Hukuman Mati dan Peradilan yang Tidak Adil

Lebih baik sepuluh orang bersalah lolos, daripada satu orang tak berdosa dihukum.”
William Blackstone

Salah satu kritik paling jamak muncul terhadap hukuman mati adalah bahwa ia tidak dapat ditarik kembali. Jika kesalahan penghukuman yang lain masih dapat dikoreksi hingga taraf tertentu, tidak ada cara untuk mengembalikan nyawa seseorang yang dihukum karena kekeliruan.

Hal ini diperparah dengan kecenderungan maraknya salah vonis. Di Amerika Serikat sejak 1973, misalnya, setidaknya 121 vonis hukuman mati telah dicebut setelah muncul bukti bahwa mereka tidak bersalah. Pada rentang yang sama, lebih dari 982 orang telah dihukum mati pada periode yang sama. Artinya, rata-rata ada 1 orang tidak bersalah dalam setiap 8 hukuman mati.

Di Indonesia, sulit untuk memperoleh data yang tepat terkait kesalahan vonis hukuman mati. Namun kombinasi buruknya akses kepada bantuan hukum, maraknya praktik penyiksaan, inkompetensi dalam proses peradilan dan Peninjauan Kembali (PK), hingga minimnya kesadaran dan pengetahuan tentang kesehatan mental yang terlihat dalam vonis hukuman mati selama ini menyiratkan kondisi yang tidak lebih baik.

Sebagai contoh, kita bisa melihat kisah 3 dari 18 orang yang divonis mati di era pemerintahan Presiden Jokowi: Zulfiqar Ali, Zainal Abidin, serta Rodrigo Gularte.

Kasus Zulfiqar Ali

Kasus Zulfiqar Ali berawal dari tertangkapnya Gurdip Singh, seorang warga negara India, oleh polisi di Bandara Soekarno-Hatta saat hendak berangkat ke Surabaya pada tanggal 29 Agustus 2004. Gurdip tertangkap membawa heroin seberat 300 gram yang diselipkan di dalam kaos kakinya. Gurdip yang saat itu ditangkap polisi dipaksa untuk memberikan nama pemilik heroin tersebut. Gurdip lalu menyebut nama Hillary sebagai pemilik heroin. Lalu karena tidak berhasil menangkap Hillary, Gurdip dipaksa untuk menyebut nama lain yang terlibat dalam kasusnya tersebut. Gurdip yang sebelumnya pernah dibantu oleh Zulfiqar Ali terkait masalah keuangan, termasuk juga yang meminjamkan uang seharga tiket pesawat dari Jakarta ke Surabaya, lalu menyebut nama Zulfiqar Ali.

Gurdip lalau menelpon Zulfiqar Ali dan mengaku bahwa ia sedang berurusan dengan polisi akibat berkelahi dengan orang Indonesia. Sambungan telepon itu lalu terputus tanpa Gurdip sempat memberi tahu dimana ia berada kepada Zulfiqar. Zulfiqar lalu menelepon Gurdip, namun justru yang menjawab adalah polisi. Polisi tersebut juga tidak memberikan penjelasan apa-apa tentang apa yang menimpa Gurdip. Zulfiqar Ali yang saat itu tinggal di Bogor lalu berkeliling ke Jakarta mencari keberadaan Gurdip, namun tidak berhasil.

Sebelumnya, Zulfiqar Ali mengenal Gurdip Singh melalui temannya yang bernama Rana, seorang berkebangsaan Pakistan yang kebetulan bertemu dengan Gurdip di sebuah Kantor Imigrasi di Jakarta. Gurdip mengaku kepada Rana bahwa ia tidak punya pekerjaan dan juga tempat tinggal. Rana yang tidak memiliki solusi lalu bercerita pada Zulfiqar bahwa ada seseorang berkebangsaan India yang tidak memiliki tempat tinggal maupun sanak saudara, agar Zulfiqar membantu orang tersebut. Zulfiqar yang merasa kasihan berkenalan dengan Gurdip tanpa mengetahui bagaimana rekam jejak Gurdip. Hingga suatu ketika Gurdip meminta bantuan kepada Zulfiqar untuk dibelikan tiket ke Surabaya dengan alasan urusan bisnis dan akan mengganti tiket tersebut ketika pulang ke Jakarta.

