3 masalah Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) yang dilaporkan meliputi regulasi; perlindungan; dan perspektif gender.
Indonesia akan mengikuti universal periodic review (UPR) atau tinjauan berkala universal tahun 2022 yang akan digelar Badan HAM PBB. Koalisi yang terdiri dari Ahlulbait Indonesia, BASOLIA, LBH Masyarakat, Fahmina Institute, Fatayat Nahdlatul ‘Ulama Bandung, Gusdurian, HRWG, IMPARSIAL, YLBHI, INKLUSIF, LK3 Banjarmasin, JAKATARUB, KontraS, Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia, dan lainnya telah menyampaikan laporan kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) periode 2017-2021 ke Dewan HAM PBB.
Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto, dalam UPR periode sebelumnya tahun 2017, pemerintah Indonesia mendapat 20 rekomendasi terkait jaminan perlindungan hak atas KBB. Sayangnya, tidak semua rekomendasi yang diterima pemerintah itu dilaksanakan dengan baik. Setidaknya ada 3 persoalan KBB yang dilaporkan koalisi kepada PBB.
Pertama, persoalan regulasi terkait KBB. Koalisi mencatat masih ada regulasi baik di tingkat nasional dan daerah yang bertentangan dengan norma KBB yang dijamin hukum dan HAM. Misalnya, penodaan agama (blasphemy) yang diatur dalam Pasal 156a KUHP; di ranah digital terdapat Pasal 28 ayat 2 UU ITE jo Pasal 45A ayat 2 UU ITE; dan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat (PBM 2006).
“Regulasi itu sering digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat atau kelompok yang tidak sejalan dengan pemahaman mainstream. Bahkan menjadi sarana pembatasan atas KBB, khususnya terkait pendirian rumah ibadat,” kata Ardi dalam diskusi bertema Laporan Masyarakat Sipil tentang Kondisi KBB di Indonesia Periode 2017-2021 dalam UPR Indonesia 2022, Kamis (14/4/2022)
Baca Selanjutnya….