Wednesday, October 6th, 2021 16:45 WIB
Tribunnews.com Reporter's Report, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Imparsial reveals 7 points related to the TNI reformation agenda which is becomes the government's homework at the moment.
This is also inseparable in relation to the commemoration of the 76th Anniversary of TNI on October 5th yesterday. Military pada 5 Oktober kemarin.
Director ImparsialGufron Mabruri menjelaskan poin pertama di antaranya adalah peran internal militer yang semakin menguat.
Salah satu capaian dari pelaksanaan reformation Military pada tahun 1998, kata dia, adalah pembatasan terhadap keterlibatan militer dalam ranah sipil dan keamanan dalam negeri.
Sebagai alat pertahanan negara, kata Gufron, Military difokuskan untuk bersiap menghadapi ancaman perang dari luar yang mengancam kedaulatan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Pertahanan dan UU Military.
Namun demikian, kata dia, dalam beberapa tahun belakangan ini terjadi kemunduran pada capaian tersebut dimana terlihat militer (TNI) mulai banyak terlibat secara aktif dalam mengatasi permasalahan dalam negeri.
Sayangnya, lanjut dia, meski berbagai bentuk keterlibatan militer tersebut menyalahi UU TNI, namun pada kenyataannya ia mendapat pembiaran.
Ia juga menyatakan tidak ada evaluasi dan koreksi dari otoritas politik sipil.
Menguatnya peran internal militer pada ranah sipil dan keamanan dalam negeri, kata dia, dapat dilihat dalam sejumlah praktik perbantuan militer yang dijalankan oleh Military.
Praktik tersebut, kata dia, antara lain pelibatan Military dalam mengatasi kelompok kriminal bersenjata di Papua, program cetak sawah, pengamanan stasiun, pengamanan kegiatan aksi unjuk rasa, mengatasi terorisme, penanggulangan pandemi Covid-19, dan lain sebagainya.
Ia mengatakan salah satu pola yang digunakan untuk melegitimasi peran internal tersebut adalah melalui Memorundum of Understanding (MoU) antara Military dengan beberapa kementerian dan instansi.
Berdasarkan catatan Imparsial, kata dia, setidaknya terdapat 41 MoU antara TNI dan kementerian dan instansi lain telah dibentuk dalam kerangka pelaksanaan tugas perbantuan TNI (operasi militer selain perang).
“Dapat dikatakan, semua MoU tersebut bertentangan dengan Pasal ayat (3) UU Military yang menyebutkan operasi militer selain perang hanya bisa dilakukan jika terdapat keputusan politik negara, dalam hal ini keputusan Presiden,” kata Gufron ketika dikonfirmasi Tribunnews.com pada Rabu (6/10/2021).
Poin kedua, kata Gufron, adalah belum dijalankannya reformation sistem peradilan militer.
Selama peradilan militer belum direformasi, kata dia, maka selama itu pula proses reformation Military belum selesai.
Reformasi peradilan militer, kata dia, sesungguhnya adalah mandat dari Pasal 65 Ayat (2) UU Nomor 34/2004 tentang Military.
Selain itu, kata dia, upaya mewujudkan reformation peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen.
Upaya mengubah peradilan militer, kata Gufron, adalah suatu langkah konstitusional untuk menerapkan prinsip persamaan di hadapan hukum secara konsisten {Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 28 Huruf d Ayat (1) UUD 1945}.
“Konsekuensi dari penerapan asas hukum tersebut adalah bahwa anggota militer yang melakukan tindak pidana umum perlu diadili dalam peradilan yang sama dengan warga negara lain yang melakukan tindak pidana umum, yakni melalui mekanisme peradilan umum,” kata dia
Poin ketiga, kata Gufron, adalah restrukturisasi Komando Teritorial (Koter).
Restrukturisasi Koter, kata dia, adalah salah satu agenda reformation Military yang diusung oleh gerakan mahasiswa dan demokratik lainnya pada awal reformation 1998.
Gufron mengatakan restrukturisasi ini sejatinya juga telah diamantkan oleh UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Military yang mensyaratkan kepada otoritas politik untuk melakukan restrukturisasi Koter yang penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan.
Restrukturisasi Koter, kata dia, juga bertujuan agar gelar kekuatan TNI (Postur TNI) dapat mendukung peran TNI sebagai alat pertahanan negara.
“Sebagai konsekuensi dari restrukturisasi Koter dan mempertimbangkan lingkungan strategis serta dinamika ancaman terkini adalah perlu segera dipikirkan dan dibentuk model Postur Military yang menekankan pembangunan kesatuan gelar kekuatan trimatra secara terpadu dan lebih terintegrasi,” kata Gufron.
Poin keempat, lanjutnya, kembalinya Military di jabatan pemerintahan sipil.
Reformasi politik setelah 1998, kata dia, mensyaratkan mensyaratkan penghapusan peran sosial politik Military dan salah satu cerminnya adalah militer aktif tidak lagi menduduki jabatan politik seperti di DPR, Gubernur, Bupati, atau jabatan di kementerian dan lainnya.
