Diskusi dan Launching Buku Menggugat Komponen Cadangan yang diselenggarakan oleh Imparsial dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor keamanan, pada 30/06/2022.
Diskusi launching buku dengan Tema Telaah Kritis UU No. 23 Tahun 2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum-HAM, dan Keamanan dengan Narasumber Bivitri Susanti (Akademisi STHI Jentera), Ahmad Taufan Damanik (Ketua Komnas HAM RI), Wahyudi Djafar (Direktur Eksekutif ELSAM), Ray Rangkuti (Lingkar Madani dan Aktivis Reformasi 1998),Julius Ibrani (Ketua PBHI Nasional), Al Araf (Peneliti senior Imparsial dan Ketua Badan Pengurus Centra Initiatives).
Kegiatan diskusi ini di ikuti para mahasiswa, media, kelompok masyarakat sipil dan LSM. Diskusi dan launching buku ini banyak membahas tentang Komponen cadangan.
Narasumber pertama Bivitri Susanti (Akademisi STHI Jentera) menyampaikan Implementasi UU PSDN ini berpotensi melanggar HAM. UU PSDN ini juga sebagai alarm tanda menguatnya militerisme di Indonesia.
Secara substansi, hukum pidana militer yang diterapkan kepada Komcad itu juga menjadi persoalan karena menimbulkan kekacauan hukum. Pidana militer seharusnya diterapkan hanya kepada militer, tetapi ini bisa kepada Komcad. Selain itu penentuan komponen cadangan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya buatan (SDB) menimbulkan kekacauan dan pelanggaran terhadap hak atas property. Melalui UU PSDN ini juga berpotensi terjadi perampasan lahan masyarakat. Lebih jauh juga UU PSDN ini menyebutkan bahwa dia bersifat sukarela tetapi anehnya ada ancaman pidananya. Sementara itu, menurut PBB dibolehkan mengganti wajib militer dengan kerja sosial.
Dalam masa penantian terhadap putusan MK saat ini, maka kita bisa juga mendorong kesadaran publik dan pemerintah juga tentang cara pandang nasionalisme dan bela negara, apakah musti baris-berbaris? Apakah musti pegang senjata? Saya rasa tidak, kita tidak boleh terlalu sempit memaknai nasionaisme dan bela negara.
Narasumber kedua bapak Ahmad Taufan Damanik (Ketua Komnas HAM RI) menyampaikan bahwa pendekatan militer bakal menguat dengan UU PSDN ini. Belajar dari kasus Aceh dan Papua pendekatan militer tidak bisa menyelesaikan konflik di Aceh dan Papua.
Cara kita memandang masalah bangsa harus diperbaiki, tidak semata penyelesaian konflilk/ masalah itu selalu diselesaikan dengan pendekatan militer atau keamanan. Kita tidak boleh menempatkan militerisme terlalu tinggi sebagai solusi setiap masalah.
Kampanye pemerintah untuk merekrut Komponen Cadangan hari ini harus kita lawan dengan narasi akan seperti apa Indonesia dalam bayangan kita yang civilized.
Kita harus melawan dengan narasi yang lebih humanis dan demokratis akan seperti apa Indonesia yang humanis dalam bayangan kita ke depan.
Anak-anak muda kita perlu dibekali dengan pengetahuan dan pengalaman, bukan tembak menembak, bukan pergi ke Papua untuk berperang dengan membentuk milisi-milisi sipil. Jangan sampai lagi terjadi peristiwa seperti di Timor Leste dulu.
Buku ini bagus untuk membingkai cara berpikir kita yang cenderung militeristik dan penyelesaian persoalan yang cenderung menggunakan kekerasan. Kalau misalnya ada petani yang tanahnya dirampas puluhan tahun lalu dia mencoba merebut kembali dengan memboikot, membakar atau dengan cara apapun, apakah ini yang akan dihadapi oleh komcad? Seharusnya yang dibangun oleh pemerintah adalah “civilization” kita, bukan “militarization”.
Narasumber selanjutnya Wahyudi Djafar (Direktur Eksekutif ELSAM) mengatakan Beberapa catatan Koalisi terkait UU PSDN ini diantaranya adalah tentang perluasan definisi ancaman pertahanan negara, frasa “yang bertentangan dengan Pancasila” dan “wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 itu bersifat multi tafsir. Selain itu, Penambahan ancaman hibrida dan identifikasi ancaman non‐militer yang diantaranya seperti agresi, terorisme, komunisme, separatisme, pemberontakan bersenjata, bencana alam, kerusakan lingkungan, pelanggaran wilayah perbatasan, perompakan dan pencurian sumber daya alam, wabah penyakit, dan seterusnya bersifat problematik.
