Imparsial

Dalam Rangka Memperingati Hari HAM Internasional “Catatan HAM di Indonesia; Pemenuhan HAM Seperlunya, Citra Penguasa Seutuhnya”

Siaran Pers Imparsial
No. 024/Siaran-Pers/IMP/XII/2024

Dalam Rangka Memperingati Hari HAM Internasional

“Catatan HAM di Indonesia; Pemenuhan HAM Seperlunya, Citra Penguasa Seutuhnya”

Pada 10 Desember negara-negara di dunia akan memperingati Hari HAM Internasional, termasuk di Indonesia. Kendati Indonesia telah memiliki sejumlah capaian positif pada pemajuan, perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia, namun masih terdapat sejumlah persoalan serius terkait implementasi HAM di Indonesia. Berkenaan hal itu, pada kesempatan ini Imparsial memberi catatan berkait dengan agenda Pemerintah di bidang HAM sepanjang 2024 ini, sebagai berikut:

Pertama, Agenda Penghapusan Hukuman Mati Masih Jauh dari Kata Selesai. Kendati Indonesia telah menerbitkan UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP, sayangnya KUHP baru ini masih memuat pidana hukuman mati sebagai penghukuman meskipun keberlakuannya kini bersifat alternatif. Dalam KUHP baru ini diatur mekanisme “masa percobaan” selama 10 tahun yang wajib diberikan oleh hakim dalam memutus pidana mati. Jika dalam kurun waktu masa percobaan terpidana menunjukkan kelakuan baik, maka pidana mati itu diubah menjadi pidana penjara seumur hidup.

Namun Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah penting yakni menerbitkan aturan pelaksana terkait masa percobaan dan komutasi sehingga penerapan KUHP pada tahun 2026 dapat berjalan dengan baik sesuai dengan koridor HAM. Peraturan pelaksana tersebut menjadi penting mengingat saat ini terdapat 628 terpidana mati yang hingga saat ini yang berada dalam deret tunggu eksekusi. Berdasarkan catatan kami, 114 diantaranya telah menunggu lebih dari 10 tahun. Panjangnya deret tunggu ini menciptakan suatu fenomena yang dinamakan penghukuman dua kali (double punishment) yang mana sebetulnya merupakan pelanggaran HAM.

Komitmen pemerintah dalam menjamin hak hidup perlu dipertegas. Statement yang menyatakan bahwa hukuman efektif dan memberikan efek jera sebagaimana yang telah disampaikan oleh Menkopolkam Budi Gunawan semestinya perlu dihindari. Sebelumnya Menkopolkam menyatakan, “Para bandar dan pengedar juga akan dikenakan hukuman pidana maksimal, termasuk hukuman mati untuk memberikan efek jera”. Padahal tidak ada korelasi antara kejahatan, pidana mati dan efek jera. Berdasarkan data yang dihimpun Imparsial pada tahun 2015, Indonesia melaksanakan eksekusi mati terhadap 14 terpidana kasus narkotika. Namun, di tahun yang sama, jumlah kasus narkotika justru meningkat sebanyak 644 kasus. Pada tahun berikutnya, setelah mengeksekusi empat (4) terpidana mati terkait kasus serupa, BNN merilis data peningkatan jumlah kasus narkotika menjadi 881 kasus.

Hukuman mati merupakan hukuman yang sangat keji serta bertentangan dengan konstitusi dan instrumen HAM lainnya. Selain itu, hukuman mati tidak layak diterapkan di Indonesia karena sistem penegakan hukum kita masih sangat rentan korupsi dan praktik unfair trial seperti penyiksaan dan salah tangkap. Praktik unfair trial ini rentan terjadi mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, hingga proses persidangan di pengadilan yang mengabaikan hak-hak korban.

Imparsial mendesak Pemerintah saat ini untuk melakukan moratorium resmi terhadap eksekusi mati mengingat berbagai persoalan terkait penerapan hukuman mati sebagaimana yang kami sampaikan di atas. Imparsial juga mendesak untuk jangka panjang Pemerintah Indonesia menghapuskan hukuman mati secara keseluruhan dalam sistem pidana Indonesia dan mengutamakan reformasi sistem peradilan pidana yang berkeadilan.

