Imparsial

Menyikapi Penetapan KKB Papua sebagai Teroris: Penetapan KKB sebagai Teroris Akan Memperburuk Situasi HAM dan Keamanan Papua

Siaran Pers Imparsial

Dalam menyikapi perkembangan situasi keamanan di Papua pasca gugurnya Kabinda Papua, Brigjen I Gusti Putu Danny dalam kontak tembak dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), pemerintah menetapkan kelompok tersebut sebagai teroris. Menkopolhukam, Mahfud MD, menyatakan “pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan massif dikategorikan sebagai teroris”. 

Imparsial memandang, penetapan dan labelisasi KKB sebagai teroris akan berimplikasi buruk pada situasi HAM dan menghambat upaya penyelesaian konflik Papua secara damai. Langkah tersebut hanya akan memperkuat stigma yang menyakiti perasaan orang Papua sekaligus menunjukan kegagapan dan kebuntuan ide pemerintah dalam upaya penyelesaian konflik. Alih-alih menghentikan kekerasan seperti yang diminta dan dibutuhkan oleh masyarakat Papua, pemerintah justru terus mencari jalan pintas dengan melegitimasi kekerasan yang selama ini dilakukan. Padahal, penetapan KKB sebagai organisasi teroris akan berujung pada meningkatnya eskalasi kekerasan yang bermuara pada instabilitas kondisi keamanan dan maraknya pelanggaran HAM di Papua, serta memperrumit penyelesaian konflik secara damai.

Lebih dari itu, penetapan KKB sebagai teroris sama sekali tidak menyentuh masalah pokok yang selama ini terjadi di Papua. Penetapan tersebut hanya akan semakin melegitimasi pendekatan keamanan yang militeristik terhadap konflik Papua. Berbagai studi menyebutkan bahwa masalah Papua bukanlah masalah keamanan semata, dan karenanya membutuhkan pendekatan yang komprehensif.

Berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), setidaknya terdapat 4 sumber konflik Papua yakni: (a) sejarah integrasi, status dan integritas politik; (b) kekerasan politik dan pelanggaran HAM; (c) kegagalan pembangunan; (d) marjinalisasi orang Papua dan inkonsistensi kebijakan otonomi khusus. Tanpa dibarengi dengan upaya yang sifatnya komprehensif untuk menyelesaikan keempat sumber konflik tersebut, upaya penyelesaian konflik Papua tidak akan tuntas dan gejolak sosial-politik seperti sekarang berpotensi terus berulang di masa datang.

Selain itu, penetapan KKB sebagai teroris bertentangan dengan hukum yang berlaku. Pencantuman sebuah organisasi sebagai organisasi teroris dapat dilakukan setelah mendapatkan penetapan oleh pengadilan sebagaimana diatur oleh Pasal 12A ayat (2) UU No. 5 Tahun 2018 tentang Terorisme dan Pasal 27 UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Artinya, penetapan sebuah organisasi sebagai teroris harus dilakukan melalui mekanisme hukum, bukan mekanisme politik.

Imparsial menilai, sudah saatnya kebijakan penyelesaian konflik Papua tidak bersifat top-down, tapi harus berasal dari konsensus bersama. 

Pemerintah juga harus mengambil pendekatan yang inklusif dan komprehensif, khususnya melalui cara-cara dialog yang damai dan bermartabat dalam menyelesaikan persoalan Papua. Bukan menggunakan pendekatan keamanan yang militeristik. Penggunaan pendekatan yang eksesif dan koersif hanya akan memperpanjang daftar pelanggaran HAM.

Pemerintah sejatinya memiliki modal dan pengalaman historis untuk menyelesaikan konflik Papua dengan pendekatan damai dan bermartabat melalui jalan dialog seperti pada konflik Aceh. Pengalaman penyelesaian konflik Aceh semestinya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk penyelesaian konflik Papua.  

Imparsial mendesak, pemerintah sebaiknya mencabut penetapan KKB sebagai teroris karena akan memperburuk siklus kekerasan sebagai salah satu masalah utama buruknya situasi HAM dan kemanusiaan di Papua. Langkah penting lainya adalah Presiden segera mewujudkan komitmennya secara nyata untuk menyelesaikan persoalan Papua melalui jalan dialog. Kepemimpinan politik Presiden dibutuhkan untuk mendorong rasa saling percaya dan tampil memimpin penyelesaian konflik Papua secara damai dan bermartabat.

Jakarta, 30 April 2021

Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor)

Narahubung:

Gufron Mabruri (Direktur IMPARSIAL) +62 812-1334-0612

Ardi Manto Adiputra (Wakil Direktur IMPARSIAL) +62 81261944069

Hussein Ahmad (Peneliti IMPARSIAL) 081259668926

id_IDBahasa Indonesia