cadangan sehingga menimbulkan
ketidakpastian hukum dan melanggar prinsip conscientious objection bagi pemilik atau
pengelola sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana dan prasarana lain, dan oleh
karenanya bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD
1945.
Ketiga, terkait sanksi pidana bagi setiap orang yang menjadi Komponen Cadangan dan
menghindari panggilan mobilisasi yang ancaman hukumannya mencapai 4 tahun. Selain itu, bagi
setiap orang yang membuat Komponen Cadangan tidak memenuhi panggilan mobilisasi juga
terancam hukuman penjara dua tahun. Hal ini tentu menyalahi prinsip conscientious objection
(hak untuk menolak atas dasar keyakinannya) yang merupakan prinsip utama dalam pelibatan
warga sipil dalam pertahanan di berbagai negara yang sudah diakui dalam norma HAM
internasional. Komponen cadangan harus memiliki hak atas kebebasan beragama dan
berkeyakinan dan kebebasan berpikir sebagaimana dijamin di dalam konstitusi. Kami menilai,
ketentuan dalam Pasal 18, Pasal 66 ayat (1), Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 79 UU A Quo
bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara
untuk bebas berpikir, hati nurani, dan beragama, termasuk di dalamnya hak untuk menolak
bergabung dalam dinas militer dengan alasan conscientious objection.
Keempat, terkait penggunaan hukum militer bagi Komponen Cadangan selama masa aktif
sebagaimana diatur dalam pada Pasal 46 UU PSDN tidak tepat. Di saat reformasi militer tersendat
karena ketidak tundukkan militer terhadap sistem peradilan umum, UU PSDN justru mewajibkan
Komponen Cadangan tunduk terhadap hukum militer. Padahal, kewajiban untuk tunduk pada
sistem peradilan umum bagi anggota militer merupakan perintah Pasal 3 ayat (4) TAP MPR
VII/2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004. Ketidak tundukkan pada peradilan umum
ini berpotensi melanggengkan impunitas dan menghambat reformasi peradilan militer. Untuk
itu, kami berpendapat ketentuan dalam pasal Pasal 46 UU A Quo yang mengatur tentang
penggunaan sistem peradilan militer bagi Komponen Cadangan telah bertentangan dengan
prinsip‐ prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law), sebagaimana ditegaskan
oleh ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Kelima, yaitu terkait anggaran untuk Komponen Cadangan yang dapat diperoleh dari sumber
selain APBN, yaitu APBD, serta sumber lain yang tidak mengikat. Menurut Pasal 25 UU No. 3
Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Pasal 66 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, sumber
anggaran pertahanan hanya melalui APBN. Oleh karena itu, UU PSDN bertentangan dengan
Undang-Undang Pertahanan sendiri dan menyalahi prinsip sentralisme anggaran pertahanan.
Kami menilai ketentuan Pasal 75 UU A Quo yang membolehkan sumber penganggaran Komponen
Cadangan di luar dari APBN tidak mematuhi prinsip keterpusatan penyelenggaraan sektor
pertahanan negara sebagaimana prinsip pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan
daerah yang ditegaskan dalam Pasal 9 dan Pasal 10 UU Pemerintahan Daerah yang menyebutkan
bahwa bidang pertahanan merupakan urusan pemerintahan secara absolut. Terlebih lagi,
pemusatan anggaran merupakan mekanisme kontrol terhadap sektor keamanan, tidak hanya
untuk mengawasi efektivitas penggunaan anggaran namun juga kontrol terhadap TNI.
Akomodasi pembiayaan pertahanan dari APBD dan sumber lainnya jelas berpotensi
menimbulkan masalah serius karena kontribusi bantuan anggaran tersebut sulit untuk dikontrol.
Selain itu, hal tersebut akan juga memperumit proses pertanggungjawaban sehingga membuka
peluang terjadi penyalahgunaan dan penyimpangan. Untuk itu, kami menilai ketentuan Pasal 75
UU A Quo bersifat inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Atas dasar hal tersebut di atas dan untuk mendorong agar pemeritah fokus pada penguatan
komponen utama melalui modernisasi dan perbaikan alutsista TNI yang saat ini dalam situasi
memprihatinkan melihat pada sejumlah kecelakaan alutsista, maka kami mendesak kepada yang
mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, untuk mengabulkan seluruh permohonan kami, yakni
membatalkan sejumlah pasal dalam UU PSDN ini karena berpotensi merugikan hak
konstitusional kami selaku pemohon, bertentangan dengan hak asasi manusia yang diatur dalam
konstitusi, serta destruktif terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan reformasi sektor keamanan
karena bertentangan dengan sejumlah ketentuan dalam aturan perundang-undangan lainnya,
seperti UU pertahanan negara dan UU TNI itu sendiri. Selain itu, untuk mencegah terjadinya
pelanggaran terhadap hak konstitusional Para Pemohon akibat berlakunya UU A Quo, dengan ini
Para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi kiranya dapat menerbitkan Putusan
Sela yang menyatakan bahwa implementasi UU A Quo, khususnya yang terkait dengan rekrutmen
komponen cadangan, ditunda pelaksanaannya sepanjang UU A Quo masih dalam proses
pengujian di Mahkamah Konstitusi.
Jakarta, 31 Mei 2021
Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan
(Imparsial, Elsam, Public Virtue, KontraS, SETARA Institute, LBH Jakarta, PBHI, BEM
Universitas Indonesia, LBH Pers)
Narahubung:
- Husein Ahmad (Imparsial) – 081259668926
- Adelita Kasih (KontraS) – 081311990790
- Usman Hamid (Yayasan Kebajikan Publik Jakarta) – 0811812149
- Chikita Edrini (PBHI) – 08979339678
- Ikhsan Yosarie (Pemohon) – 082286389295
- Gustika Fardani Jusuf (Pemohon) – 087876236076
- Leon Alvinda Putra (Pemohon) – 087831217771