Imparsial

UU No. 23 Tahun 2019 tentang PSDN Berpotensi Suburkan Konflik Agraria

Kegiatan Diskusi dan Launching Buku Tentang UU No. 23 Tahun 2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum-HAM, dan Keamanan terselenggara atas kerja sama PUSAKO UNAND, IMPARSIAL dan PBHI di Santika Premier Hotel Padang, 01/08/ 2022. Kegiatan diskusi dan Launching buku ini dihadiri oleh berbagai kalangan dari Mahasiswa dan media, LSM, kelompok masyarakat sipil yang berada di Padang, dengan narasumber; Feri Amsari (Direktur PUSAKO – UNAND), Indira Suryani (Direktur LBH Padang), Julius Ibrani (Ketua PBHI Nasional), Husein Ahmad (Peneliti Imparsial), Dr. Al Araf, S.H., M.D.M (Dosen FH Univ. Brawijaya dan Ketua Badan Pengurus Centra Initiative),

Narasumber pertama Feri Amsari (Direktur PUSAKO – UNAND) mengatakan DPR dan pemerintah seringkali menutup-nutupi pembahasan sejumlah UU yang menurut mereka perlu untuk segera dijalankan, diantaranya adalah UU PSDN ini. Padahal sebenarnya masyarakat tidak punya niat atau pretensi untuk menolak sebuah undang-undang sepanjang dibahas secara partisipatif. Seharusnya DPR mengajak masyarakat sipil ini bicara dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan, tapi untuk UU tertentu pemerintah terkesan menghindari suara publik.

Dia menilai pembentukan UU ini bertujuan untuk memanfaatkan SDA untuk pertahanan, padahal jika kita menjadikan UUD 1945 kita sebagai panduan, khususnya yang mengatur terkait sumber daya alam, maka pemanfaatan sumber daya alam harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana yang diatur dalam pasal 33 UUD 1945.

Tidak terbayangkan nanti jika sejumlah sumberdaya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana lainnya nanti dikuasai oleh militer atas nama komponen cadangan. Misalnya saja yang kita lihat di Kota Padang ini, wilayah atau gedung yang pernah di kuasai militer di kota Padang, tidak pernah dikembalikan kepada rakyat. Meski dalam UU ini diatur tentang pengembaliannya, namun saya yakin tidak ada yang berani menagih tanah atau bangunnnya itu.

Dulu pernah ada Surat Edaran Gubernur Sumatra Barat yang mengatur bahwa tanah-tanah yang tidak produktif itu bisa diserahkan kepada militer untuk dikelola, namun karena kerasnya protes dari kalangan masyarakat sipil di Sumbar surat edaran tersebut akhirnya dicabut kembali. Nah, ini kalau sampai terjadi melalui UU PSDN ini, walaupun diatur tentang tatacara pengembaliannya, tetapi siapa yang berani meminta.

Jadi kesimpulan saya, UU ini sejatinya bukan bicara soal memperkuat pertahanan atau komponen utama kita, tapi lebih kepada penguasaan sumber daya alam. Ini ada niatan atau kepentingan-kepentingan tertentu yang terselip. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya klausul dalam UU ini yang tidak rigid, maka UU PSDN ini sangat terbuka terhadap berbagai potensi penyalahgunaan.

Narasumber kedua Indira Suryani (Direktur LBH Padang) mengatakan bahwa cara negara menghadapi petani di Dharmasraya, Pasaman, Agam, dll di Sumbar dalam mengambil tanah atau lahan masyarakat adalah dengan membuat latihan militer di atas lahan atau tanah tersebut. Ini terjadi di beberapa tempat di Sumbar dan juga digunakan dalam pembebasan lahan untuk pembangungan Geothermal di Gunung Talang, Solok, di mana TNI kemudian segera melakukan Latihan militer di sana dengan tujuan agar warga yang tinggal atau berkebun di sana lama-lama pergi sendiri.

Di tengah masih sering terjadinya konflik SDA antara pemerintah, termasuk TNI dengan masyarakat, UU PSDN ini justeru memberi ruang atau karpet merah pengambil alihan tanah rakyat atas nama pertahanan Negara melalui cara-cara yang tidak demokratis. Hal ini tentu akan membuat situasi konflik agraria di Indonesia akan semakin kisruh. UU PSDN ini mungkin bermaksud ingin membuat masyarakat patuh, tetapi kepatuhan publik didorong dengan ketakutan, bukan dengan kesadaran kritis. Dengan demikian maka UU ini layak dikatakan cacat secara prosedur dan secara substansi karena pengaturannya yang tidak rigid dan melanggaran sejumlah ketentuan terkait hak asasi manusia.