Tiga bulan kemudian, yaitu pada tanggal 21 November 2004 sekitar pukul 12.00 WIB (22 November 2004 dini hari), tujuh orang polisi mendatangi kediaman Zulfiqar Ali dan istrinya Siti di Bogor. Dengan menodongkan pistol ke kepala Zulfiqar dan tanpa membawa surat perintah penangkapan maupun penahanan dan penggeledahan, polisi menggeledah rumah Zulfiqar serta menggiring Zulfiqar Ali dan Taslim Raza Khan, temannya yang pada hari itu sedang berkunjung ke kediamannya, ke dalam mobil. Baru ketika Zulfiqar dan Taslim berada di dalam mobil, beberapa polisi tersebut mengikat dan metutup mata Zulfiqar dan Taslim serta memukuli mereka dengan menggunakan pistol sampai kepala keduanya (Zulfiqar dan Taslim) luka dan berdarah.

Pada penggeledahan di rumah Zulfiqar Ali tersebut polisi tidak menemukan satu pun barang bukti. Aparat kepolisian lalu membawa Zulfiqar Ali dan Taslim ke rumah Taslim di Bilangan Cibubur yang kemudian juga ikut digeledah, namun hasilnya pun nihil. Setelah itu, mereka pergi ke kosan Ginong Pratidina di daerah Kuningan, Jakarta. Ginong adalah teman Zulfikar Ali yang sebelumnya berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di sebuah tempat kursus Primagama di Jakarta. Kosan Ginong juga ikut digeledah, namun tidak ditemukan bukti apapun di kosan tersebut kecuali obat Panadol milik Ginong.

Taslim yang awalnya ikut diringkus dan ditahan oleh polisi, kemudian baru dibebaskan satu tahun kemudian tanpa dakwaan. Menurut Zulfiqar, pihak polisi sengaja menahan Taslim agar ia tidak bisa memberikan kesaksian yang dapat menyelamatkan Zulfiqar. Baru ketika Taslim akhirnya dibebaskan, ia pun langsung pulang ke Pakistan dan memberikan affidavit yang menceritakan penganiayaan polisi terhadap dirinya dan Zulfiqar ketika ditangkap dan diinterogasi:

“Had he been interrogated by the police fairly and squarely, Zulfiqar Ali would not have been pleaded guilty. He was scared when he saw everyone was threatening him with gun. And police said if Zulfiqar Ali didn’t accept the stuff-heroin-belonged to him, police would definitely shot him to death at night.”

Kesaksian (affidavit) Muhammad Taslim Raza Khan yang disaksikan dan disahkan oleh Oath Commissioner Lahore, Pakistan.

Zulfiqar Ali memberitahu tempat tinggal Ginong itu kepada polisi dengan maksud bahwa Ginong dapat memberikan kesaksian yang meringankan kepada dirinya, bahwa aktifitasnya di Jakarta tidak ada yang berkaitan dengan narkotika. Namun tak disangka, Ginong yang berlatar belakang sarjana sastra Inggris dan berprofesi guru itu ikut terjebak dalam kasus Zulfiqar Ali karena ditemukan beberapa butir obat Panadol di tempat kost-nya.          

Zulfiqar Ali kemudian dibawa ke sebuah lokasi yang ia yakini sebagai kantor polisi di dekat Bandara Soekarno-Hatta dan ditahan di lokasi tersebut selama empat hari. Selama berada di tempat inilah, Zulfiqar mengaku mengalami berbagai kekerasan dan penyiksaan oleh oknum anggota kepolisian, seperti diikat, dipukul dengan tongkat, ditendang, dan diseret menggunakan mobil dengan tangan terikat dengan maksud agar Zulfiqar Ali mengakui tuduhan polisi dan menandatangi BAP. Zulfiqar yang terus- menerus dianiaya pun akhirnya menandatangani dokumen tersebut,  tanpa mengetahui apa yang tertulis di dalamnya berhubung ia pada saat itu masih memiliki pemahaman akan Bahasa Indonesia yang buruk dan tanpa didampingi oleh penerjemah.

Dalam kurun waktu ini pula, istri Zulfiqar Ali, Siti mengaku berkeliling mencari keberadaan suaminya dari Polsek Bogor hingga ke Jakarta. Baru kemudian setelah empat hari berselang sejak penangkapan, Siti akhirnya bisa bertemu dengan suaminya di Polda Metro Jaya. Kondisi Zulfiqar Ali pada saat ditemui oleh istrinya sangat mengkhawatirkan. Berbagai bekas luka dan lebam terdapat disekujur tubuh Zulfiqar, termasuk di wajah dan kepala. Siti tidak diperkenankan membawa alat elektronik apapun pada saat bertemu dengan suaminya sehingga dia tidak bisa mendokumentasikan kondisi suaminya pada saat itu.

