Menyoal Somasi Terhadap ICW: Pemberangusan Demokrasi dan Upaya Kriminalisasi

Live Press

Praktik pembungkaman atas kritik masyarakat kembali terjadi. Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, melalui kuasa hukumnya, Otto Hasibuan, melayangkan somasi kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait dengan penelitian tentang polemik Ivermectin. Somasi tersebut berisi niat Moeldoko untuk menempuh jalur hukum dengan melaporkan ICW ke pihak berwajib. Tentu langkah ini amat disayangkan, sebab, semakin memperlihatkan resistensi seorang pejabat publik dalam menerima kritik.

Penting ditekankan, ICW sebgai bagian dari masyarakat sipil sedang menjalankan tugasnya dalam fungsi pengawasan terhadap jalannya proses pemerintahan. Hal yang mana sangat lazim dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil lainnya sebagai bentuk partisipasi untuk memastikan adanya tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Terlebih lagi, ICW menuangkan pendapatnya dalam sebuah penelitian yang didasarkan atas kajian ilmiah dengan didukung data dan fakta. Sehingga, tidak salah jika dikatakan bahwa langkah Moeldoko, baik somasi maupun niat untuk memproses hukum lanjutan, merupakan tindakan yang kurang tepat dan berlebihan.

Sebagaimana diketahui, Indonesia saat ini sedang dilanda pandemi Covid-19 yang telah merenggut nyawa puluhan ribu masyarakat dan meruntuhkan perekonomian negara. Berangkat dari hal itu, semestinya pemerintah membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memberikan masukan dalam proses penanganan Covid-19 ini. Namun, alih-alih dilaksanakan, Moeldoko selaku bagian dari pemerintahan justru menutup celah tersebut dengan mengedepankan langkah hukum ketika merespon kritik dari ICW. Padahal, penelitian ICW masih bertalian dengan konteks terkini, yaitu upaya pencegahan korupsi di sektor farmasi.

Menyikapi langkah Moeldoko, setidaknya ada dua isu yang tampak oleh masyarakat. Pertama, upaya pemberangusan nilai demokrasi. Patut dipahami, peraturan perundang-undangan telah menjamin hak setiap masyarakat atau organisasi untuk menyatakan pendapat. Mulai dari Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945, Pasal 23 jo Pasal 25 jo Pasal 44 UU Hak Asasi Manusia, Pasal 8 ayat (1) UU Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 41 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, jaminan tersebut juga dituangkan dalam berbagai kesepakatan internasional, diantaranya: Pasal 19 Deklarasi Universal HAM, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 23 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN.

Terlepas dari rangkaian pengabaian regulasi terkait hak menyatakan pendapat, langkah Moeldoko ini pun berpotensi besar menurunkan nilai demokrasi di Indonesia. Awal Februari lalu, The Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, Indonesia mendapatkan rapor merah karena adanya penurunan skor yang cukup signifikan. Maka dari itu, praktik pembatasan hak berpendapat, terlebih kritik dari masyarakat perlu untuk dihentikan.

Kedua, melanggengkan praktik kriminalisasi terhadap organisasi masyarakat sipil. Merujuk data SAFENet, dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kriminalisasi menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik banyak menyasar masyarakat dari berbagai kalangan, misalnya: aktivis, jurnalis, hingga akademisi. Mirisnya, mayoritas pelapor justru pejabat publik. Ini menandakan belum ada kesadaran penuh dari para pejabat dan elit untuk membendung aktivitas kriminalisasi tersebut, guna mendorong terciptanya demokrasi yang sehat di Indonesia.

Selanjutnya, dari aspek hukum, mengacu pada pemberitaan media, terdapat konstruksi yang keliru dalam memaknai aspek pelanggaran hukum dari penelitian ICW tersebut. Jika dimaknai sebagai delik pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik jo KUHP, maka penting untuk dijelaskan lebih lanjut. KUHP pada dasarnya memuat tentang alasan pembenar yang relevan ketika dikaitkan dengan penelitian ICW, yakni Pasal 310 ayat (3) KUHP: tidak merupakan pencemaran, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum. Sebab, ICW memaparkan temuan dalam konteks kepentingan pemerintah untuk mencegah adanya praktik rente dan conflict of interest (CoI) di tengah situasi kritis akibat pandemi Covid-19, hal yang jelas berhubungan dengan kepentingan publik.

Permasalahan lain juga tampak ketika yang digunakan adalah UU ITE. Hal ini dikarenakan adanya Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam dokumen tersebut, tepatnya bagian Pasal 27 ayat (3) bagian c disampaikan bahwa bukan delik pencemaran nama baik jika muatannya berupa penilaian atau hasil evaluasi. Pernyataan yang dikeluarkan ICW lahir dari sebuah penelitian yang memiliki metode, data dan referensi yang jelas, tentu ini telah memenuhi ketentuan tersebut karena telah melewati proses penilaian dan evaluasi atas suatu isu yang menjadi perhatian masyarakat.

