Siaran Pers
No.005/Siaran-Pers/IMP/V/2022
Imparsial, the Indonesian Human Rights Monitor
“Pemerintah Harus Meninjau Ulang Penunjukan Perwira TNI/Polri Aktif sebagai Pj
Kepala Daerah”
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) saat ini tengah mempersiapkan Penjabat (Pj)
kepala daerah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang akan mengakhiri
masa jabatannya pada tahun 2022 dan 2023. Penunjukan Pj kepala daerah ini dilakukan
akibat berakhirnya masa kerja kepala daerah tersebut yang telah menjabat selama lima
tahun, sementara pemilihan kepala daerah (pilkada) baru akan dilakukan secara serentak
pada tahun 2024. Berdasarkan catatan Kemendagri, terdapat 271 kepala daerah yang akan
mengakhiri masa jabatannya dengan rincian 101 kepala daerah pada 2022 dan 170 kepala
daerah pada 2023.
Dalam konteks penunjukan Pj kepala daerah tersebut, pemerintah membuka kemungkinan
berasal dari prajurit TNI dan personel Polri aktif. Wacana tersebut benar-benar telah
direalisasikan pada gelombang kedua, di mana dari 49 Pj kepala daerah yang ditunjuk oleh
Kemendagri setidaknya terdapat salah satunya masih berstatus TNI aktif.
Imparsial memandang, pemerintah dalam hal ini Kemendagri perlu mengkaji ulang rencana
penunjukan Pj kepala daerah dari unsur TNI/Polri aktif, mengingat hal tersebut
bertentangan dengan regulasi induknya, yaitu UU TNI dan UU Polri. Meski penunjukan Pj
dari yang berlatar belakang TNI/Polri dimungkinkan dalam UU Pilkada dan UU ASN, namun
regulasi induk tersebut tetap harus menjadi kerangka acuan utama. Sebagai anggota
TNI/Polri aktif mereka tentunya tetap harus tunduk pada regulasi induk yang mengaturnya,
termasuk ketika mereka mendapatkan penugasan di luar instansi induknya (TNI/Polri).
Dengan demikian, menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah untuk menjadikan regulasi
induknya sebagai rujukan dalam penunjukan Pj dari TNI/Polri. Jika pemerintah tetap
memaksakan rencananya, hal tersebut dapat menimbulkan berbagai persoalan, baik secara
hukum maupun implikasinya terhadap dinamika politik dan pemerintahan di daerah.
Secara aturan hukum, jika mengacu pada UU induknya, prajurit TNI dan personel Polri yang
ditugaskan ke jabatan sipil, atau dalam hal ini menjadi Pj kepala daerah, harus
mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu dari dinas kemiliteran. Pasal 47 ayat 1 UU
TNI menyatakan “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri
atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.” Hal yang sama juga bagi personel Polri, Pasal 28
ayat (3) UU Polri menegaskan “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat
menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas
kepolisian.” Berdasarkan dua ketentuan tersebut, sekiranya jelas jika statusnya masih
prajurit/personel aktif, maka tidak diperbolehkan mengemban jabatan tersebut. Dengan
demikian, sesuai argumen di atas, penunjukan Pj Bupati Seram Barat, Provinsi Maluku, yang
ditengarai statusnya masih perwira TNI aktif, bertentangan dengan UU TNI.
Penunjukan prajurit TNI aktif sebagai Pj kepala daerah berisiko menimbulkan konflik
hukum bagi prajurit TNI tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah, jika terdapat dugaan
pelanggaran tindak pidana, apakah Pj kepala daerah tersebut tunduk pada mekanisme
peradilan militer atau peradilan umum? Mengacu pada Pasal 9 ayat (1) tentang peradilan
militer disebutkan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI diproses melalui
peradilan militer. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa dengan statusnya yang masih
prajurit TNI aktif, maka Pj kepala daerah tunduk pada sistem peradilan militer, bukan
melalui mekanisme peradilan umum. Selama ini, sistem peradilan militer telah mengundang
banyak kritik, bukan hanya karena bertentangan dengan prinsip equality before the law, tapi
juga praktiknya yang sering tidak transparan dan akuntabel.
Lebih jauh, Imparsial juga memandang bahwa dalam penunjukan Pj kepala daerah tidak
cukup dengan hanya mengacu pada syarat-syarat formal sebagaimana diatur di dalam
berbagai perundang-undangan yang ada. Adalah penting bagi pemerintah untuk juga perlu
mempertimbangkan aspek kompetensi nama-nama calon yang diajukan. Dalam konteks ini,
menjadi penting proses penunjukan Pj kepala daerah dijalankan secara transparan,
akuntabel dan menyerap aspirasi publik terutama di daerah. Proses penunjukan yang
sifatnya tertutup dan tidak partisipatif adalah sesuatu yang harus dihindari. Sayangnya,
pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri belum membuat aturan pelaksana tentang
tata cara pengisian kekosongan jabatan kepala daerah sebagaimana yang diamanatkan oleh
Putusan MK No. 67 tahun 2021, sehingga proses penunjukan Pj kepala daerah saat ini
menimbulkan kegaduhan publik.
Berdasarkan pandangan di atas, Imparsial mendesak:
- Pemerintah, dalam hal ini Kemendagri harus meninjau ulang penunjukan prajurit
TNI/Personel Polri aktif sebagai Pj kepala daerah, termasuk terhadap calon Pj kepala
daerah Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku yang saat ini ditengarai masih
berstatus sebagai prajurit TNI Aktif; - Pemerintah dalam hal ini segera membuat aturan tentang tata cara pelaksanaan
pengisian kekosongan jabatan kepala daerah, sebagaimana diamanatkan dalam
putusan MK No. 67 tahun 2021 agar penunjukan Pj kepala daerah dilakukan secara
demokratis; - Menjamin transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik, khususnya aspirasi yang
berkembang di daerah, dalam proses penunjukan Pj Kepala Daerah, termasuk
membuka nama-nama yang diusulkan sehingga publik dapat memberikan masukan
kepada pemerintah terkait nama-nama yang diusulkan menjadi Pj kepala daerah.
Jakarta, 25 Mei 2022
Gufron Mabruri
Direktur
Kontak Person:
Gufron Mabruri (Direktur/0815-7543-4186)
Ardi Manto Adiputra (Wakil Direktur/0812-6194-4069 )
Link Rilis : file:///C:/Users/HP/Downloads/Siaran%20Pers%20Imparsial%20PJ%20Kepala%20Daerah%20TNI%20Polti%20Aktif-2%20(1)%20(2).pdf