CNN Indonesia | Selasa, 07/09/2021 06:59 WIB
Jakarta, CNN Indonesia — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) belum menetapkan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib sebagai pelanggaran HAM berat. Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengatakan, masih ada perbedaan pendapat antara komisioner Komnas HAM mengenai hal ini.
“Kalau secara garis besar, pendapatnya masih beragam. Masih ada yang melihat bahwa ini sulit dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat karena berbagai pertimbangan,” kata Sandra dalam sebuah diskusi Audiensi Publik Penuntasan Kasus Munir yang digelar secara daring, Senin (6/9).
Menurutnya, beberapa komisioner memandang kasus ini dapat dikategorikan sebagai dugaan pelanggaran HAM berat dengan korban satu orang, yaitu almarhum Munir. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa ini merupakan serangan sistematis kepada pembela HAM.
Menurut dia, perbedaan ini yang masih berkembang di internal Komnas HAM. Berangkat dari situ, menurut Sandra, pihaknya melihat harus ada diskusi lebih mendalam terkait hal ini. Namun, diskusi itu harus dihadiri oleh seluruh komisioner secara tatap muka.
“Kami sepakat bahwa diskusi itu harus dihadiri lengkap dan tidak online. Jadi tentu teman-teman tahu bahwa hal-hal seperti ini menyentuh banyak hal yang konfidensial, sehingga kami sepakat bahwa kami harus bertemu langsung,” ungkap Sandra.
Sandra menjelaskan, karena situasi pandemi Covid-19 dan penerapan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), komisioner belum bisa bertemu lengkap secara langsung. Namun demikian, ia berharap, dalam beberapa waktu ke depan, akan ada pertemuan komisioner secara lengkap untuk pertama kalinya untuk membahas masalah ini.
Sampai saat ini, kasus pembunuhan Munir masih dikategorikan sebagai pembunuhan biasa. Jika demikian, maka kasus itu akan memasuki masa kedaluwarsa 18 tahun sesuai aturan dalam KUHP, sementara kasus Munir pada 2021 sudah memasuki tahun ke-17.
Kendati begitu, menurut Sandra, untuk melihat dugaan pelanggaran HAM berat tidak ada batas kedaluwarsa. Komnas HAM juga tidak ingin terjebak dalam masa kedaluwarsa kasus Munir.
“Kami tidak boleh terjebak dengan kedaluwarsanya pidana. Jadi kita memang harus seutuhnya melihat dari dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, serta teori-teori tentang dugaan pelanggaran ham berat,” ujar Sandra.
“Ini yang membuat kami memang harus sangat hati-hati, harus sangat teliti dalam membahas apakah memang Komnas setuju untuk menetapkan pembentukan tim penyelidikan berdasarkan UU 26 atau tidak,” kata dia menambahkan.
Direktur Imparsial Al Araf yang juga tergabung dalam Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) berharap agar Komnas HAM segera bisa memutuskan bahwa kasus pembunuhan Munir adalah pelanggaran HAM berat. Menurut Al Araf, bukti-bukti dari tim pencari fakta (TPF) bisa menjadi rujukan.
“Sebetulnya fakta-fakta dan bukti itu sudah tercatat dan terkumpul, baik itu dalam laporan TPF atau juga dalam hasil-hasil putusan persidangan. Sehingga kami berharap agar langkah Komnas HAM yang sudah baik menerima laporan bisa menghasilkan putusan yang cepat dalam waktu dekat untuk menetapkan kasus Munir sebagai kasus pelanggaran HAM berat,” kata Al Araf.
Al Araf mengaku memahami jika ada perdebatan di internal Komnas HAM. Namun, ia meyakini, para komisioner dapat segera menyelesaikan perbedaan pendapat itu.
“Dengan kata lain saya ingin katakan adalah, hanya sedikit input untuk unsur sistematis, saya rasa itu bukan suatu yang diperdebatkan lagi, karena dalam kasus pembunuhan Munir sudah sebutkan itu sudah satu bentuk pemufakatan jahat dengan empat lapis pelaku,” paparnya.
Pada 2020, KASUM mendesak Komnas HAM menyelidiki kasus pembunuhan Munir hingga tuntas sampai ke otak peristiwa kejahatan tersebut. Koalisi yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu menyusun legal opinion untuk kemudian menjadi pertimbangan agar perkara tersebut dapat diselidiki lebih lanjut oleh Komnas HAM.
Mereka menilai pembunuhan itu memenuhi syarat agar perkara dinyatakan sebagai pelanggaran HAM Berat.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana mengatakan keterlibatan Komnas HAM menjadi penting agar kasus itu tak menggunakan konsep hukum pidana biasa yang mengenal kedaluwarsa atau batas waktu penuntutan.
(dmi/pmg)