Sebenarnya, tanpa mesti menempuh jalur hukum, Moeldoko dapat menyampaikan bantahan atas temuan ICW dengan menggunakan hak jawab sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Pers. Sebab, hasil penelitian ICW tersebut diketahui khalayak ramai oleh karena dimuat dalam berbagai pemberitaan media. Dalam negara demokrasi, mekasnisme ini lah yang harusnya didorong dan ditempuh, bukan dengan ancaman pidana.

Berkenaan dengan poin-poin di atas, maka Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar:

  1. Moeldoko untuk menghormati proses demokrasi yaitu kritik dari hasil penelitian yang dilakukan oleh ICW dan lebih berfokus pada klarifikasi pada temuan-temuan dari penelitian tersebut;
  2. Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan mencabut somasi dan mengurungkan niat untuk melanjutkan proses hukum terhadap ICW;
  3. Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum agar tetap pada komitmen untuk menjaga demokrasi di Indonesia dengan mengimplementasikan hukum dan kebijakan yang sudah dibuat untuk kepentingan masyarakat dan bukan untuk pemberangusan;

Jakarta, 30 Juli 2021

Civil Society Coalition

  1. YLBHI
  2. PBHI
  3. Auriga Nusantara
  4. ICJR
  5. PSHK
  6. ELSAM
  7. ICEL
  8. IJRS
  9. IMPARSIAL
  10. KontraS
  11. Yayasan Perlindungan Insani Indonesia
  12. P2D
  13. Yayasan Kurawal
  14. Koalisi Warga untuk Lapor VID19-19
  15. Greenpeace Indonesia
  16. Aliansi Jurnalis Independen ( AJI) Indonesia
  17. Serikat Mahasiswa Progresif UI
  18. BEM STHI Jentera
  19. Enter Nusantara
  20. Bangsa Mahasiswa
  21. Garda Tipikor FH UNHAS
  22. Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) FH Unmul
  23. Constitutional and Administrative Law Society (CALS)
  24. BEM KM Universitas YARSI
  25. WALHI
  26. BEM FH UPNVJ
  27. BEM REMA UPNVJT
  28. BEM UI
  29. BEM FISIP UNMUL
  30. KIKA
  31. Aliansi BEM Seluruh Indonesia
  32. BEM se-Semarang Raya
  33. BEM KM UNNES
  34. LBH MAKASSAR
  35. LeIP
  36. SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network)
  37. PAKU ITE (Paguyuban Korban UU ITE)
  38. Aliansi BEM Univ. Brawijaya
  39. PARAMADINA PUBLIC POLICY INSTITUTE (PPPI)
  40. LBH Press
  41. BEM Universitas Siliwangi
  42. LBH Padang
  43. LBH Masyarakat
  44. Visi Integritas Law Firm
  45. LBH PP Muhammadiyah
  46. AURIGA
  47. Forum Pengada Layanan (FPL)
  48. BEM UPNVJ
  49. TRUTH
  50. IKA SAKTI Tangerang
  51. Puspaham SULTRA
  52. Human Rights Working Group (HRWG)
  53. PWYP Indonesia
  54. LBH Bandung
  55. Trend Asia
  56. JATAM Kaltim
  57. LBH Semarang
  58. Sajogyo Institute
  59. JATAM
  60. GRASI Riau
  61. LBH Pekanbaru
  62. BEM Undip
  63. BEM FISIP Undip
  64. BEM FKM Undip
  65. BEM FH Undip
  66. BEM FPP Undip
  67. BEM FSM Undip
  68. BEM FK Undip
  69. BEM FPIK Undip
  70. BEM SV Undip
  71. BEM Psikologi Undip
  72. BEM FT Undip
  73. BEM FIB Undip
  74. LBH Samarinda
  75. LBH Yogyakarta
  76. LBH Surabaya
  77. Transparency International Indonesia
  78. Gerakan Berantas Korupsi (Gebrak)
  79. Banten Bersih
  80. LBH Palembang
  81. Brebes Youth Center (BYC)
  82. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
  83. LBH APIK NTT
  84. BEM KM UDINUS Semarang
  85. BEM PM Universitas Udayana
  86. KOPEL Indonesia
  87. Komite Independen Sadar Pemilu (KISP)
  88. NET Attorney
  89. LBH Palangka Raya
  90. POKJA 30 KALTIM
  91. Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD)
  92. Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH. Univ. Andalas
  93. GEMAWAN
  94. PATTIRO Semarang
  95. FOINI
  96. KPA SULTRA
  97. FORSDA KOLAKA
  98. DEMA IAIN Palangka Raya
  99. Aliansi Rakyat Bergerak
  100. KRPK Blitar
  101. MCW Malang
  102. SAHDAR Medan
  103. MATA Aceh
  104. Koalisi Bersihkan Indonesia
  105. Bengkel AppeK
  106. BEM ULM
  107. Indonesia Budget Center (IBC)
  108. FITRA Provinsi Riau
  109. SOMASI NTB
en_GBEnglish (UK)