Pada saat penangkapan pihak kepolisian tidak menunjukkan surat penangkapan. Surat penangkapan baru  diberikan  kepada  Zulfiqar  Ali  tiga (3) hari setelah penangkapan. Padahal, kasus Zulfiqar Ali bukanlah kasus tertangkap tangan melainkan dituduh sebagai pemilik heroin dari seorang tersangka yang bernama Gurdip Singh yang sudah ditangkap tiga bulan sebelumnya di Bandara Sukarno Hatta. Dengan demikian, adalah sebuah kewajiban bagi pihak kepolisian untuk memegang surat perintah penangkapan terlebih dahulu sebelum melakukan berbagai tindakan (upaya) paksa terhadap Zulfiqar Ali.

Pada saat penangkapan polisi juga melakukan penggeledahan di rumah Zulfiqar Ali, namun kepolisian tidak menemukan barang bukti apapun yang terkait dengan tuduhan kejahatan narkotika. Penggeledahan ini tentunya juga tidak disertai dengan surat perintah penggeledahan. Dimana, dengan tuduhan bahwa Zulfiqar Ali merupakan bagian dari  pelaku  kejahatan  yang telah ditangkap sebelumnya maka surat perintah penggeledahan seharusnya sudah dimiliki oleh kepolisian. Begitupun halnya dengan penahanan terhadap Zulfiqar Ali, kepolisian tidak mampu menunjukkan surat perintah penahanan. Dengan demikian segala upaya paksa yang dilakukan oleh polisi terhadap Zulfiqar Ali seharusnya bersifat batal demi hukum.

Proses persidangan kasus Zulfiqar Ali dimulai pada 20 Januari 2005 di Pengadilan Negeri Tangerang. Hingga saat persidangan akan dimulai, Zulfiqar Ali masih belum didampingi oleh penasehat hukum. Zulfiqar yang memang awam terhadap masalah hukum kemudian diperintahkan oleh hakim agar segera mencari penasehat hukum karena menurut majelis hakim Zulfiqar Ali diancam dengan pasal yang hukumannya lebih dari lima tahun.

Pada persidangan awal, ditemukan bahwa foto  yang  terdapat  dalam  BAP Zulfiqar  Ali  bukanlah  foto  dirinya,  melainkan  foto  Gurdip  Singh.  Di dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang, hakim sempat mempertanyakan mengenai hal ini kepada penuntut umum serta meminta agar foto Gurdip tersebut diganti dengan foto Zulfiqar Ali sebagaimana semestinya. Menurut Zulfiqar Ali foto dirinya pada saat  pemeriksaan  tidak memungkinkan untuk ditempatkan di dalam BAP karena dapat menunjukkan praktek kekerasan yang dialaminya, sehingga penyidik tidak mau menempatkan foto tersebut dalam BAP Zulfiqar Ali.

Sejak ditangkap pada tahun 2004, Zulfiqar Ali tidak fasih berbahasa Indonesia, dia hanya fasih berbahasa Urdu, Pakistan, dan hanya sedikit mengerti bahasa Hindi serta menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan tertentu saja. Tidak ada penerjemah yang disediakan baik  oleh kepolisian maupun kejaksaan dalam setiap tahap penyidikan. Hanya seorang polisi yang bisa berbahasa inggris yang mendampingi Ali selama pemeriksaan di kepolisian yang kemuduan justru dijadikan saksi yang memberatkan dirinya dari pihak kepolisian di dalam persidangan.

Di dalam pemeriksaan di sidang pengadilan Zulfiqar Ali kemudian mempertanyakan mengapa penerjemahnya ikut memberikan kesaksian, atas dasar itu lalu majelis  hakim  kemudian  mengganti  penerjemah untuk Zulfiqar Ali, tetapi penerjemah itu tetap bukan dalam bahasa yang dimengerti dengan baik oleh Zulfiqar melainkan penerjemah dalam bahasa Inggris.

