Senin, 25 Januari 2021 20:04 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Imparsial, ELSAM, LBH Pers, SETARA Institute, HRWG, KontraS, PBHI, IDeKA Indonesia, dan Centra Inisiative mengkritik pemerintah terkait pembentukan Komponen Cadangan (komcad).
Mereka memandang pembentukan komcad merupakan langkah yang terburu-buru.
Selain itu, menurut mereka kerangka pengaturannya di dalam Undang-Undang PSDN juga memiliki beberapa permasalahan yang cukup fundamental karena dinilai mengancam hak-hak konstitusional warga negara dan mengganggu kehidupan demokrasi.
Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai jika rencana tersebut tetap dipaksakan, keberadaan komponen cadangan bukannya akan memperkuat pertahanan negara, namun justru memunculkan masalah-masalah baru.
“Dalam konteks ini, pemerintah semestinya mencermati secara serius berbagai kritik dan penolakan publik terkait rencana pembentukan Komponen Cadangan Pertahanan Negara,” kata Gufron ketika dikonfirmasi pada Senin (25/1/2021).
Gufron menilai pembentukan komponen tersebut hendaknya dijalankan dengan mempertimbangkan skala prioritas agenda reformasi sektor keamanan terutama pembangunan TNI yang masih menyisakan pekerjaan rumah (PR).
PR tersebut, kata Gufron, di antaranya modernisasi alutsista yang tertatih-tatih karena anggaran yang terbatas, minimnya kesejahteraan prajurit dan beberapa agenda reformasi TNI yang belum tuntas.
“Pemerintah seharusnya fokus pada pembangunan TNI, bukan mengeluarkan anggaran untuk pembentukan Komponen Cadangan yang urgensinya masih dipertanyakan,” kata Gufron.
Gufron mengatakan pihaknya juga menilai kerangka pengaturan Komponen Cadangan dalam UU PSDN juga memiliki banyak permasalahan serius.
Secara ringkas, sejumlah permasalah tersebut di antaranya luasnya ruang lingkup ancaman yang diatur dalam UU PSDN.
Kedua, kata dia, narasi bela negara yang dibangun oleh pemerintah inkonsisten.
Ketiga, keberadaan komponen cadangan yang tidak jelas–apakah termasuk militer atau sipil–menimbulkan potensi pelanggaran hukum humaniter internasional khususnya prinsip pembedaan (distinction principle).
Keempat, UU PSDN tidak mengadopsi prinsip dan norma hak asasi manusia secara penuh.
Kelima, lanjut Gufron, mekanisme pembiayaan dalam Undang-Undang PSDN bermasalah karena bertentangan dengan prinsip sentralisasi anggaran pertahanan.
Berangkat dari hal tersebut, kata Gufron, pihaknya menilai pemerintah salah kaprah dan jelas melakukan militerisasi dengan mempercepat implementasi lewat PP No. 3 Tahun 2021 tentang PSDN.
“Seharusnya, Presiden melakukan legislative review terhadap UU ini sebelum UU ini diimplementasikan,” kata Gufron.
Ia mengatakan pihaknya juga mendesak Pemerintah fokus untuk memperkuat komponen utamanya yakni TNI dalam hal penguatan alutsista, peningkatan kapasitas profesionalisme TNI, dan peningkatan kesejahteraan prajurit di tengah kondisi anggaran pertahanan yang terbatas.
Ketiga, kata Gufron, Jika ingin didorong, pembentukan komponen cadangan sebaiknya fokus melibatkan pegawai negeri sipil saja dan tidak perlu menjadikan masyarakat secara umum sebagai bagian objek dari pelatihan dasar kemiliteran.
“Jumlah PNS yang cukup besar dapat menjadi potensi untuk komponen cadangan, serta kontrol terhadap PNS pasca pelatihan juga lebih terukur ketimbang masyarakat secara umum,” kata Gufron.