27 Januari 2021 | 19:29:31
Oleh: Amalia Suri
PUBLICANEWS-KEWAJIBAN penggunaan kerudung yang diberlakukan kepada siswi muslim dan non-muslim di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat, mengundang perhatian luas dari berbagai kalangan.
Isu ini bermula dari adanya unggahan video perdebatan antara salah satu orang tua murid siswi dengan pihak sekolah terkait kebijakan penggunaan kerudung. Siswi yang bersangkutan juga mengunggah surat pernyataan ketidaksediaannya mengikuti aturan memakai kerudung di sekolahan melalui akun Facebooknya.
Dalam video yang beredar, Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan SMKN 2 Padang, mengakui bahwa memang terdapat aturan terkait tata cara berpakaian bagi para peserta didik, salah satunya adalah kewajiban menggunakan kerudung bagi siswi di sekolah tersebut.
Dari hasil investigasi Dinas Pendidikan Sumatera Barat, terdapat 46 siswa non-muslim yang bersekolah di SMKN 2 Padang.
Imparsial memandang, kebijakan yang mewajibkan penggunaan kerudung terhadap siswi non-muslim di satuan-satuan pendidikan yang dikelola pemerintah dan/atau pemerintah daerah merupakan bentuk diskriminasi dan melanggar hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan yang dijamin oleh Konstitusi.
Satuan-satuan pendidikan tersebut seharusnya menghormati keragaman agama atau keyakinan peserta didik. Dalam konteks ini, sekolah negeri termasuk kebijakan yang diterapkan kepada peserta didik, tidak sepatutnya berafiliasi dengan agama atau keyakinan tertentu.
Sebaliknya, sekolah harus mempromosikan kesadaran untuk saling menghormati perbedaan dan keragaman agama atau keyakinan, serta mengambil langkah-langkah yang efektif untuk menghilangkan kebijakan dan praktik diskriminatif.
Pengaturan terkait pakaian seragam sekolah sejatinya telah diatur secara jelas dalam Pasal 3 ayat (4) huruf d Permendikbud 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah yang berbunyi: “Pakaian seragam khas sekolah diatur oleh masing-masing sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing.”
Aturan ini seharusnya menjadi acuan oleh satuan-satuan pendidikan dalam menyusun peraturan tentang seragam sekolah sehingga menjamin hal-hal prinsipil, seperti hak untuk beragama dan mendapat pendidikan.
Persoalan mengenai penggunaan simbol dan atribut keagamaan merupakan bagian dari hak beragama atau berkeyakinan di mana negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhinya.
Prinsip HAM menegaskan kewajiban negara untuk menjaga kebebasan positif dan negatif hak beragama atau berkeyakinan secara bersamaan. Kebebasan positif adalah kebebasan setiap orang untuk menggunakan simbol agama, seperti jilbab, cadar, turban, dan kipran, sebagai sebuah pilihan yang bebas, tanpa paksaan.
Sebaliknya, kebebasan negatif mengharuskan negara atau otoritas publik lainnya untuk tidak menerapkan penggunaan simbol atau atribut keagamaan tersebut secara paksa terhadap individu atau kelompok tertentu. (SNP-KBB)
Imparsial menilai, isu terkait seragam sekolah dengan atribut agama tertentu yang dipaksakan kepada peserta didik harus disikapi secara serius mengingat hal ini tidak hanya terjadi di Padang, tetapi juga di daerah lain seperti Yogyakarta, Depok, Riau, Bali, Maumere, dan lain-lain.
Maraknya kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita belum mengadopsi prinsip-prinsip penghargaan terhadap keberagaman agama dan keyakinan di masyarakat. Tidak hanya dalam peraturan terkait seragam sekolah, namun dalam kurikulum dan/atau konten bahan ajar, serta kegiatan rutinitas sekolah juga perlu mengedepankan prinsip-prinsip tersebut.
Jika persoalan ini tidak dibenahi oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah, maka satuan-satuan pendidikan bisa menjadi tempat persemaian benih-benih sikap penolakan terhadap keberagaman terutama bagi kalangan anak-anak (peserta didik) yang dapat berkontribusi mendorong semakin kuatnya segregasi sosial dan intoleransi di tengah masyarakat.
Aturan yang mewajibkan penggunaan kerudung untuk siswi di sekolah seringkali berlandaskan pada alasan-alasan yang mengada-ngada dan bias gender, seperti agar siswi tidak digigit nyamuk, menghindari perundungan, dan melindungi siswi dari pelecehan seksual. Pemberlakuan aturan ini justru tidak menyasar permasalahan utama yang terjadi di lingkungan sekolah.
Respon tegas yang diberikan Kemendikbud atas kasus yang terjadi di Padang merupakan langkah yang baik. Namun demikian, diperlukan langkah-langkah yang lebih komprehensif dan sistemik untuk menghindari kejadian berulang. Sehingga persoalan diskriminasi dan intoleransi di lingkungan pendidikan dapat dihapus. Kasus ini seyogyanya dapat menjadi momentum untuk menjadikan sekolah sebagai zona pendidikan toleransi.
Berdasarkan pemaparan di atas, Imparsial mendorong:
1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu mengevaluasi sistem dan peraturan diskriminatif di lingkungan sekolah, mengingat peristiwa pemaksaan simbol, atribut, dan ritual agama tertentu kepada siswa yang berbeda agama terjadi di sejumlah daerah.
2. Penguatan pengawasan dan akuntabilitas terhadap implementasi peraturan yang berlaku sehingga tidak terjadi diskriminasi berulang.
3. Semua pihak, tak terkecuali pihak sekolah untuk turut serta dalam menjamin pemenuhan hak beragama atau berkeyakinan, memberikan perlindungan terhadap anak dari segala bentuk diskriminasi, salah satunya dengan membuat aturan yang inklusif untuk semua siswa sehingga tidak terjadi tindakan diskriminatif dan intoleran terhadap kelompok siswa tertentu.
4. Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu menjadikan SNP-KBB yang dibuat oleh Komnas HAM sebagai panduan dalam mengimplementasikan jaminan perlindungan hak atas KBB, termasuk di lingkungan pendidikan.***
Amalia Suri
Peneliti Imparsial