Imparsial

Merespon Statement Menko Polkam Budi Gunawan Terkait dengan Rencana Percepatan Eksekusi Mati Terhadap Terpidana Narkotika “Hukuman Mati Tidak Memberikan Efek Jera”

Siaran Pers Imparsial
No. 22/Siaran-Pers/IMP/XII/2024

Merespon Statement Menko Polkam Budi Gunawan Terkait dengan Rencana Percepatan Eksekusi Mati Terhadap Terpidana Narkotika

“Hukuman Mati Tidak Memberikan Efek Jera”

Pada Kamis, 5 Desember 2024 Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Budi Gunawan di hadapan pers menyatakan bahwa pemerintah sedang melakukan kajian untuk mempercepat eksekusi mati terhadap terpidana narkotika di Indonesia. “Para bandar dan pengedar juga akan dikenakan hukuman pidana maksimal, termasuk hukuman mati untuk memberikan efek jera”. Hal ini disampaikan oleh Menkopolkam Budi Gunawan dalam kesempatan Konferensi Pers Pemberantasan Narkoba di Mabes Polri.

Imparsial menilai, upaya untuk mempercepat pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana mati kasus narkotika merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip dan nilai hak asasi manusia. Pandangan Menkopolkam yang menyatakan bahwa hukuman mati akan menimbulkan efek jera adalah keliru dan tidak mengindahkan prinsip serta nilai HAM. Pelbagai penelitian sebenarnya telah menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara kejahatan, pidana mati dan efek jera. Berdasarkan data yang dihimpun Imparsial sepanjang tahun 2024 saja telah terdapat 44 kasus narkotika yang dijatuhi hukuman mati. Pada tahun 2015, Indonesia melaksanakan eksekusi mati terhadap 14 terpidana kasus narkotika. Namun, di tahun yang sama, jumlah kasus narkotika justru meningkat sebanyak 644 kasus. Pada tahun berikutnya, 2016, setelah mengeksekusi 4 terpidana mati terkait kasus serupa, BNN merilis data peningkatan jumlah kasus narkotika menjadi 881 kasus.

Penting untuk diingat bahwa, hukuman mati menyangkut hak atas hidup seseorang yang merupakan hak dasar manusia sebagaimana telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28I Ayat (1), hak tersebut dikategorikan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dalam hal ini negara atau pemerintah dan dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Lebih jauh, hukuman mati juga sangat bertentangan dengan tujuan pemidanaan dan juga filosofi pemidanaan di Indonesia yang menitikberatkan kepada rehabilitasi dan reintegrasi sosial yakni dengan melakukan perbaikan kepada pelaku. Apalagi pada kasus narkotika, terpidana narkotika seharusnya dapat dijadikan oleh pemerintah sebagai justice collaborator untuk membantu penyelesaian kasus dan membongkar mafia, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Selain itu, hukuman mati tidak layak diterapkan di Indonesia karena sistem peradilan kita yang sangat rentan, korup, masih banyaknya kasus korban salah tangkap dan juga praktik unfair trial. Praktik unfair trial ini marak terjadi mulai dari penangkapan dan pemeriksaan yang sewenang-wenang dengan menggunakan kekerasan hingga terpidana yang tidak didampingi oleh penasihat hukum selama proses persidangan. Anggaran yang digunakan pun tidak sedikit, menurut data Kepolisian Republik Indonesia pada tahun 2016, untuk mengeksekusi mati satu orang dibutuhkan anggaran sebesar Rp. 247.112.000,-.

Imparsial menilai, semestinya Menkopolkam Budi Gunawan sejalan dengan semangat pembaruan hukum di Indonesia yang telah menempatkan hukuman mati sebagai pidana pokok yang diancamkan secara alternatif. Menkopolkam semestinya menunggu kebijakan pemerintah tentang penerapan pidana mati yang saat ini sedang dibahas oleh pemerintah sendiri. Jangan sampai publik menganggap bahwa tidak ada koordinasi dan sinergi antar lembaga pemerintah sehingga menghasilkan kebijakan atau membuat statement yang berbeda-beda.

Lebih dari itu, usaha yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto dalam konteks untuk melindungi buruh migran Indonesia di luar negeri dari jerat hukuman mati akan menjadi sia-sia hanya karena penerapan hukuman mati di Indonesia. Adalah hal yang naif berusaha melindungi warga negara Indonesia dari jerat hukuman mati di negara lain tetapi di negara sendiri justru masih menerapkan hukuman mati. Sikap Pemerintah Indonesia yang masih terus menerapkan hukuman mati justru akan menjadi bumerang bagi Indonesia sendiri dalam melakukan advokasi maupun diplomasi di kancah internasional, khususnya pada kasus WNI yang terjerat hukuman mati di negara lain.

Jika merujuk pada Kovenan tentang Hak Sipil Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada 28 Oktober 2005 lewat UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights, hukuman mati hanya digunakan untuk kejahatan yang tergolong kejahatan yang paling serius (the most serious crimes), yaitu yang ditafsirkan oleh Komite Hak Asasi Manusia sebagai kejahatan yang sangat serius untuk melakukan pembunuhan yang disengaja. Untuk itu, kejahatan terkait narkoba tidak dapat dijadikan dasar untuk menjatuhkan hukuman mati.

Komisaris Tinggi HAM PBB dalam laporannya pada tahun 2023 menyatakan bahwa penanganan terhadap kejahatan yang berkaitan dengan narkotika harus dilakukan dengan menggunakan pendekatan hak asasi manusia dan juga dengan pendekatan kesehatan dengan cara melakukan dekriminalisasi terhadap penggunaan dan kepemilikan narkotika untuk kepentingan pribadi. Selain itu laporan tersebut juga mendorong agar negara-negara anggotanya untuk menyediakan hukuman alternatif selain pemenjaraan dan kurungan sebagai upaya untuk pengurangan dampak buruk narkotika.

Oleh karena itu kami mendesak kepada Menkopolkam Budi Gunawan untuk menghentikan upaya percepatan eksekusi terhadap terpidana mati di Indonesia. Sebaiknya Menkopolkam memiliki sikap yang sejalan dengan pembaharuan hukum di Indonesia saat ini yang tengah merumuskan aturan terkait dengan pidana mati. Alih-alih mempercepat pelaksanaan eksekusi mati, Imparsial justru mendesak kepada Pemerintah saat ini untuk melakukan moratorium resmi terhadap eksekusi mati mengingat berbagai persoalan terkait penerapan hukuman mati sebagaimana yang kami sampaikan di atas. Imparsial juga mendesak untuk jangka panjang Pemerintah Indonesia menghapuskan hukuman mati secara keseluruhan dalam sistem pidana Indonesia dan mengutamakan reformasi sistem peradilan pidana yang berkeadilan.

Jakarta, 5 Desember 2024

Ardi Manto Adiputra
Direktur Imparsial

Narahubung:

  1. Ardi Manto Adiputra (0812-6194-4069)
  2. Husein Ahmad (0812-5966-8926)
  3. Annisa Yudha (0857-1178-4064)
id_IDBahasa Indonesia