Sejak UU Military disahkan, kata dia, militer aktif hanya dapat menduduki jabatan-jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan.
Namun demikian, kata Gufron, kini banyak anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil seperti di BNPB, Kementerian ESDM dan bahkan di BUMN.
Ombudsman RI, kata dia, mencatat sebanyak 27 anggota Military aktif menjabat di BUMN.
Bahkan, lanjut dia, belakangan ini muncul kembali wacana untuk menempatkan anggota Military aktif pada jabatan pemerintahan sipil, khususnya kepala daerah, akibat dari kegagalan pemerintah menangani pandemi yang berujung pada penundaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Secara prinsip, kata Gufron, di antaranya Pasal 39 dan pasal 47 UU Military telah menegaskan bahwa prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis dan hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Selain itu, kata dia, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN mempertegas larangan penunjukan anggota Military/Polri aktif menjadi Pj gubernur.
“Dengan demikian anggota militer aktif yang ditunjuk menjadi PJ Gubernur memiliki potensi kuat bertentangan dengan aturan,” kata Gufron.
Poin kelima, kata dia, adalah transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan Alutsista Military rendah.
Menurutnya upaya modernisasi alutsista TNI untuk memperkuat pertahanan Indonesia merupakan langkah penting dan harus didukung.
Namun demikian, kata dia, penting dicatat bahwa langkah tersebut harus dijalankan oleh pemerintah secara akuntabel, transparan, serta dengan mempertimbangkan ketersediaan anggaran dan kebutuhan Military itu sendiri.
Hal tersebut, kata dia, penting untuk memastikan pengadaan alutsista Military mendukung upaya penguatan pertahanan negara Indonesia dan tidak memunculkan masalah baru di masa yang akan datang.
Ia juga menyoroti Rencana Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang dinilai sejumlah kalangan serampangan karena rencana pembelian yang diusung oleh Prabowo ternyata tidak didasari dasar kajian yang jelas.
Dalam upaya mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan Alutsista, kata dia, pemerintah harus mendorong peran lembaga-lembaga pengawas independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pengawasan dan menginvestigasi penggunaan anggaran pertahanan, atau lebih khususnya dalam pengadaan Alutsista.
Menurutnya, salah satu upaya untuk mendorong peran KPK adalah langkah awal yang harus didorong oleh pemerintah dan parlemen adalah mereformasi peradilan militer melalui revisi UU Nomor 31/1997.
“Meski tanpa menunggu revisi UU tersebut, KPK bisa terlibat dalam pengawasan dan penyelidikan dugaan penyimpangan pengadaan alutsista dengan dasar asas lex specialis derogat lex generalis,” kata dia.
Poin keenam, kata Gufron, langgengnya Impunitas dan berlanjutnya kekerasan TNI terhadap pembela HAM.
Menurutnya berbagai kasus kekerasan itu menunjukkan bahwa reformation Military sesungguhnya belum tuntas, khususnya dalam upaya untuk memutus budaya militerististik yang diwarisi dari rezim otoritarian Orde Baru.
Motif dari tindakan kekerasan yang dilakukan oknum anggota itu, kata dia, beragam mulai dari motif persoalan pribadi, bentuk solidaritas terhadap korps yang keliru, sengketa lahan dengan masyarakat, terlibat dalam penggusuran, serta kekerasan terhadap jurnalis dan pembela HAM.
Alih-alih memberikan hukuman setimpal kepada pelaku pelanggar HAM, kata dia, otoritas sipil justeru melanggengkan praktik Impunitas.
“Sekaligus mengkhianati komitmen penyelesaian pelanggaran HAM dengan memberikan pelaku pelanggar HAM jabatan-jabatan strategis di pemerintahan,” kata Gufron.
Poin terakhir, kata dia, kesejahteraan prajurit Military masih rendah dan tidak merata.
Sebagai alat pertahanan negara, kata Gufron, Military bertugas pokok menjaga wilayah pertahanan Indonesia yang bukan pekerjaan mudah.
Untuk melaksanakan tugas pokoknya itu, kata dia, Military membutuhkan kelengkapan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang memadai dan kapasitas sumber daya manusia yang profesional.
Dengan beban tugas yang berat dan suci itu, kata Gufron, wajar apabila profesionalisme Military ditunjang dengan peningkatan kesejahteraan prajurit.
Selama ini, kata dia, penguatan sumber daya manusia terkait dengan kesejahteraan prajurit Military masih minim.
Terbatasnya rumah dinas anggota Military, kata Gufron, adalah satu contoh dari permasalahan kesejahteraan prajurit.
Dalam beberapa kasus, lanjut Gufron, masalah kesejahteraan anggota Military telah membuat mereka mencari sumber pendapatan lain di luar gaji mereka.
“Meski penguatan alutsista merupakan suatu kebutuhan, memberikan jaminan kesejahteraan bagi prajurit merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi negara, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 49 juncto Pasal 50 UU No 34/2004,” kata dia.