Zulfiqar Ali tidak diberikan akses untuk menghubungi pihak kedutaan Pakistan sejak penangkapanya pada 22 November 2004. Pada tahap penyidikan  oleh  kepolisian,  penyidik  yang  bersangkutan   pada   saat   itu beralasan bahwa kantor Kedutaan Pakistan di Jakarta tidak dapat dihubungi karena  sedang  tutup.  Namun  selanjutnya,  setelah  Zulfiqar  Ali mengkonfirmasi ulang untuk dapat menghubungi Kedutaan Besar Pakistan tidak ada tindak lanjut  dari  penyidik.  Barulah  setelah  Zulfiqar Ali mempunyai pengacara, dia berhasil meminta pengacaranya untuk menghubungi Kedutaan Besar Pakistan di Jakarta.

Ketika proses persidangan kasus Zulfiqar Ali di Pengadilan Negeri Tangerang,

Gurdip Singh yang dihadirkan sebagai saksi pada saat itu memberikan kesaksian bahwa Zulfiqar Ali dan Ginong sebenarnya tidak terlibat di  dalam kasus ini, serta bahwa ia (Gurdip Singh) telah dipaksa, disiksa, serta diiming-imingi akan diberikan keringanan hukuman jika menyebutkan bahwa heroin itu milik Zulfiqar Ali. Dalam  putusannya  majelis  hakim  tidak mempertimbangkan sedikitpun pernyataan Gurdip tersebut karena dianggap bertentangan dengan keterangannya di dalam BAP. Ginong pun demikian, ketika menjadi saksi di dalam persidangan kasus Zulfiqar Ali menyatakan bahwa dirinya bersama Zulfiqar Ali tidak terlibat sama sekali dengan kasus narkotika ini. Namun, majelis hakim tidak menghiraukan kesaksian yang diberikan Ginong di dalam persidangan tersebut.

Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh penyidik disebutkan bahwa Zulfiqar Ali mencampur heroin yang dimaksud dengan Panadol di rumahnya di Bogor di satu waktu pada tanggal 28 Agustus 2004, sehari sebelum Gurdip ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta. Padahal berdasarkan surat keterangan dari rumah sakit dan kwitansi pembelian obat Zulfiqar Ali, pada tanggal 28 Agustus tersebut Zulfiqar sedang berada di Rumah Sakit Jakarta untuk melakukan pemeriksaan medis  ditemani oleh Muhammad Taslim Raza Khan warga negara Pakistan.

Zulfiqar Ali juga mengaku “ditawari” oleh jaksa agar membayar sejumlah uang senilai Rp.400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) agar hukumannya bisa diringankan dari seumur hidup menjadi 20 tahun saja. Zulfiqar yang merasa tidak bersalah menolak tawaran tersebut. Nilai “tawaran” tersebut kemudian menurun menjadi Rp200.000.000 (dua ratus juta). Menurut Zulfiqar, kalau punya uang sebanyak itu, lebih baik untuk istri dan anaknya. Setelah menolak tawaran jaksa tersebut, Zulfiqar justru “ditambahkan” hukumannya dan dijatuhi vonis mati oleh PN Tangerang pada 14 Juni 2005 dengan putusan No. 138/Pid.B/2005/PN.TNG tanggal 14 Juni 2005.

Atas putusan tersebut Zulfiqar melalui penasehat hukumnya langsung mengajukan banding pada hari yang sama ke Pengadilan Tinggi Banten. Sayangnya, upaya hukum banding tersebut berakhir dengan putusan yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang yakni dengan nomor putusan No. 30/Pid/2005/PT.BTN tanggal 29 Agustus 2005. Merasa tidak bersalah, Zulfiqar melalui penasehat hukumnya melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung pada 20 Oktober 2005. Namun Mahkamah Agung kembali menolak upaya hukum kasasi yang diajukan oleh Zulfiqar Ali pada tanggal 20 Januari 2006 melalui putusan No. 2253 K/ Pid/2005.

Lalu, pada tanggal 10 Oktober 2007 Gurdip memberikan pernyataan tertulis berisi pengakuan yang sama, yakni menyatakan bahwa Zulfiqar   Ali sebenarnya tidak terlibat dalam kasus narkotika ini. Namun kali ini pernyataan tersebut dibuat dihadapan notaris serta dimasukkan ke dalam affidavit. Pernyataan ini kemudian digunakan oleh Zulfiqar Ali untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap perkaranya pada 7 Januari 2008. Sayangnya, pada tahun 2009 upaya hukum luar biasa ini ditolak oleh Mahkamah Agung. PK kedua kembali diajukan oleh Zulfiqar Ali namun Mahkamah Agung tidak berubah pada pendiriannya dan menolak kembali PK kedua tersebut pada 5 Mei 2014.