Narasumber selanjutnya Ray Rangkuti (Lingkar Madani dan Aktivis Reformasi 1998) menyampaikan Cara pandang pemerintah melihat isu bela negara masih keliru dan cenderung militeristis. Cara pandang ini menunjukkan bahwa saat ini terjadi penguatan militerisasi dalam kehidupan sipil kita. Sementara itu, kita yang mengkritik UU PSDN ini dianggap tidak nasionalisme dan tidak membela negara.
Lebih jauh, saya melihat bahwa ada kaitan antara pembuatan UU PSDN ini dengan kepentingan perhelatan politik 2024. Sementara itu penggunaan TNI saja dalam pengamanan pemilu itu pernah saya kritik. Jangan sampai kita mengorbankan demokrasi karena biaya akan sangat mahal jika demokrasi dilemahkan. Pembangungan demokrasi harus terus dilakukan, pengalaman 32 tahun rezim Orde Baru harus dijadikan pelajaran.
UU PSDN ini menempatkan Presiden selaku pengguna utama Komcad. Bisa jadi Komcad akan digunakan oleh presiden untuk mengamankan pemilu, bahkan untuk daerah-daerah tertentu yang diminta Presiden misalnya.
Kontradiski UU PSDN ini juga sangat terlihat, UU ini mau merangkum dan mengatur segala hal, seolah negara sat ini hidup dalam ancaman yang nyata, sehingga harus selalu waspada dan perlu penguatan peran militer. Sementara itu, TNI saja lebih banyak berguna untuk menjaga keamaan ketimbang untuk pertahanan, lalu kenapa perlu ditambah ada Komcad?
Narasumber selanjutnya Al Araf (Peneliti senior Imparsial dan Ketua Badan Pengurus Centra Initiatives) menyampaikan problem mendasar dari UU PSDN ini adalah cara pandang negara yang keliru dalam melihat hubungan antara negara dan rakyat. Konstruksi bela Negara tidak hanya terbatas pada keterlibatan warga negara dalam latihan dasar kemiliteran.
Bela negara bisa jadi kesadaran politik warga negara dalam melihat dan mengadvokasi isu HAM dan kemanusiaan. Mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, dosen atau guru yang mengajar dan mencerdaskan anak bangsa, pegiat HAM dan aktivis antikorupsi yang terus melakukan advokasi itu bagian dari bentuk kesadaran dalam bernegara. Pemerintah gagal dalam memahami substansi bela negara, nasionalisme, dan cinta tanah air, sehingga cenderung mempersempit maknanya menjadi berbentuk militeristik. Paradigma berbangsa dan bernegara yang seperti ini harus dibongkar.
Anggaran pertahanan kita sangat terbatas, alutsista Indonesia dalam buku putih pertahaan Indonesia tahun 2018 hanya 50% yang siap pakai. Untuk itu sebaiknya pemerintah fokus membangun komponen utama pertahanan negara, dalam hal ini adalah TNI. Selain itu, pengaturan terkait anggaran Komcad yang bisa berasal dari APBN dan APBD juga tidak tepat dan bijak, mengingat masih banyak sekolah dan jalan-jalan di daerah yang rusak.
Narasumber selanjutnya Julius Ibrani (Ketua PBHI Nasional) menyampaikan pembahasan UU PSDN ini tidak transparan sejak dari awal, secara formil proses pembuatan UU PSDN ini bertentangan dengan prinsip dasar pembentukan peraturan perundang-undangan. Dimana UU ini dibahas dan disahkan dalam waktu yang cepat dan singkat tanpa partisipasi publik secara luas dalam pembuatanya. Akibatnya undang-undang ini mengandung banyak masalah secara substansi, setidaknya ada 14 pasal yang bermasalah dalam Undang-undang ini sehingga diujui oleh Koalisi ke Mahkamah Konstitusi. Melalui UU ini dimungkinkan penjagaan proyek strategis negara nantinya akan dijaga oleh Komcad. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal diantara masyarakat dimana Komcad akan berhadapan dengan masyarakat sendiri.
Adanya pengaturan terkait penganggaran Komcad dari luar APBN membuat militer semakin tidak independen. UU PSDN ini melegalkan sumber anggaran militer yang bukan dari pusat saja. Hal ini membuka kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM semakin tinggi, karena pihak pemerintah daerah bisa menjadi sumber anggaran militer dan komponen cadangan, sementara konflik agraria antara pemerintah dengan masyarakat jumlahnya cukup tinggi. Hal ini juga tentunya betentangan demgan UU tni yg menegaksan anggarn untuk TNI melalui APBN.