Siaran Pers IMPARSIAL
No. 019/Siaran-Pers/IMP/XI/2024
”Hasil Seleksi Pimpinan KPK: Tidak Independent, Nihil Representasi Perempuan, dan Sarat Kepentingan Politik Praktis”
Rapat Pleno Komisi III DPR RI yang diselenggarakan pada Kamis, 21 November 2024 melalui sistem pemungutan suara (voting) baru saja memilih Pimpinan KPK periode 2024-2029. Dari nama-nama yang dipilih tersebut secara jelas menggambarkan bahwa Pimpinan KPK periode 2024-2029 jauh dari kata independen, nihil representasi perempuan, dan sarat kepentingan politik praktis. Hal ini dikarenakan Komisi III DPR hanya memilih Pimpinan KPK dari unsur kepolisian, kejaksaan, hakim dan mantan anggota BPK. Hal ini sebenarnya sudah diingatkan jauh-jauh hari oleh masyarakat sipil, bahwa tidak ada keharusan bagi DPR RI maupun panitia seleksi (Pansel) KPK dari unsur lembaga penegak hukum tersebut, bahkan hal itu memiliki kecenderungan merusak independensi KPK di kemudian hari.
Imparsial menilai, Pansel Calon Pimpinan KPK dan Komisi III DPR RI secara sengaja meloloskan calon pimpinan KPK yang memiliki afiliasi dengan lembaga atau institusi penegak hukum tertentu yang memudahkan terjadinya intervensi terhadap mereka dalam pemberantasan korupsi. Hasil ini tentu akan menjadi catatan buruk sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia di masa yang akan datang. Pansel Capim KPK dan Komisi III DPR RI nampaknya tidak belajar dari Pimpinan KPK masa lalu yang memiliki afiliasi kuat dengan instansi atau lembaga tertentu yang dapat mempengaruhi independensi mereka. Dengan kata lain, Pansel Capim KPK dan Komisi III DPR RI tidak memiliki itikad baik untuk benar-benar memperbaiki pemberantasan korupsi di Indonesia.
Absennya unsur perwakilan masyarakat sipil pada jabatan Pimpinan KPK periode 2024-2029 dengan sangat jelas telah menegasikan peran masyarakat sipil yang selama ini turut serta dalam upaya pemberantasan tindak korupsi di Indonesia. Padahal, salah satu aspek penting dalam pengisian jabatan publik adalah representasi masyarakat sipil sebagai bentuk dari adanya partisipasi publik. Peran masyarakat sipil sangat signifikan, khususnya dalam memberikan pendidikan anti-korupsi kepada masyarakat. Kami justru melihat, seringkali unsur dari aparat pemerintah malah berada pada posisi yang berhadap-hadapan dengan masyarakat sipil terkait isu korupsi. Misalnya, dalam kasus Cicak vs Buaya Jilid I dan II.
Lebih dari itu, tidak adanya keterwakilan perempuan dari Pimpinan KPK terpilih membuktikan bahwa Komisi III DPR RI tidak memiliki kepekaan gender (gender mainstream) dalam isu pemberantasan korupsi. Komisi III DPR RI telah gagal mewujudkan prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam mengisi jabatan publik. Keterwakilan perempuan tidak hanya akan membawa perspektif dan strategi baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang sudah mengakar kuat di Indonesia, tetapi juga dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi KPK yang saat ini runtuh. Nihilnya representasi perempuan sebagai pimpinan KPK di periode 2024-2029 menunjukkan adanya kemunduran mindset dari Komisi III DPR RI terkait kesetaraan dan keadilan gender serta perjuangan perempuan dalam menduduki jabatan-jabatan strategis.
Berdasarkan hal tersebut di atas, sangat beralasan bagi publik untuk bersikap dan mengeluarkan #MosiTidakPercaya terhadap Pimpinan KPK periode 2024-2029 karena hasil seleksi yang dilakukan oleh Komisi III DPR RI membawa KPK pada patronase organisasi yang dikendalikan oleh oligarki kekuasaan sebagaimana yang dipraktikkan sebelumnya oleh mantan Presiden Joko Widodo. Pansel KPK dan Komisi III DPR RI telah dengan sengaja mengabaikan suara publik dan lebih memilih tunduk pada oligarki kekuasaan.
Jakarta, 21 November 2024
Ardi Manto Adiputra
Director