Siaran Pers IMPARSIAL
No. 020/Siaran-Pers/IMP/XI/2024
Kasus Polisi Tembak Polisi di Solok dan Tembak Siswa SMA di Semarang: Kapolri Harus Evaluasi Penggunaan Senjata dan Hukum Pelaku Seberat-beratnya
Pada Minggu 24 November 2024, Bripka R anggota polisi Polrestabes Semarang melakukan penembakan yang mengakibatkan tewasnya seorang pelajar SMKN 4 Semarang, Gamma Rizkynata Oktafandy (16). Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Irwan Anwar mengatakan korban tewas terkena tembakan dari Bripka R yang hendak membubarkan tawuran kendati saksi-saksi di lapangan menyatakan bahwa tidak terjadi tawuran sebagaimana dalih kepolisian. Dua hari sebelumnya, pada Jumat 22 November 2024 Kabag OPS Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar menembak hingga mati Kasat Reskrim Polres Solok Selatan AKP Ryanto Ulil Anshar. Dikabarkan pembunuhan yang dilakukan AKP Dadang berkaitan dengan penanganan tambang ilegal yang tengah ditangani AKP Ryanto Ulil Anshar.
Imparsial memandang, peristiwa penembakan yang mengakibatkan tewasnya warga sipil seperti di Semarang harus ditangani secara serius oleh kepolisan. Perlu diingat, kekerasan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan (exessive use of force) kepada warga sipil apapun alasannya tidak dibenarkan. Anggota kepolisian yang kedapatan menggunakan kekuatan yang berlebihan seperti menggunakan senjata secara tidak tepat harus diadili sesuai hukum pidana yang berlaku, apalagi jika penggunaan senjata itu bukan untuk kepentingan tugas sebagaimana kesaksian warga yang menyatakan bahwa tidak terjadi tawuran sebagaimana dalih Kapolres.
Namun, apabila benar bahwa Bripka R sedang melakukan tugasnya membubarkan aksi tawuran, maka kepolisian perlu memeriksa yang bersangkutan secara mendalam terkait prosedur penggunaan senjata api apakah telah sesuai dengan aturan internal Polri yakni yang tertuang dalam pasal (8) Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, dan Mekanisme pengawasan penggunaan senjata api Polri yang diatur dalam Perkap No. 1 Tahun 2022. Selain itu, penggunaan senjata api oleh Bripka R harus merupakan alternatif terakhir yang mana pelaksanaannya harus sesuai dengan prinsip legalitas, nesesitas, proporsional, dan akuntabilitas sebagaimana Prinsip-Prinsip Dasar PBB Tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum (BPUFF) dan Kode Etik Aparat Penegak Hukum (CCLEO). Terlebih dalam kasus penembakan dilakukan terhadap kelompok rentan yakni anak.
Imparsial memandang, bahwa dua kasus penggunaan senjata api yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa oleh anggota Polri tersebut sejatinya bukan hanya tindak kriminal dan pelanggaran hukum semata melainkan bukti nyata bahwa reformasi di tubuh kepolisian masih jauh dari kata selesai. Memang sejumlah capaian positif reformasi kepolisian seperti pemisahan insitusi Polri dari TNI dan pembentukan lembaga pengawas seperti Kompolnas telah berhasil dilakukan. Namun sejumlah pekerjaan rumah mulai dari problem kapasitas anggota hingga budaya kekerasan dan brutalitas anggota masih belum menjadi perhatian serius pimpinan kepolisian.
Dua peristiwa penggunaan senjata api tersebut tidak boleh dianggap sebagai kasus kriminal semata yang berdiri sendiri melainkan harus dipandang sebagai sebuah kultur kekerasan yang terus berulang. Kami mengingatkan bahwa 2 kasus penembakan di Solok dan Semarang bukanlah kasus yang pertama. Sebelumnya kasus serupa juga terjadi pada kasus Sambo Juli 2022 dan Penembakan 3 Anak oleh Brimob Kedung Halang pada Oktober 2022 masih menjadi catatan buruk kepolisian.
Pada titik ini, kami memandang reformasi kepolisian menyangkut pengentasan kultur kekerasan harus menjadi perhatian serius pimpinan kepolisan terutama Kapolri. Untuk itu Imparsial mendesak:
Pertama, dalam jangka pendek Kapolri harus menindak tegas dan mengusut pidana pada pelaku secara transparan dan akuntabel;
Kedua, dalam jangka pendek Kapolri dapat melakukan evaluasi terhadap seluruh izin penggunaan senjata api oleh anggota Polri. Evaluasi dapat berupa tes mental dan psikologi ulang dan berkala kepada seluruh anggota tanpa terkecuali. Hasil tes mental dan psikologi yang dilakukan berkala harus dijadikan dasar apakah seseorang diperkenankan menggunakan senjata api atau tidak;
Ketiga, dalam jangka menegah Kapolri perlu merealisasi ide penggunaan body cam yang dilekatkan pada anggota Polri ketika bertugas. Penggunaan body cam penting untuk memastikan akuntabilitas pelaksanaan tugas pemolisian. Selain itu, body cam diperlukan sebagai detterence guna mencegah pelanggaran termasuk penggunaan kekuatan berlebihan;
Keempat, dalam jangka panjang untuk mencegah terulangnya fatalitas akibat penggunaan senjata api, Kapolri perlu memikirkan pengurangan penggunaan senjata api dan menggantikannya dengan sejata kejut listrik (taser) yang lebih tidak mematikan sebagaimana sudah digunakan di banyak negara;
Kelima, dalam jangka panjang Kapolri juga perlu melakukan pembaharuan terhadap metode pelatihan anggota kepolisian yang lebih vokasional. Selama ini pelatihan anggota kepolisian terutama Bintara dan Tamtama mengedepankan olah fisik yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Sudah seharusnya pendidikan anggota kepolisian menekankan pada keahlian vokasional yang sesuai pada hak asasi manusia dan demokrasi;
Jakarta, 26 November 2024
Ardi Manto Adiputra
Director
CP:
- Ardi Manto Adiputra (0812-6194-4069)
- Husein Ahmad (0812-5966-8926)
- Annisa Yudha (0857-1178-4064)