Kedua, Agenda Pemajuan dan Perlindungan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan Hanya Retorika. Sepanjang tahun 2024, Imparsial menemukan setidaknya 23 peristiwa pelanggaran KBB di sejumlah wilayah di Indonesia. Temuan-temuan pelanggaran KBB yang menonjol adalah diantaranya; pemerintah daerah masih menerbitkan regulasi dan kebijakan yang bersifat diskriminatif; penolakan pendirian rumah ibadah; dan pelarangan beribadah baik secara individu maupun berkelompok. Kasus-kasus pelanggaran tersebut terjadi antara lain di Provinsi Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Timur, Aceh, Kepulauan Riau, Bengkulu, Sulawesi Selatan, hingga di Papua. Pelaku pelanggaran terdiri dari aktor negara dan aktor non-negara mulai tokoh agama, warga, dan organisasi kemasyarakatan. Sementara itu, Korban pada umumnya adalah anggota kelompok minoritas agama atau keyakinan di daerah tersebut. Dari semua peristiwa yang ada, jenis pelanggaran terhadap hak untuk melaksanakan ibadah menjadi yang paling dominan dilanggar, disusul pelanggaran terhadap hak untuk mendirikan rumah ibadah dan hak untuk menyiarkan ajaran agama atau ekspresi keagamaan.

Dalam 23 peristiwa itu, Imparsial menemukan bahwa intoleransi cenderung dibiarkan oleh Pemerintah dan aparat penegak hukum. Sebagai contoh, baru-baru ini terjadi pelarangan kegiatan Jalsah Salanah yang hendak diselenggarakan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Desa Manislor, Kabupaten Kuningan. Pemerintah setempat dalam hal ini Pj. Bupati Kuningan mengeluarkan surat larangan kegiatan Jalsah Salanah, imbasnya jemaat Ahmadiyah dari berbagai daerah yang hendak mengikuti kegiatan tersebut mengalami persekusi dari pihak kepolisian dan warga setempat. Pihak Kepolisian alih-alih memberikan perlindungan terhadap KBB justru malah menjadi pelaku pelanggaran HAM. Dampak dari pelarangan tersebut banyak Jemaat Ahmadiyah yang tidak hanya terhalang pelaksanaan peribadatannya, tetapi juga menjadi korban yang terdampar karena akses menuju lokasi ditutup (mengalami kerugian materi).

Imparsial menilai, penanganan aparat penegak hukum khususnya kepolisian dalam banyak kasus pelanggaran KBB masih bias favoritisme dan mayoritarianisme. Perspektif yang dimiliki oleh Pemerintah dan aparat penegak hukum belum berpihak kepada korban, dan sikap yang ditunjukkan cenderung permisif terhadap kelompok-kelompok intoleran dan memilih melakukan pembiaran hingga terjadinya kekerasan.

Ketiga, Agenda Reformasi TNI Mengalami Stagnasi. Dalam konteks reformasi TNI memang sejumlah capaian positif reformasi sektor keamanan seperti pemisahan TNI dan Polri, dan penghapusan doktrin Dwifungsi berhasil dilakukan pada awal Reformasi. Namun, 26 Tahun berlalu sejak Reformasi 1998, agenda reformasi TNI semakin ditinggalkan dan bahkan justru mundur ke belakang. Bahkan, dalam konteks penghapusan Dwifungsi dan pemisahan TNI dan Polri yang merupakan capaian positif saja, kini justru semakin mengkhawatirkan dikarenakan pada praktiknya peran-peran TNI di ranah sipil (sosial-politik) semakin intrusif. Belakangan bahkan, muncul wacana untuk mengembalikan Polri bergabung pada TNI.

