Menyikapi Peristiwa Pembunuhan dan Mutilasi Empat Orang Papua yang
Diduga Melibatkan Enam Anggota TNI

Rilis Pers Imparsial
No. 013/Siaran-Pers/IMP/IX/2022
Menyikapi Peristiwa Pembunuhan dan Mutilasi Empat Orang Papua yang
Diduga Melibatkan Enam Anggota TNI

Pembunuhan dan mutilasi terhadap empat orang Papua di Kampung Pigapu, Distrik Mimika
Timur, Kabupaten Mimika, Papua yang diduga melibatkan enam anggota TNI menjadi
perhatian luas berbagai kalangan. Berdasarkan pemberitaan di media, enam anggota TNI
tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Puspom TNI Ad, di mana mereka terdiri dari
atas satu orang berpangkat mayor, satu orang berpangkat kapten, satu orang praka, dan tiga
orang berpangkat pratu. Keenamnya berasal dari kesatuan Brigif 20/IJK/3 Kostrad.


Imparsial memandang proses hukum terhadap enam anggota TNI terduga pelaku pembunuhan
dan mutilasi harus dijalankan secara objektif, transparan dan akuntabel. Idealnya, para terduga
pelaku tersebut seharusnya diadili di peradilan umum mengingat perbuatan yang dilakukannya
merupakan tindak pidana, namun hingga kini sistem peradilan militer belum direformasi. Oleh
karena itu, proses peradilan yang objektif, transparan dan akuntabel terhadap para pelaku
menjadi penting sehingga tidak terjadi praktik impunitas sebagaimana kecenderungan yang
sering terjadi dalam kasus kekerasan di Papua yang melibatkan aparat keamanan. Penegakan
hukum harus ditegakan, jangan sampai ada proses impunitas terhadap pelaku kekerasan yang
hanya akan semakin memperburuk situasi hak asasi manusia di Papua.


Bersamaan dengan dijalankannya proses hukum terhadap para terduga pelaku, evaluasi dan
koreksi terhadap kebijakan keamanan, khususnya peran militer di Papua, secara pararel perlu
dilakukan. Mengingat ada informasi yang berkembang bahwa peristiwa pembunuhan dan
mutilasi tersebut dilatarbelakangi dugaan adanya praktik jual-beli senjata api. Jika informasi
ini benar adanya, jelas bahwa hal tersebut merupakan bentuk penyimpangan dan sekaligus
mengindikasikan lemahnya kontrol dan pengawasan secara internal terhadap aparatnya di
lapangan. Penting diingat, isu praktik jual-beli senjata api yang melibatkan oknum aparat
sejatinya bukanlah isu baru yang dipandang turut berkontribusi melanggengkan konflik dan
kekerasan bersenjata di Papua.


Oleh karena itu, Imparsial mendesak pengawasan dan kontrol yang efektif harus dijalankan
oleh otoritas sipil, khususnya dalam hal ini Komisi I DPR, tidak hanya dalam mendorong
penuntasan kasus pembunuhan dan mutilasi saja, tetapi juga evaluasi dan koreksi secara
menyeluruh kebijakan pelibatan peran militer di Papua. Pada konteks ini, rencana Komisi I
DPR RI yang akan memanggil Menteri Pertahanan dan Panglima TNI menjadi langkah tepat.
Namun, Imparsial mengingatkan bahwa agenda tersebut jangan hanya berfokus pada
peristiwanya saja, tapi juga harus menghasilkan terobosan penting dan nyata dalam
mengevaluasi peran militer di Papua, termasuk kebijkannya yang dipandang keliru dan dugaan
banyaknya praktik penyimpangan di lapangan. Tanpa adanya evaluasi dan koreksi yang
menyeluruh, kekerasan aparat militer akan terus terjadi di Papua.

Hal yang tak kalah penting, kasus pembunuhan dan mutilasi yang melibatkan anggota TNI
seharusnya juga dijadikan sebagai mementum oleh pemerintah dan DPR untuk mendorong
reformasi sistem peradilan militer. Kendati agenda ini telah dimandatkan sejak awal era
reformasi 1998, namun hingga kini tidak kunjung dijalankan. Padahal, reformasi sistem
peradilan ini merupakan bagian dari agenda yang telah dimandatkan sejak awal reformasi 1998
untuk mewujudkan prinsip persamaan di hadapan hukum dan untuk mencegah impunitas
terhadap bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana

Jakarta, 5 September 2022

Link Pres Rilis

file:///C:/Users/HP/Downloads/Rilis%20Pers%20Imparsial%20-%20Menyikapi%20Peristiwa%20Pembunuhan%20dan%20Mutilasi%20Orang%20Papua%20(05.09.2022).pdf

en_GBEnglish (UK)