Penolakan ini membuat Zulfiqar Ali dimasukkan ke dalam daftar eksekusi gelombang ke-3 pada 29 Juli 2016 lalu. Walaupun begitu, atas desakan dari berbagai pihak Zulfiqar Ali bersama sembilan orang terpidana mati lainnya yang sebelumnya sudah dipersiapkan untuk dieksekusi, batal dilakukan. Diantaranya adalah yang dilakukan oleh mantan presiden B.J Habibie yang mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi dengan menyatakan bahwa Zulfiqar Ali sebenarnya tidak bersalah. Presiden Habibie juga meminta kepada Presiden Jowoki untuk meninjau kembali keputusan eksekusi tersebut. Lebih jauh, presiden Habibie juga menyarankan Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan penetapan kebijakan moratorium hukuman mati. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi untuk memberikan pengampunan kepada Zulfiqar Ali sebanyak dua kali, yakni pada bulan Oktober 2016 dan pada bulan Februari 2018.

Zulfiqar Ali kemudian didiagnosis dengan kanker hati yang sudah stadium 4 pada sekitar bulan Desember 2017. Hal ini tentunya membuat Zulfiqar dan keluarga khawatir karena satu-satunya harapan hidup bagi Zulfiqar hanyalah transpalatasi hati yang itupun tidak dapat dilakukan di Indonesia, melainkan di China atau Singapura. Harapan sempat muncul ketika Presiden Jokowi berbicara kepada parlemen Pakistan selama kunjungan resmi pada Januari 2018. Perdana Menteri Shahid Khaqan Abbasi dan anggota parlemen mendesak Presiden Jokowi untuk memberikan grasi kepada Zulfiqar agar dia bisa menjalani pengobatan (operasi transpalantasi) atau setidaknya mengembalikan Zulfiqar ke Pakistan untuk menjalani hari-hari terakhirnya bersama keluarga.

Presiden Jokowi lalu merespon hal tersebut dengan cukup positif dan berjanji akan memberikan grasi dengan alasan kemanusiaan. Zulfiqar Ali yang sebelumnya enggan mengajukan grasi karena merasa dirinya tidak bersalah, dengan dibujuk oleh keluarga dan Imparsial akhirnya mengajukan grasi pada 6 Maret 2018. Permohonan itu diajukan melalui Pengadilan Negeri Tangerang, yang kemudian meneruskannya ke Mahkamah Agung pada 4 April 2018. Kementrian Hukum dan HAM juga telah memberikan rekomendasi  tentang  pemberian  grasi   kepada  Zulfiqar,   dengan   alasan

bahwa kanker hati yang diderita Zulfiqar Ali sudah terlalu parah dan berdasarkan catatan medis hanya akan bertahan selama enam bulan.

Meskipun telah berjanji, berdasarkan aturan hukum tentang grasi, Presiden tidak dapat mengeluarkan keputusan grasi sebelum menerima pertimbangan tertulis dari Mahkamah Agung. Aturan hukum juga menyatakan bahwa Mahkamah Agung harus mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden dalam waktu 30 hari setelah menerima surat permohonan grasi. Namun, hingga Zulfiqar Ali meninggal dunia pada 31 Mei 2018, Mahkamah Agung belum juga memberikan pertimbangannya tersebut kepada Presiden.

Kasus Zainal Abidin

Zainal Abidin merupakan satu-satunya warga negara Indonesia yang dieksekusi pada eksekusi mati gelombang II, 29 April 2015. Zainal Abidin adalah laki-laki asal Palembang kelahiran tahun 1964 (berumur 51 tahun) ditangkap pada 21 Desember 2000 atas kepemilikan ganja seberat 58,7 kilogram.

Ganja kering seberat 58,7 kilogram tersebut dititipkan kepada Zainal Abidin oleh Aldo (kenalan Zainal) dalam bentuk 3 (tiga) karung plastik tertutup. Zainal Abidin berpenghasilan sebagai pedagang sayur di pasar (selain juga bekerja sebagai tukang pelitur dan pekerjaan serabutan lainnnya), sehingga hal titip menitipkan barang dagangan seperti itu adalah hal yang biasa di kalangan pedagang.