Kami memandang, sudah seharusnya pemerintah berhenti “bermain politik” dan mulai melaksanakan amanat Reformasi 1998. Sejumlah agenda tersisa seperti restrukturisasi komando teritorial, penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan reformasi peradilan militer sudah seharusnya menjadi prioritas. Dalam konteks reformasi peradilan militer, adanya Putusan MK ​​87/PUU-XXI/2023 yang menegaskan kewenangan KPK untuk menangani perkara anggota TNI yang terlibat dalam kasus korupsi merupakan oase di tengah mandeknya reformasi peradilan militer khususnya penanganan tindak pidana korupsi yang selama ini ditangani sendiri oleh institusi TNI sehingga minim transparansi dan akuntabilitas. Untuk itu, TNI dan pemerintah harus segera mentaati dan menindaklanjuti putusan tersebut karena bersifat final and binding.

Kami juga mencatat sejumlah penyimpangan peran TNI di ranah sipil terus terjadi dan dibiarkan, misalnya dalam pemilu 2024 pada kasus Mayor Teddy dan brutalitas anggota TNI terhadap pendukung paslon capres di Boyolali praktis dibiarkan tanpa akuntabilitas dan malah justru dibenarkan. Dalam kasus Mayor Teddy yang terbukti jelas melakukan politik praktis justru Panglima TNI membenarkan tindakan tersebut. Selain itu penyimpangan peran lainnya semisal kekerasan terhadap warga sipil juga masih terjadi seperti di Deli Serdang dimana 33 anggota TNI menyerang warga sehingga menimbulkan korban jiwa 1 orang dan lainnya luka-luka. Kami juga mencatat operasi militer ilegal juga masih dilakukan di tanah Papua. Perlu diingat, seluruh operasi TNI di tanah Papua yang dilakukan tanpa Kebijakan dan Keputusan Politik Negara, yakni keputusan presiden setelah berkonsultasi dengan DPR sebagaimana Pasal 7 ayat 3 UU TNI, adalah ilegal.

Keempat, Agenda Reformasi Kepolisian Tidak Berjalan. Kendati reformasi polisi pasca 1998 telah menghasilkan sejumlah capaian positif seperti pemisahan TNI/ Polri dan pembentukan lembaga pengawas Kompolnas RI, sejumlah agenda substansial yang tersisa masih belum mampu dilaksanakan. Salah satu agenda tersebut adalah mengentaskan kultur kekerasan di tubuh Kepolisian. Kepolisian masih jauh dari cita-cita pemolisian yang demokratis di mana kepolisian menjunjung tinggi HAM dan tata negara hukum.

Belum lama ini, masyarakat dikejutkan dengan berbagai kekerasan yang melibatkan anggota kepolisian, mulai dari kasus polisi tembak polisi hingga polisi tembak warga sipil. Kasus penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) masih menjadi catatan serius institusi Polri. Menjelang hari HAM saja, Imparsial mencatat ada dua peristiwa excessive use of force yang menjadi perhatian publik, yaitu pada kasus penembakan di Semarang (24/11/2024) dan di Lampung Timur (28/3/2024). Dalam kedua peristiwa itu menimbulkan tewasnya dua warga sipil. Hal ini harus menjadi perhatian serius pimpinan Polri untuk mengubah kultur kekerasan di tubuh kepolisian. Pada titik ini, dalam jangka pendek Kapolri harus menindak tegas dan mengusut pidana para pelaku secara transparan dan akuntabel, Kapolri juga harus melakukan evaluasi terhadap seluruh izin penggunaan senjata api oleh anggota Polri.

Evaluasi dapat berupa tes mental dan psikologi ulang yang dilakukan secara berkala kepada seluruh anggota kepolisian tanpa terkecuali. Hasil tes mental dan psikologi yang dilakukan tersebut harus dijadikan dasar apakah anggota kepolisian tersebut diperkenankan menggunakan senjata api atau tidak. Dalam jangka menengah Kapolri perlu merealisasi ide penggunaan body cam yang dilekatkan pada anggota Polri ketika bertugas. Penggunaan body cam penting untuk memastikan akuntabilitas pelaksanaan tugas pemolisian yang diperlukan sebagai deterrence guna mencegah pelanggaran termasuk penggunaan kekuatan berlebihan.

