Live Press
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI)
Merespon 165 WNI Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri dan Kebijakan Hukuman Mati di Dalam Negri
165 WNI Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri: Pemerintah Harus Ambil Tindakan Nyata dan Kebijakan Dalam Negri yang Menghargai Hak Hidup
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia beberapa waktu lalu mencatat terdapat 165 Warga Negara Indonesia (WNI) terancam hukuman mati di luar negeri. Hal ini tentunya menimbulkan keprihatinan mendalam terkait perlindungan hak untuk hidup dan martabat manusia, yang merupakan nilai fundamental dalam prinsip hak asasi manusia. Di satu sisi, hal yang sama juga masih terjadi di Indonesia meski Pemerintah dan DPR telah mengubah kebijakan terkait hukuman mati menjadi pidana pokok yang diancamkan secara alternatif melalui pengesahan UU No. 1 tahun 2023 tentang KUHP.
Kasus-kasus WNI yang menghadapi ancaman hukuman mati di luar negeri sering kali mencerminkan ketidakseimbangan dalam proses hukum dan akses terhadap keadilan yang mereka terima. Banyak dari mereka yang merupakan pekerja migran yang rentan, yang sering kali tidak memiliki akses yang memadai terhadap pembelaan hukum dan bantuan konsuler. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bagi pemerintah Indonesia selain dari harus memperkuat upaya diplomasi dan kerjasama internasional untuk memastikan bahwa hak-hak dasar para WNI ini terlindungi.
Begitu pula dengan praktik hukuman mati di dalam negri, tidak jarang mereka yang dijatuhi hukuman mati di Indonesia dihukum berdasarkan proses hukum yang tidak adil (unfair trial). Seperti kasus Zulfiqar Ali, Mary Jane Peloso, Rodrigo Gularte, atau Zainal Abidin yang berkas pengajuan PK (peninjauan Kembali)-nya terselilp selama 10 tahun sebelum sampai ke Mahkamah Agung. Penegakan hukum yang masih koruptif dan disertai dengan budaya praktik penyiksaan oleh aparat penegak hukum, terutama kepolisian, membuat pemberlakuan hukuman mati di Indonesia menjadi berbaya karena rentan menghukum orang yang tidak bersalah (wrongful confiction).
Berdasarkan catatan Imparsial, sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo (9,5 tahun), terdapat 517 orang yang divonis dengan hukuman mati. Dengan rincian 221 vonis mati pada periode pertama (2014 -2019), dan 296 vonis mati pada periode kedua yang belum selesai ini. Artinya, kepemimpinan Presiden Joko Widodo menjatuhkan rata-rata 57 vonis mati pertahun. Hal ini sangat mencegangkan jika dibandingkan dengan angka vonis mati gabungan empat presiden sebelumnya, yaitu periode Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang jika digabungkan hanya terdapat angka rata-rata 13 vonis pertahun. Dengan kata lain, sepanjang periode pemerintahan Presiden Joko Widodo terjadi kenaikan vonis mati sebanyak 338%.
Untuk itu, kami mendesak kepada pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah-langkah konkret, baik terkait perlindungan 165 WNI yang terancam hukuman mati di luar negri, maupun melindungi hak hidup di dalam negri melalui perumusan kebijakan yang sejalan dengan standar dan prinsip hak asasi manusia. Mengingat saat ini pemerintah tengah membahas rancangan peraturan Presiden terkait hukuman mati, maka penting untuk mengadopsi prinsip hak asasi manusia dalam aturan tersebut agar tidak hanya menjadi pasal sampah yang tidak merubah apa-apa. Sesungguhnya Pemerintah Indonesia tidak memiliki legitimasi moral dan politik untuk menyerukan penghapusan hukuman mati untuk pekerja migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri selama Pemerintah Indonesia masih bersikukuh menerapkan praktek pidana hukuman mati dalam hukum positif di Indonesia.
Jakarta, 30 Juni 2024
Koalisi Masyarat Sipil untuk Hapus Hukuma Mati (Koalisi HATI)
Contact person:
- Wahyu Susilo (Direktur Migrant Care)
- Ardi Manto (Wakil Direktur Imparsial)
- Mike Verawati (Direktur Koalisi Perempuan Indonesia)
- Ma’ruf Bajammal (Advokat LBH Masyarakat)