Pada  persidangan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Palembang  tanggal    6 September 2001, Zainal Abidin divonis 18 tahun penjara sedangkan Aldo divonis 20 tahun penjara. Namun karena memang merasa tidak bersalah, Zainal kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi  Palembang.

Pada 3 Desember 2001, PT Palembang justru memperberat hukuman Zainal dengan menjatuhkan vonis mati dengan pertimbangan:

“Saat ini pemerintah bersama-sama masyarakat sudah menyatakan perang terhadap bahaya narkotika….Dengan demikian menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk pengadilan, untuk membantu dan mendorong masyarakat agar mampu memerangi peperangan tersebut.”

Zainal Abidin kemudian mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung (MA), namun MA tetap menjatuhkan vonis mati kepadanya (28 Mei 2002).

Zainal yang bersikeras dirinya tak bersalah pun mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada 2 Mei 2005 dan diterima oleh PN Palembang pada hari yang sama (tertanggal 2 Mei 2005). Permohonan PK tersebut kemudian diterima oleh Mahkamah Agung pada tanggal 22 Agustus 2005 (dicatat dalam Regno. 76 PK/Pid./2005).

Malangnya, permohonan PK tersebut “terselip” selama 10 (sepuluh) tahun; permohonan PK telah diterima oleh MA pada 22 Agustus 2005 namun permintaan penjelasan serta putusan PK oleh MA baru diberikan pada 27 April 2015. Lalu, hanya dua hari setelah putusan itu keluar, Zainal Abidin langsung dieksekusi.

Selain PK yang “terselip” selama 10 tahun, terdapat banyak pelanggaran lain dalam perjalanan kasus Zainal Abidin, antara lain: (1) Zainal Abidin tidak didampingi oleh penasihat hukum maupun bantuan hukum  pada saat keterangan diambil, namun proses pemeriksaan oleh pihak Kepolisian tetap dilakukan, (2) terdapat dugaan kuat bahwa keterangan Zainal tersebut didapatkan dengan cara-cara penyiksaan, (3) terdapat dugaan kuat terjadi penahanan yang sewenang-wenang (arbitrary detention) karena terdapat jeda masa penahanan yang tidak disertai oleh surat perintah penahanan sebagaimana diatur dalam KUHAP.

Zainal Abidin secara terus menerus berada dalam penahanan dan tidak pernah dibebaskan sekalipun atau ditangguhkan penahanannya sejak ditangkap pada 21 Desember 2000 hingga saat ia ditembak mati pada 29 April 2015. Sejak lima tahun menjelang eksekusi, Zainal Abidin dipindahkan dari Palembang ke Nusakambangan. Selama periode waktu itu pun Zainal tidak pernah mendapat kunjungan dari keluarganya karena kesulitan biaya.

Pada 2 Januari 2015, Presiden Jokowi menolak grasi yang diajukan oleh Zainal melalui surat Keppres Nomor 2/G/2015. Zainal Abidin telah dieksekusi pada 29 April 2015 lalu. Hingga saat-saat terakhir eksekusi pun, Zainal Abidin tetap pada pendiriannya: bahwa ia tidak bersalah.

Kasus Rodrigo Gularte

Rodrigo Gularte adalah warga negara Brasil berusia 43 tahun yang di- tangkap pada bulan Juli 2004 karena kedapatan berusaha menyelundupkan narkoba jenis kokain seberat 19 kilogram di dalam papan selancar yang dibawanya. Rodrigo kemudian divonis mati pada tahun 2005 oleh PN Tangerang dan menghabiskan sepuluh tahun di dalam sel  penjara  sebelum akhirnya dieksekusi pada 29 April 2015 lalu dalam eksekusi mati gelombang II.

Rodrigo memiliki gangguan mental sejak remaja hingga saat-saat terakhir eksekusi. Hal ini dibenarkan dan diperkuat oleh laporan kesehatan, baik

yang dibuat oleh dokternya di Brasil maupun oleh dokter psikiatri yang memeriksanya di RSUD Cilacap, Jawa Tengah.

“Sementara data Medical-Psychiatric Report yang dibuat dokter Valter Luiz Abel menyatakan Rodrigo sudah diperiksa olehnya dari Maret hingga November 1996 dan didiagnosa mengidap hyperactive and attention deficit disorder dan bipolar. Sedangkan untuk penyakit skizofrenia baru diketahui pada November 2014 dan diperkuat oleh hasil keterangan psikiatri Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap yang dikeluarkan pada 11 Februari 2015.”