Selain itu, dalam jangka panjang untuk mencegah terulangnya fatalitas akibat penggunaan senjata api, Kapolri perlu memikirkan pengurangan penggunaan senjata api dan menggantikannya dengan senjata kejut listrik (taser) yang lebih tidak mematikan sebagaimana sudah digunakan di banyak negara. Dalam jangka panjang Kapolri juga perlu melakukan pembaharuan terhadap metode pelatihan anggota kepolisian yang lebih vokasional. Selama ini pelatihan anggota kepolisian terutama Bintara dan Tamtama mengedepankan olah fisik yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Sudah seharusnya pendidikan anggota kepolisian menekankan pada keahlian vokasional yang sesuai pada hak asasi manusia dan demokrasi.

Polri perlu menyadari, bahwa munculnya desakan reformasi kepolisian termasuk menempatkan Polri di bawah TNI atau Kemendagri akibat reformasi kepolisian yang selama ini terhenti dan enggan dilanjutkan. Kami memandang, isu reposisi kepolisian merupakan isu penting, namun demikian pembahasan diskursus ini tidak boleh didasarkan pada alasan politis semata. Mengembalikan Polri di bawah TNI tidak hanya ahistoris tetapi juga menyalahi Konstitusi, sedangkan menempatkan Polri di bawah Kemendagri justru semakin mempolitisasi Polri. Adalah jauh lebih tepat sasaran kritik profesionalisme Polri tersebut dijawab dengan melakukan evaluasi internal dan penguatan terhadap lembaga-lembaga oversight seperti Kompolnas RI. Tanpa penguatan lembaga oversight mushkil terjadi transparansi dan akuntabilitas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di institusi kepolisian.

Kelima, Agenda Resolusi Konflik Papua. Sejak masa Reformasi, status Daerah Operasi Militer (DOM) Papua resmi dicabut. Namun hingga kini sekuritisasi di daerah Papua masih terus berlanjut dengan pengiriman pasukan non organik hingga penebalan jumlah militer organik di tanah Papua. Sementara itu upaya untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua tak kunjung diperhatikan. Kami mencatat sepanjang tahun 2024 ini Pemerintah setidaknya telah mengirimkan 3.187 pasukan non-organik ke tanah Papua. Hal ini belum ditambah dengan jumlah pasukan yang tidak diketahui jumlah pastinya. Penting diingat, pengiriman pasukan ini merupakan tindakan ilegal yang bertentangan dengan Pasal 7 ayat (3) UU TNI yang menegaskan bahwa operasi militer selain perang hanya dapat dilakukan setelah adanya kebijakan dan keputusan politik negara, yaitu kebijakan politik pemerintah bersama dengan DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR seperti rapat konsultasi dan rapat kerja. Sedangkan selama ini tidak ada satupun kebijakan atau keputusan politik untuk mengirimkan pasukan TNI ke tanah Papua. Akibatnya korban terus berjatuhan karena kontak senjata selalu terjadi di pemukiman warga, berdasarkan hasil pemantauan Imparsial sepanjang tahun 2024 setidaknya telah terjadi 18 (delapan belas) peristiwa kekerasan konflik bersenjata di Papua yang menimbulkan korban tewas sebanyak 9 orang dari TNI-Polri, 4 orang dari masyarakat sipil, 3 anggota KKB luka-luka dan 2 masyarakat sipil luka-luka.

Selain itu, potensi konflik di Papua semakin mengkhawatirkan akibat pemekaran wilayah dan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti program Food Estate di Merauke. Imparsial memandang program Food Estate yang diikuti dengan penambahan dan pembentukan lima batalyon Infanteri Penyangga Daerah Rawan (Yonif PDR) di tanah Papua tidak hanya penyimpangan peran TNI tetapi juga berpotensi memperparah spiral kekerasan. Konflik antara TNI dengan masyarakat yang menimbulkan pelanggaran HAM sangat mungkin terjadi, apalagi berdasarkan keterangan Menteri Pertanian yang menyatakan bahwa pembukaan lahan sejuta hektar dikendalikan langsung oleh Pangdam XVII/Cenderawasih.
Pengiriman pasukan secara ilegal dan penambahan pasukan TNI di Merauke menjadi bukti nyata ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Papua. Alih-alih menepati janji untuk mengutamakan dialog dan pendekatan damai, langkah ini justru memperburuk situasi, menambah ketakutan masyarakat setempat dan memperkuat pengaruh militer di wilayah yang sudah rentan konflik. Jika pemerintah Indonesia tidak belajar dari kesalahan masa lalu seperti kasus kekerasan militer dan pelanggaran HAM di Timor Leste maka tuntutan masyarakat Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia menjadi semakin kuat.