Narasumber selanjutnya Julius Ibrani (Ketua PBHI Nasional) mengatakan Undang-undang ini mengandung banyak masalah secara substansi, setidaknya ada 14 pasal yang bermasalah dalam Undang-undang ini, terutama nuansa pelanggaran HAM dalam undang-undang ini sangat kental sekali. Melalui UU PSDN ini memungkinkan penjagaan proyek strategis nasional nantinya akan dijaga oleh Komcad. Tugas ini tentu tidak ada relevansinya dengan militer, hal ini membuat militer akan menguasai semua lini sektor sehingga bisa berlaku sewenang-wenang dalam kekuasaan.

Selain itu, pengaturan terkait penganggaran Komcad yang bersumber dari luar APBN membuat militer semakin tidak independen. UU PSDN ini melegalkan sumber anggaran militer yang bukan dari pusat saja, hal ini membuat kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM semakin tinggi, karena pihak pemerintah daerah bisa menjadi sumber anggaran militer dan komponen cadangan. Hal itu betentangan demgan UU TNI yang menegaskan anggaran untuk TNI bersumber dari APBN (sentralistik). Sebagai contoh, penggunaan militer di Papua untuk pengamanan swasta, seperti masuk kedalam catatan pengganggaran PT. Freeport dan juga APBN. Hal ini tentunya bertentangan dengan pasal 10 UU No 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah.

Masalah penganggaran ini berpotensi menimbulkan perpecahan dan merusak NKRI. Bagaimana militer menjaga perusahaan swasta dan swasta membiyaiai militer tersebut, termasut tentunya Kompoen Cadangan. Banyak perusahaan yang tidak punya izin atau tanahnya diperoleh dari hasil merampas tanah rakyat, nanti dihadapkan dengan militer.

Narasumber selanjutnya Husein Ahmad (Peneliti Imparsial) mengatakan UU PSDN ini hanya dibuat dalam waktu 72 hari, di tengah demonstrasi besar-besaran di depan DPR terkait sejumlah regulasi yang tengah dibahas di DPR pada akhir tahun 2019 itu. DPR sengaja memanfaatkan kelengahan masyarakat sipil untuk mengesahkan UU PSDN ini. Bahkan masyarakat sipil juga bingung mana draft yang disahkan oleh DPR karena pembahasan yang tertutup dilakukan oleh DPR. Akhirnya, koalisi masyarakat sipil melakukan judicial Review ke MK yang pada bulan Februari 2022 memasuki tahap akhir pemeriksaan namun koalisi belum tahu kapan pengujian UU ini bakal diputus oleh MK.

Ruang lingkup Komcad sendiri melebihi dari ruang lingkup penugasan yang diberikan kepada TNI,yaitu untuk menghadapi ancaman militer, non-militer, dan ancaman hiybrida. Seperti menghadapi ancaman komunisme, separatisme. Kita dulu punya pengalaman di Aceh dan di Timtim, bagaimana milisi sipil dibentuk untuk menghadapi protes dari masyarakat sipil sendiri. Jadi Komcad bisa menangnai jauh lebuh banyak dan lebuh luas dari apa yang bisa dijangkau oeh TNI itu sendiri. Pelibatan warga sipil ini rentan menimbulkan konflik horizontal.

Dalam rancangan politik hukum nasional, TNI yang melakukan pelanggaran umum akan diproses melalui sitem peradilan umum. Namun di UU PSDN ini Komcad justru diadili di peradilan milter. Ini jelas politik hukumnya mundur dari cita-cita reformasi TNI atau sektor keamanan. Lebih dari itu penetapan sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana/ prasarana lainnya sebagai komponen cadangan hanya dilakukan melalui penetapan oleh kementrian pertahanan. Ini jelas tidak adil dan berpotensi melanggar hak atas properti warga negara dan sangat berpotensi juga menimbuklan konflik agrarian antara TNI dan masyarakat seperti yang banyak terjadi di berbagai daerah, diantaranya di Pasuruan, Aceh, dan apalagi Papua.

Dr. Al Araf, S.H., M.D.M (Dosen FH Univ. Brawijaya dan Ketua Badan Pengurus Centra Initiative) mengatakan Komponen Cadangan akan menjadi beban baru terhadap anggaran pertahanan negara yang memang sudah sangat terbatas. Di tengah keterbatasan ini, kita sulit memperbarui alutsista kita. Implikasinya masih banyak alutsista yang tua, tidak layak pakai, bahkan sangat berpotensi rusak ketika digunakan dan terjadi kecelakaan, salahsatunya kasus KRI Nanggala yang tenggelam beberapa waktu lalu.

Kita seharusnya menata anggaran pertahanan negara kita untuk membangung atau memperkuat komponen utama. Jangan justru anggran yang terbatas ini justru diberikan kepada Komcad yang urgensinya masih dipertanyakan. Saat ini dianggarkan Rp. 1 Triliun setiap tahunnya. Anggaran sebesar ini tentu akan menjadi beban baru anggaran pertahanan.

en_GBEnglish (UK)