“Pemerintah Cabut SKB Radikalisme ASN”
Press Release
Pemerintah melalui 6 Menteri dan 5 Kepala Lembaga Negara baru-baru ini menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Radikalisme dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan pada Aparatur Sipil Negara (ASN). SKB ini mengatur antara lain pembentukan Satuan Tugas (Satgas) dan jenis pelanggaran yang dilakukan oleh ASN (ujaran kebencian, hoax, dan keikutsertaan atau pelaksanaan kegiatan yang bertentangan). Pemerintah juga telah membuat portal aduan ASN yang dianggap melanggar jenis-jenis pelanggaran yang diatur dalam SKB tersebut.
IMPARSIAL memandang penerbitan SKB dan pembuatan portal aduan untuk ASN tersebut merupakan bentuk kebijakan yang eksesif dalam penanganan persoalan radikalisme di kalangan ASN. Alih-alih akan menyelesaikan, langkah ini justru berpotensi menimbulkan persoalan baru yang membatasi kebebasan berekspresi dan munculnya tindakan sewenang-wenang terhadap ASN. Keberadaan portal aduan ASN juga berpotensi menjadi instrumen politik kotrol terhadap ASN dan digunakan sebagai alat kontestasi antar-sesama ASN.
Sifat eksesif kebijakan tersebut dapat dilihat antara lain dari konsep ujaran kebencian pada poin 1 bagian kelima tentang jenis-jenis pelanggaran yang bersifat multitafsir, seperti tidak jelasnya istilah “ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah”. Karena tidak jelasnya batasan tersebut, hal itu bisa ditafsirkan secara subjektif untuk melaporkan ASN yang dianggap ekspresinya melanggar ketentuan tersebut.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, larangan ujaran kebencian sebenarnya telah diatur dalam KUHP, UU ITE, dan UU Penghapusan Diskriminasi. Terlepas dari adanya kiritik yang ada, keseluruhan aturan yang disebutkan tadi, kesemuanya bermaksud untuk melindungi person (individu). Sehingga ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah tidak dikenal dalam hukum.
Dalam menyatakan seseorang melakukan penyebaran ujaran kebencian atau tidak, tentu haruslah dibuktikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, yakni melalui mekanisme peradilan yang adil, bukan melalui tindakan admisitrasi negara apalagi berdasarkan laporan online. Terlebih lagi, satuan tugas (Satgas) ataupun Kementerian-kementerian tersebut tidak memiliki wewenang untuk menyatakan seseorang (dalam konteks ini adalah ASN) telah melakukan ujaran kebencian dan/atau penyebarluasan pemberitaan yang menyesatkan, karena hal tersebut merupakan kewenangan dari lembaga peradilan.
IMPARSIAL menilai bahwa penyebaran ujaran kebencian yang massif di ruang publik terutama di media sosial memang harus ditangkal dan ditangani dengan serius. Penyebaran ujaran ini tidak hanya menyerang martabat manusia, tetapi juga berdampak pada keberagaman sosial di masyarakat. Namun demikian, penting untuk ditegaskan bahwa upaya pencegahan dan penanganan ujaran kebencian oleh pemerintah, termasuk yang dilakukan oleh ASN, harus mengacu pada prinsip dan standar hak asasi manusia, terutama terkait perlindungan kebebasan berekspresi.
Untuk menjamin perlindungan atas kebebasan berekspresi, ujaran kebencian harus didefinisikan secara ketat (limitatif). Mengacu pada Pasal 20 ayat 2 ICCPR, ujaran kebencian yang dilarang dan pada level tertentu ditangani melalui proses hukum, merupakan ujaran kebencian yang memiliki unsur ajakan atau hasutan untuk melakukan tindakan kekerasan, diskriminasi dan permusuhan kepada individu atau kelompok atas dasar suku, agama, ras, golongan, orientasi seksual, dll.
IMPARSIAL mendesak pemerintah mencabut Portal Aduan sekaligus Surat Keputusan Bersama tentang Penanganan Radikalisme dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan pada Aparatur Sipil Negara. Upaya pencegahan dan penanganan ujaran kebencian termasuk yang melibatkan ASN hendaknya mengacu pada aturan dan mekanisme hukum yang ada.
Jakarta, 26 November 2019
Gufron Mabruri (Wakil Direktur Imparsial)
Ardi Manto Adiputra (Koordinator Peneliti Imparsial)
Anton Aliabbas (Peneliti Senior Imparsial)
Hussein Ahmad (Peneliti Imparsial)
Annisa Yudha (Peneliti Imparsial)