Keenam, Jalan Panjang Perlindungan Pembela HAM dan Perempuan Pembela HAM. Ancaman terhadap Pembela HAM dan Perempuan Pembela HAM di Indonesia masih terus berlanjut. Banyak dari para jurnalis, aktivis lingkungan, mahasiswa, akademisi, aktivis keberagaman dan pembela HAM lainnya yang mengalami judicial harassment, ancaman teror dan serangan fisik, pelecehan dan kekerasan seksual, peretasan, kriminalisasi hingga pembunuhan, atas kerja-kerjanya dalam memperjuangkan hak asasi manusia. Imparsial mencatat ada sebanyak sepuluh (10) kasus serangan terhadap pembela HAM atau perempuan pembela HAM selama kurun waktu 2024.

Kami menilai, permasalahan terkait perlindungan terhadap pembela HAM dan perempuan pembela HAM ada pada tiga level, yakni di level jaminan hukum normatif, rendahnya komitmen negara, dan kesadaran masyarakat. Kerja-kerja yang dilakukan oleh pembela HAM atau perempuan pembela HAM seringkali melibatkan kritik terhadap kebijakan dan sikap pemerintah. Hal ini menjadikan pembela HAM atau perempuan pembela HAM dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas nasional. Dalam konteks ini, mereka justru menjadi kelompok yang rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia itu sendiri. Sebaliknya, alih-alih memberikan perlindungan terhadap pembela HAM atau perempuan pembela HAM, Pemerintah cenderung melakukan pembiaran atas sejumlah kasus pelanggaran yang terjadi kepada mereka.

Lemahnya perlindungan bagi pembela HAM atau perempuan Pembela HAM, baik pada tataran hukum nasional maupun tingkat kesadaran, masih menjadi pekerjaan rumah yang serius bagi Pemerintah saat ini. Pemerintah seharusnya mengakui kerja-kerja pembela HAM atau perempuan pembela HAM dengan memberikan jaminan perlindungan hukum secara normatif, dan menghapus sejumlah instrumen hukum yang berpotensi menjerat pembela HAM atau perempuan pembela HAM, termasuk membatasi gerak dan kerja-kerjanya. Meskipun ada beberapa regulasi dan kebijakan dari negara yang menyebutkan serta menjelaskan tentang perlindungan Pembela HAM, namun dalam praktiknya hal tersebut masih bersifat terbatas dan aturan tersebut belum banyak digunakan untuk melindungi para pembela HAM atau perempuan pembela HAM dalam kerja-kerja hak asasi manusia.

Lebih jauh, dalam konteks perlindungan terhadap pembela HAM atau perempuan pembela HAM hingga kini Pemerintah justru masih melanggengkan impunitas. Misalnya, impunitas pada kasus pembunuhan Munir yang sudah bergulir selama 20 tahun tanpa adanya kejelasan dalang pelakunya. Bukannya mendukung penuntasan kasus pelanggaran berat HAM pembunuhan Munir, Pemerintahan yang berkuasa justru disinyalir menghambat penyelesaian kasus dengan meminta Komnas HAM untuk menghentikan penyelidikan sementara. Sinyalemen itu semakin kuat dan terbukti nyata jika melihat minimnya dukungan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM pembunuhan Munir. Seperti pernyataan Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan bahwa pelanggaran berat HAM terakhir terjadi saat masa penjajahan. Dengan kata lain, kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pasca penjajahan di mata pemerintah bukan kasus pelanggaran berat HAM.

