Adanya wacana revisi RUU TNI memberikan “kejutan” bagi masyarakat sipil. Substansi revisi RUU TNI ini berpotensi dapat mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan melanggar konstitusi. Untuk itu, Imparsial dalam memperingati hari reformasi, menyelenggarakan diskusi publik yang bertemakan “Refleksi 25 Tahun Reformasi: RUU TNI Mengancam Demokrasi dan Melanggar Konstitusi”. Dalam diskusi publik ini hadir beberapa pembicara dari berbagai latar belakang.
Muhammad Isnur, Ketua YLBHI dalam paparannya menjelaskan bahwa revisi UU TNI mngingkari sejarah dan Konstitusi. Dalam draft usulan perubahan UU TNI terdapat penambahan jabatan TNI untuk terlibat aktif dalam institusi sipil, masuk dalam tugas-tugas menjaga keamanan, dan masuk ke posisi/ jabatan politik sipil.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia kemudian memaparkan bahwa capaian reformasi militer terancam mundur total jika pemerintah mengesahkan revisi UU TNI. “Neo-developmentalisme atas nama pembangunan menyeret TNI kepada fungsi yang bukan urusan pertahanan” jelas Usman. Padahal, TNI sejatinya adalah alat pertahanan negara yang tugasnya mempertahankan NKRI dan menjalankan kebijakan pertahanan negara.
Bahaya revisi UU TNI juga disepakati dan ditegaskan oleh Wahyudi Djafar, Direktur Eksekutif ELSAM. Menurutnya, “Supremasi sipil dan politik dalam revisi RUU TNI dapat dilihat sebagai indikator kemunduran reformasi TNI.” Wahyudi kemudian menambahkan bahwa reformasi peradilan militer lebih penting untuk berada dalam agenda legislasi nasional sebagai proses reformasi militer. Sebab, banyak kasus kasus di peradilan militer yang telah merusak kepercayaan publik terhadap militer sendiri karena prosesnya tidak transparan.
Sementara itu, Andy Rezaldy, Wakil Koordinator KontraS menjelaskan juga bahwa revisi RUU TNI berpotensi memperkuat militer dalam pengambilan kebijakan untuk TNI sendiri dan bahkan penyalahgunaan. “Hari ini banyak sekali terjadi dominasi militer di ruang ruang sipil” tutur Andy. Berbagai kasus di peradilan militer merusak kepercayaan publik terhadap militer sendiri karena prosesnya tidak transparan
Gina Sabrina, Sekjen PBHI menyatakan bahwa penambahan tugas TNI dalam OMSP, seperti narkotika, badan cyber, dll adalah urusan sipil yang tidak relevan diurus oleh TNI atau militer. “Draft revisi UU TNI berpotensi untuk melemahkan profesionalisme TNI, yang tidak fokus pada tugas utamanya di bidang pertahanan, malah fokus dalam bidang-bidang lain yang merupakan domain instansi sipil.” tegas Gina.
Dalam diskusi ini juga, Ikhsan Yosarie, Peneliti Setara Institute menyatakan bahwa TNI sepertinya sedang mengalami “Quarter life crisis” di 25 tahun reformasi TNI. Apalagi dengan adanya draft revisi UU TNI sangat mengikis jati diri tentara profesional karena menguatnya relasi subjektif sipil militer.
Pembicara lain adalah pengamat Militer, Aris Santoso yang memaparkan pandangannya dalam diskusi ini bahwa hal yang seharusnya dilakukan oleh TNI saat ini adalah adanya penguatan peran yang ada, hingga pengurangan jumlah atau restukturisasi dalam TNI. Karena sebenarnya,
surplus anggota TNI menjadi salah satu alasan untuk TNI memperluas peranannya dalam sektor sipil dan politik.
Direktur Imparsial, Gufron Mabruri juga mejelaskan bahwa, terdapat 2 catatan umum terkait problematika dalam proses reformasi TNI setelah tahun 1998. Pertama, Masih mangkraknya agenda reformasi militer di tahun 1998 misalnya masih adanya kekerasan yang dilakukan oleh TNI, hingga peran TNI dalam politik. Kedua, kegagalan untuk mencapai respon positif dari tuntutan TNI 1998. Gufron menegaskan pernyataan pemateri lainnya bahwa reformasi TNI justru mengalami kemunduran belakangan ini apalagilagi adanya wacana dan draft rancangan revisi UU TNI.
Terakhir, Al Araf, Ketua Badan Pengurus Centra Initiative menambahkan terkait kilas balik yang terjadi di orde baru, “Rezim Soeharto bisa kuat karena ditopang oleh politik militer. Lalu, 32 tahun politik Orde baru berkuasa, Indonesia berada dalam kegelapan, tidak ada kebebasan yang ada hanya kekerasan.” Sementara, apabila draft revisi UU TNI ini diteruskan maka Indonesia terancam untuk Kembali pada era orde baru itu. Al Araf menghimbau kepada DPR dan Pemerintah sebaiknya fokus untuk meningkatkan kesejahteraan anggota TNI seperti memperbaiki persoalan terkait perumahan prajurit TNI hingga menguatkan sistem pertahanan.
Reported by Nizwa.