“Jangan minum air ini! Air di desa ini sudah tercemar, terkontaminasi oleh racun, lihat warnanya hijau!” kata Rodrigo Gularte ketika penulis menyodorkan botol air mineral untuk dia minum, tiga hari sebelum pelaksanaan eksekusi mati.”

(Ricky Gunawan, Unfair Trial: Analisis Kasus Terpidana Mati di  Indonesia,  Jakarta:  Imparsial, 2016)

Tercatat, Rodrigo seringkali berhalusinasi saat berada di dalam penjara serta telah mencoba untuk bunuh diri. Gangguan mental yang  diidap oleh Rodrigo ini menyebabkannya dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh jaringan kartel obat bius untuk menyelundupkan narkotika ke Indonesia.

Di dalam ilmu hukum pidana di Indonesia (KUHP) dikenal istilah alasan penghapus pidana yaitu “alasan pembenar” dan “alasan pemaaf”.

Mengacu kepada pasal 50 KUHP, alasan pembenar adalah alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Maksudnya, alasan pembenar melihat dari sisi perbuatannya (objektif). Contohnya adalah tindakan ‘pencabutan nyawa’ yang oleh regu penembak terhadap terpidana mati.

Sedang mengacu kepada pasal 44 KUHP, yang dimaksud dengan alasan pemaaf yaitu alasan terhapusnya kesalahan pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, alasan pemaaf melihat dari perspektif si pelaku (subjektif). Contoh: pelaku yang gila (tidak waras) sehingga tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pasal 44 ayat (1) KUHP:

Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”

Ayat (2):

Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama- lamanya satu tahun untuk diperiksa.

Dengan demikian, mengacu kepada pasal 44 ayat (1) dan (2), Rodrigo sebagai seseorang yang terbukti mengidap penyakit jiwa (skizofrenia dan bipolar) seharusnya bisa diberikan alasan pemaaf.

Menurut R. Soesilo, sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya adalah karena:

1. Kurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan “akal” di sini ialah daya pikiran, kekuatan pikiran, maupun kecerdasan pikiran. Orang-orang yang misalnya: imbicil, idiot, buta-tuli, atau bisu sejak lahir dapat masuk ke dalam kategori ini. Mereka sebenarnya tidak sakit, namun karena menderita cacat sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai kanak-kanak.

2. Sakit berubah akalnya. Masuk ke dalam kategori ini misalnya:  sakit gila, histeri (sejenis penyakit saraf terutama pada wanita), epilepsi, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya.

Menanggapi petisi dan permohonan di atas, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai eksekusi mati gembong narkoba yang menderita kelainan jiwa dapat ditunda. Jusuf Kalla meminta terpidana yang mengidap sakit jiwa terlebih dahulu mendapatkan perawatan.

Meskipun menghadapi banyak kritik atas rencana pengeksekusian Rodrigo yang mengidap gangguan jiwa, eksekusi mati terhadap Rodrigo pun nyatanya tetap dijalankan. Rodrigo Gularte dieksekusi pada 29 April 2015 dalam eksekusi mati gelombang II.

Bermasalah dalam moral, berantakan dalam eksekusi

Zulfiqar Ali, Zainal Abidin, maupun Rodrigo Dularte adalah representasi dari masalah hukuman mati. Terlepas dari permasalahan moral dan Hak Asasi Manusia yang dilanggar, pelaksaanan-nya juga seringkali cacat.

Kecacatan penegakan hukum ini memang tidak bersifat eksklusif pada hukuman mati. Namun tidak seperti hukuman lain, nyawa yang telah dicabut tidak mungkin dikembalikan. Ini adalah dasar dari salah satu argumen utama anti hukuman mati: jika sebuah hubungan secara inheren tidak dapat dikoreksi, maka ia bermasalah secara esensial dan harus dihapus dari sistem.

Bahkan dalam sebuah sistem penegakan hukum yang sangat baik—sistem yang transparan, kompeten, dan bebas dari penyiksaan atau korupsi—kesalahan hampir pasti akan terjadi. Ketika ia terjadi dan negara tidak dapat melakukan koreksi, maka negara telah melakukan kejahatan. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDBahasa Indonesia