Ketujuh, Menyempitnya Ruang Sipil. Secara umum, ruang kebebasan sipil di Indonesia sedang berada dalam tekanan dan memperlihatkan kondisi yang sangat parah. Hal ini dapat dikatakan bahwa Indonesia sedang mengalami kemunduran demokrasi. Banyak regulasi dan kebijakan represif yang mendorong peningkatan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi, berpartisipasi, berkumpul dan berorganisasi. Dalam konteks kebebasan berekspresi dan berpendapat, revisi UU ITE yang disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 2024 tidak berdampak signifikan terhadap perlindungan kebebasan berekspresi, khususnya di ranah digital. Berdasarkan catatan SAFEnet sebanyak 76 kasus dijerat dengan UU ITE yang baru. Imparsial mencatat terdapat 5 masalah dalam UU ITE yang baru yaitu definisi “Kesusilaan” dalam Pasal 27 Ayat (1) yang masih diperdebatkan, Pasal 27A yang masih menempatkan pencemaran nama baik sebagai pelanggaran pidana alih-alih perdata, Pasal 28 Ayat (3) tentang informasi bohong yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi namun masih dimasukkan dalam revisi UU ITE, Pasal 32 yang karet dan Pasal 40 Ayat (2) terkait pengaturan pemutusan akses internet yang terlampau luas.

UU ITE pada praktiknya masih digunakan untuk mengkriminalisasi pembela HAM. Salah satunya terjadi pada pembela HAM lingkungan bernama Daniel Frits Tangkilisan. Frits merupakan aktivis lingkungan yang mengunggah tayangan tercemarnya pantai di Karimunjawa. Ia dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melanggar Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE. Kendati pada tingkat banding Frits divonis lepas, hal ini menunjukkan bahwa UU ITE tidak hanya dapat disalahgunakan, tetapi juga bisa digunakan untuk tujuan pembungkaman dan kriminalisasi.

Dalam konteks kebebasan berserikat dan berkumpul, dipertahankannya Perpu No. 2 Tahun 2017 (Perpu Ormas) sebagaimana yang telah diubah menjadi di UU No. 16 Tahun 2017 tentang Ormas, masih menjadi ancaman nyata terhadap kebebasan berserikat dan berorganisasi. Dalam undang-undang ini pemerintah masih memiliki kewenangan absolut dalam membubarkan Ormas. Padahal Ormas merupakan elemen penting dalam negara demokrasi, sehingga pembubarannya juga harus due process of law melalui pengadilan. Selain itu, pada UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja berpotensi secara tidak langsung mengancam kebebasan berserikat buruh. Pengaturan kerja yang fleksibel yang mana tercermin dalam pengaturan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan masa toleransi sampai 5 tahun mendorong insinuasi bagi para buruh PKWT untuk menyampaikan pendapat dan bergabung pada serikat buruh yang kritis. Penerapan sistem kontrak kerja tersebut meningkatkan rasa takut para buruh untuk berpendapat, berkumpul, dan berserikat, yang akhirnya berisiko menurunkan keanggotaan serikat buruh. Hal ini pun mengancam kebebasan berserikat bagi buruh sebagaimana telah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dan Konvensi ILO No. 87.

Berangkat dari hal tersebut di atas, Pemerintah perlu sadar bahwa pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia masih jauh dari kata cukup. Bahkan, Imparsial menengarai Negara justru secara aktif bertindak abai terhadap pemenuhan hak asasi manusia diantaranya dengan tidak menyelesaikan sejumlah persoalan hak asasi manusia yang ada. Pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, sementara dalam banyak kasus negara justru menjadi pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Pemenuhan hak asasi manusia tidak boleh dilakukan seperlunya dengan tujuan untuk memoles citra penguasa atau kepentingan politik semata, melainkan harus dilakukan seutuhnya tanpa adanya tebang pilih.

Jakarta, 10 Desember 2024

Ardi Manto Adiputra
Direktur Imparsial

Narahubung:

  1. Ardi Manto Adiputra, Direktur
  2. Hussein Ahmad, Wakil Direktur
  3. Annisa Yudha AS, Koordinator Peneliti