Imparsial

Imparsial: Penetapan KKB sebagai Teroris Harus Melalui Mekanisme Hukum, Bukan Mekanisme Politik



Minggu, 2 Mei 2021 17:01

TRIBUN-PAPUA.COM Penetapan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua sebagai teroris dinilai bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Director Imparsial Gufron Mabruri mengatakan pencantuman sebuah organisasi sebagai organisasi teroris dapat dilakukan setelah mendapatkan penetapan oleh pengadilan.

Hal tersebut, kata dia, sebagaimana diatur oleh Pasal 12A ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

“Artinya, penetapan sebuah organisasi sebagai teroris harus dilakukan melalui mekanisme hukum, bukan mekanisme politik,” kata Gufron dalam keterangannya dikutip, Sabtu (1/5/2021).

Selain itu, kata Gufron, sudah saatnya kebijakan penyelesaian konflik Papua tidak bersifat top-down, tapi harus berasal dari konsensus bersama.

Menurutnya pemerintah juga harus mengambil pendekatan yang inklusif dan komprehensif, khususnya melalui cara-cara dialog yang damai dan bermartabat dalam menyelesaikan persoalan Papua dan bukan menggunakan pendekatan keamanan yang militeristik.

“Penggunaan pendekatan yang eksesif dan koersif hanya akan memperpanjang daftar pelanggaran HAM,” kata Gufron. Menurut Gufron pemerintah sejatinya memiliki modal dan pengalaman historis untuk menyelesaikan konflik Papua dengan pendekatan damai dan bermartabat melalui jalan dialog seperti pada konflik Aceh.

Pengalaman penyelesaian konflik Aceh, kata dia, semestinya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk penyelesaian konflik Papua.

Menurutnya langkah penting yang bisa dilakukan pemerintah adalah Presiden segera mewujudkan komitmennya secara nyata untuk menyelesaikan persoalan Papua melalui jalan dialog.

Kepemimpinan politik Presiden dibutuhkan untuk mendorong rasa saling percaya dan tampil memimpin penyelesaian konflik Papua secara damai dan bermartabat.

“Imparsial mendesak, pemerintah sebaiknya mencabut penetapan KKB sebagai teroris karena akan memperburuk siklus kekerasan sebagai salah satu masalah utama buruknya situasi HAM dan kemanusiaan di Papua,” kata Gufron.

Gufron mengatakan pihaknya memandang, penetapan dan labelisasi KKB sebagai teroris akan berimplikasi buruk pada situasi HAM dan menghambat upaya penyelesaian konflik Papua secara damai.

Langkah tersebut, kata dia, hanya akan memperkuat stigma yang menyakiti perasaan orang Papua sekaligus menunjukan kegagapan dan kebuntuan ide pemerintah dalam upaya penyelesaian konflik.

Alih-alih menghentikan kekerasan seperti yang diminta dan dibutuhkan oleh masyarakat Papua, kata Gufron, pemerintah justru terus mencari jalan pintas dengan melegitimasi kekerasan yang selama ini dilakukan.

Padahal, menurutnya penetapan KKB sebagai organisasi teroris akan berujung pada meningkatnya eskalasi kekerasan yang bermuara pada instabilitas kondisi keamanan dan maraknya pelanggaran HAM di Papua, serta merumitkan penyelesaian konflik secara damai.

Lebih dari itu, lanjut Gufron, penetapan KKB sebagai teroris sama sekali tidak menyentuh masalah pokok yang selama ini terjadi di Papua. “Penetapan tersebut hanya akan semakin melegitimasi pendekatan keamanan yang militeristik terhadap konflik Papua,” kata dia.

Gufron mengatakan berbagai studi menyebutkan bahwa masalah Papua bukanlah masalah keamanan semata, dan karenanya membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kata Gufron, setidaknya terdapat empat sumber konflik Papua.

Pertama sejarah integrasi, status dan integritas politik Kedua, kekerasan politik dan pelanggaran HAM. Ketiga, kegagalan pembangunan. Keempat, marjinalisasi orang Papua dan inkonsistensi kebijakan otonomi khusus.

“Tanpa dibarengi dengan upaya yang sifatnya komprehensif untuk menyelesaikan keempat sumber konflik tersebut, upaya penyelesaian konflik Papua tidak akan tuntas dan gejolak sosial-politik seperti sekarang berpotensi terus berulang di masa datang,” kata Gufron.



en_GBEnglish (UK)